GENK DUDA AKUT
Belasan tahun yang lalu
“Jadi gimana? Hari ini jadi ke rumah Dean kan?” tanya Toni menjajari langkah Langit di lorong kelas.
“Jadi. Pasti jadi. Dean kalo udah janji gak bakal ngeles. Lagian bokap-nyokapnya lagi nggak ada di rumah.” Langit berjalan menyampirkan ransel ke bahunya.
“Lo mau ke mana? Deannya mana? Rio?” tanya Toni tak sabar. Jam pelajaran sudah berakhir dan hari itu mereka sepakat untuk menonton film dewasa di kamar Dean demi mendalami ilmu menghadapi dunia pria sesungguhnya.
“Dean pacaran di kelasnya. Biasalah, kayak gak tau dia aja. Rio lagi di parkiran kayak biasa. Supir cewenya udah jemput, Rio cuma bisa tatap-tatapan aja di sebelah mobil Jenni." Langit berbelok menuju lapangan basket.
“Lo mau ke mana?” tanya Toni menghentikan langkahnya menahan lengan Langit.
“Gua main basket sebentar,” jawab Langit. “Lagian Dean juga masih enak-enakan di kelas kosong.” Langit kemudian berlari mencampakkan tasnya ke tepi lapangan basket dan langsung menyambut bola yang datang ke arahnya.
Langit menoleh pada Siska. Wanita manis namun tomboy yang juga hobi main basket, tapi tak hobi pacaran. Selagi menunggu Dean menyelesaikan acara rutinnya bersama Ara di kelas kosong, Langit memilih untuk menatap Siska dari dekat.
“Dih si anjing malah main basket,” maki Toni. “Entar kelamaan woi kalo nunggu Dean kelar! Sedot-sedotannya pasti lama!” seru Toni dari tepi lapangan basket.
“Ya udah! Lo obrak-abrik sana!” jerit Langit sembari mengoper bola pada Siska.
Toni berbalik dan setengah berlari menuju kelas Dean yang tertutup.
Sementara di dalam kelas.
“Mau ngapain sih bawa temen-temen ke rumah kamu? Mending belajar bareng aku,” rajuk Ara yang bersandar di dinding kelas dengan Dean yang duduk menghadapnya.
“Kita juga belajar kok, ada pelajaran yang harus kita berempat simak sama-sama. Aku kan udah sering bawa kamu ke rumah,” ucap Dean menggenggam tangan pacarnya.
“Tapi mama kamu makin benci sama aku karena kamu kecelakaan motor,” kata Ara memandang tongkat yang tersandar di meja tak jauh dari mereka.
“Namanya cowok keren, lukanya juga keren. Kecelakaan motor gede. Cium aku lagi dong, katanya sayang...” ucap Dean menarik lengan Ara untuk kembali mencium bibir gadis itu. Dua minggu yang lalu Dean kecelakaan motor seusai mengantarkan Ara pulang bermalam minggu. Tak bisa dihindari, Bu Amalia, mamanya semakin membenci Ara.
Ara kembali mengecup bibir Dean, tangan laki-laki itu terasa menekan punggungnya dan membuat tubuh mereka semakin rapat dan berhimpitan. Satu tangan Dean telah merayap dari paha dan sekarang memegang pinggang dan mengusap perutnya.
“Si anjing mesum! Kalo nggak mesum sehari rasanya nggak afdol. Kalo untuk urusan tegang, meski pincang, gak pernah jadi penghalang.” Toni menggedor pintu kelas dua kali kemudian langsung membukanya. Pintu ruang kelas hanya bisa dikunci oleh penjaga sekolah.
Dean hanya memanfaatkan pengaruhnya pada siswa lain untuk menjauhi pintu tiap ia berada di dalam kelas bersama Ara.
Mendengar gedoran dari luar, ciuman Dean terlepas.
“Udah nyet! Ayo pergi! Otak lo jangan mesum mulu.” Toni masuk ke kelas dan meraih tongkat Dean. “Buruan!” pekik Toni menyodorkan tongkat yang sudah dua minggu dipakai Dean sebagai alat bantu jalan usai kecelakaan.
“Aku balik dulu ya, kamu hati-hati di jalan.” Dean melepaskan cengkeramannya pada tangan Ara dan berdiri tertatih-tatih menuju Toni.
Ara memandang sebal pada Toni yang mengganggu waktunya bersama Dean. Ia selalu menanti kebersamaan setiap usai jam pelajaran. Mereka tak sekelas sejak memasuki tahun terakhir di sekolah itu. bermesraan seusai jam pelajaran sangat penting buat Ara. Di luar jam sekolah, susah sekali mengajak Dean keluar.
“Lo kok mandang gua gitu sih? Sebel ya diganggu?” tanya Toni tertawa.
“Diem lo!” maki Ara. Toni tertawa-tawa mengejek sambil meraih ransel Dean untuk dibawanya.
“Ya udah ayo keluar! Ngapain kamu di sini? Barengan aja,” pinta Dean menunggu Ara. Meski dengan wajah sebal, Ara melangkah mengikuti Dean.
Ara kembali melemparkan tatapan sebal pada Toni. Siswa ganteng berwajah blasteran yang dinilainya tak berperasaan. Berpacaran dengan Dean tak pernah membuat Toni menganggap Ara ada. Toni seolah hanya menganggapnya bagai hama.
Supir Dean telah menunggu di depan sekolah. Ara tak bisa ikut menumpang pulang karena segala tindak tanduk Dean akan sampai langsung ke telinga mamanya dengan bantuan supir yang bertindak sebagai agen.
“Rio! Udah! Buset! Apa cuma gua aja yang gak pernah suka terikat dengan satu perempuan?” umpat Toni yang kelimpungan mengumpulkan teman-temannya.
Rio terlihat melepaskan genggaman tangannya pada Jennie dan membuka pintu mobil jemputan gadis itu. Tindakan gentle yang penuh sopan santun.
“Lang! Buruan!” teriak Rio pada Langit yang segera berlari menyambar ranselