Dari penulis :
Ini adalah novel bergenre romantis-komedi 21+.
Dengan membaca novel ini, pembaca harus memastikan dirinya sudah cukup umur dan memahami bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka. Hanya imajinasi yang bertujuan menghibur. Tidak ada pelajaran di dalam novel ini. Jadi, jangan dicari pelajarannya.
Harap bijak berkomentar. Pastikan Anda memilih bacaan yang tepat sebelum melanjutkan. Ingat, jangan salah memilih genre bacaan. Don't forget, our words is our class.
...______________________...
Suatu hari di kala usia mereka semua menginjak 33 tahun.
“Pokoknya harus temenin gua. Lo jalan aja terus, alamatnya gak masuk peta kayaknya,” ucap Toni melihat jalanan di depan.
“Lo yang jelas dong, tau alamatnya nggak?” Dean terus mengomel sambil menyetir dan menatap jalanan yang kanan kirinya dipenuhi pepohonan.
“Ini nyari alamat siapa sih, Ton?” Langit menatap Toni dari kaca spion tengah. Dahinya mengernyit butuh jawaban segera.
“Sabar …” sahut Toni.
“Gua jadi curiga. Jangan-jangan ….” Rio menatap jalanan yang semakin mengecil.
“Pasti Yo! Pasti!” sambut Dean dari depan.
“Nyesel gua bilang ke dia soal ketemu Wulan sama cowok lain. Pasti mau ke dukun!” maki Rio dengan wajah sebal.
“Udah cerai lama, nggak pernah mau usaha balikan. Tapi tiap denger Wulan jalan sama cowok lain, heboh sendiri.” Langit ikut menendang ujung sepatu Toni yang duduk di sebelah kirinya.
“Tadi bilang mau ke café temennya. Ada perlu sekalian nongkrong. Gua kira emang tema cafe-nya hutan lindung. Ngaku lo! Ini ke dukun, kan?” sergah Dean.
“Iya—iya … udah deh jangan ngomel aja. Gak bakalan lama,” jawab Toni dari sebelah Langit.
“Ngapain sih ke dukun? Mau dukunin Wulan lagi biar mau ama lo?” sinis Langit sambil memangku sebungkus snack berukuran besar yang belum dibuka.
“Ya enggaklah dukunin Wulan. Bisa murka, nyokap gue. Ini cuma perhelatan rutin buka aura, buang sial. Mami udah bikin janji. Gue sih cuma nurut aja.” Toni nyengir memukul lutut Langit.
“Wulan tau gak sih kebiasaan lo begini?” tanya Rio penasaran. Ia menoleh ke belakang sejenak untuk menatap Toni yang terlihat garang, tampan, modern namun terlalu sering mengucapkan ‘kata mami gue’.
“Ini bukan dukun. Mami gua bilangnya penasehat spiritual. Gak bakalan pake macem-macem,” ujar Toni.
“Kayak nggak punya Tuhan aja.” Dean mengerling Toni dari spion. “Jangan lama-lama ya … bini gua lagi sensi.”
“Ini lagi, kerjaannya nyetak anak terus. Yang tiga belum gede, udah bikin lagi. Rajin banget,” gumam Langit.
Dean terkekeh. “Ketimbang bini gua ikut-ikut kegiatan kampusnya. Untuk apa coba? Mending gua hamilin lagi. Biar dia diem di rumah. Gak apa-apa uring-uringan. Paling nitip beli ini-itu aja.”
“Laki-laki licik,” desis Langit dari belakang jok yang diduduki Dean. “Lakinya ceriwis, untung bininya nurut.”
“Itu namanya jodoh. Winarsih hanya tercipta untuk Pak Dean.” Dean terkekeh sebentar kemudian diam menatap jalanan yang semakin mengecil. “Ton! Liat peta lo! Kita di mana ini? Kok jalannya makin aneh.”
Dean menghentikan mobil di ujung jalan yang mengecil. Sisi kanan jalan dipenuhi pohon bambu dan sisi kirinya beragam pohon berbeda jenis. Matahari semakin condong tapi langit masih terang. Mata mereka tertuju pada pemandangan yang membuat kuduk merinding. Di ujung jalan terlihat beberapa batu nisan mencuat di antara ilalang.
“Itu kuburan Toni … Sebenarnya lo menjerumuskan temen-temen lo ke mana?” bisik Dean. “Serem ya …” sambungnya lagi.
“Peta—peta! Selama ada teknologi, semua pasti masuk akal!” pekik Rio mengambil ponselnya dari depan kantong mobil dan membuka aplikasi peta. Beberapa saat terpekur memandangi ponselnya, Rio menoleh Dean. “Gak ada sinyal …” bisik Rio membuat suasana mencekam.
Langit mengernyit kemudian menjepit snack di ketiaknya dan ikut membuka ponsel. Tak berapa lama ia juga bergumam. “Iya, gak ada sinyal …”
“Menurut petunjuk dari mami gue, kita udah nyampe. Ayo turun,” ajak Toni. Ia membuka pintu dan menurunkan kakinya yang terbalut sepatu berkilap menginjak tanah coklat yang disisipi rumput. Toni mengantongi ponsel setelah mengirim pesan pada ibunya.
“Yang bener aja Ton! Gak ada rumah di sekitar sini. “Kayaknya gak ada yang tingg—” Dean menoleh pada Toni.
BRAKK!!
Dean tersentak karena hempasan pintu yang dilakukan Toni. “Sialan … main turun aja.”
Toni dengan celana cokelat muda dan kemeja kotak-kotak kecil perpaduan cokelat hitam, berjalan ke depan mobil dengan dua ibu jarinya tercantol di saku belakang celana. Ia mendongak menatap langit yang sebagian besarnya tertutup dedaunan. Rambut dan bola matanya yang berwarna cokelat blasteran Indo-Amerika sebenarnya bisa membuat Toni lebih sadar akan tujuannya ke sana.
Rio berjalan memutari Toni. Pria bermata sipit yang biasanya paling logis dan pintar di antara mereka berempat, kini ikut terlibat mendatangi rumah ‘orang pintar’ lainnya. Rio sedang mengamati daerah sekitar sana sambil menyusun soal kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya tak perlu ia pikirkan. Sore itu setelan Rio santai. Meski begitu, jeans dan kemeja biru yang tergulung sampai ke siku tetap memancarkan kesan mahal pria itu.
Sedangkan Langit, berdiri di belakang Rio dan Toni. Menatap berkeliling sekilas kemudian kembali memusatkan perhatian pada kemasan besar snack penuh micin yang dikaguminya sejak tadi. Bapak muda dengan anak kembar itu, tadi baru saja pulang dari Bandung dan berhasil diculik dari kantornya. Langit dengan kemeja body fit berwarna hijau lembut dan celana chinos hijau lumut, terlihat masih sangat segar sore itu. Ditambah sepasang sepatu slip on menambah kesan penampilan santainya.
Dan Dean ….
“Kok belum turun sih dia?” tanya Toni.
“Biasa …” jawab Langit menoleh Dean yang baru melipat sun visor. Laki-laki yang mengemudikan mobil tadi, baru selesai bercermin mengecek rambut dan tampilannya sekilas.
Dean membuka pintu dan menjejakkan sepatu monk strap hitamnya ke tanah berumput. Tubuhnya masih terbalut rapi dengan setelan jas hitam beserta dasi. Dengan posisi rambut yang masih tegak dan satu tangannya menggenggam clutch cokelat, penampilan Dean lebih cocok pergi ke sebuah meeting.
“Si anjing bibirnya mengkilap, sebelum turun pasti disempet-sempetin pake pelembab bibir dulu.” Toni memandang sinis pada Dean yang berjalan dengan satu tangannya berada di saku.
Mereka berempat menatap jalanan kecil yang berbelok ke kanan. Sebelah kiri sebelum tikungan itu, memang ada pemakaman. Hanya beberapa batu nisan. Jadi kemungkinan besar itu adalah pemakaman keluarga.
“Keliatan serem, tapi setelah turun ternyata B aja tuh,” ujar Langit.
“Iya, biasa aja kok. Ini kita jalan kaki?” tanya Rio kembali menatap jalanan.
“Menurut lo?” sinis Toni.
“Udah—udah buruan. Entar kalo bini gue nelfon, gue tinggalin lo semuanya.” Dean melangkah mendahului teman-temannya.
“Siapa yang tadi bilang serem? Adem gini kok,” ucap Dean.
“Lo!!” jawab Toni, Langit dan Rio bersamaan.
“Oh,” sahut Dean.
“Iya ya … adem banget kayaknya tinggal di sini. Oksigen masih bersih. Faktanya di kota udara udah semakin tercemar,” kata Rio setengah memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
“Fakta—fakta … kebanyakan ngomong fakta. Kalo tinggal di sini, faktanya pasti lo langsung ngacir di hari pertama.” Langit berbicara sambil menepuk nyamuk di pipinya.
“Kok jauh banget sih? Gak jelas!” Dean menghentikan langkahnya menoleh sinis pada Toni. Kesabarannya mulai habis.
“Dikit lagi—dikit lagi.” Toni memegang bahu Dean dari belakang dan mendorong tubuh sahabatnya agar tetap berjalan.
“Eh, itu rumah. Bener Ton! Di kanan tuh,” Rio menunjuk sebuah rumah tak jauh dari sisi jalan namun terlindung dari pepohonan.
Serentak mereka mendekati rumah itu. Langit terlihat semakin gelap dan desing jangkrik mulai terdengar tajam menyerang telinga. Dean mengibaskan tangannya berkali-kali di depan wajahnya demi menghalau nyamuk hutan yang terbang rendah berniat mendarat.
“Gue duluan,” ucap Toni mempercepat langkahnya. Lalu ia merasakan ponsel di sakunya bergetar. Balasan pesan dari ibunya. “Lang, pegang dulu. Entar bacain,” seru Toni pada langit di belakangnya.
Langit berdiri tepat di belakang Toni, tangannya terulur mengambil ponsel Toni. Entah dari siapa snack yang sejak tadi ditimang-timang oleh Langit. Yang jelas bibirnya sedikit menarik gurat senyum tiap memandangi bungkusan itu.
Rio dan Dean ikut masuk ke teras rumah yang berpagar kayu sepinggang orang dewasa. Bagian depan teras yang rendah, membuat Toni dan Dean sedikit menunduk karena khawatir terbentur. Syukurnya mereka bisa berdiri tegak ketika tiba di depan pintu.
Sebelum berangkat, Toni sudah diingatkan ibunya akan aturan mengetuk pintu rumah itu. Tak ingin kelupaan, Toni meminta instruksinya kembali melalui pesan singkat.
“Emang gak serem sih, malah adem tinggal di sini.” Rio kembali memandang berkeliling.
“Iya, biasa aja.” Dean menjawab dengan wajah bosan.
“Bacaannya apa Lang?” tanya Toni pada Langit yang sedang memegang ponselnya.
“Ha? Bacaannya? Sobek di sini—” sahut Langit memandang bungkus snack-nya.
“Bacaan di pesan mami gue, Langit … bukan tulisan di bungkusan snack yang lo puja itu!” kesal Toni.
“Ha? Oh, sorry …” Langit membacakan sepotong perintah dari pesan yang dikirimkan ibu Toni melalui pesan singkat.
Dean dan Rio tertawa terbahak-bahak melihat wajah kesal Toni. Langit memasang wajah serius menatap layar ponsel sahabatnya yang sedang tersesat dalam dunia perdukunan. Namun, saat sedang mengomeli Langit, tiba-tiba ….
“Cari siapa?” Suara seorang wanita terdengar dari belakang punggung Dean.
“What?!” teriak Dean. Ia terlonjak dan mendorong punggung langit yang berada di depannya. Rio yang terkejut tak sempat menoleh dan ikut memeluk punggung Langit. Sedangkan Langit yang berdiri tanpa ancang-ancang karena satu tangannya memegang ponsel dan tangan lainnya masih memeluk snack secara tak sengaja menabrak Toni yang terlihat sedang merapal sesuatu.
Toni menabrak pintu rumah sampai menjeblak terbuka karena dorongan tiga orang temannya. Tanpa mantra-mantra, rumah seorang yang katanya penasehat spiritual berhasil mereka masuki.
To Be Continued
Daftar istilah yang digunakan :
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
✨️ɛ.
jauh amat dah nih bapak² kece maennya ampe ke rumah dukun di pelosok.. 😂
2025-01-20
0
dyul
nah.... benerkan, lipgloss pake dulu😂😂😂
2025-01-11
0
dyul
pengen jitak gak sih😂
2025-01-11
0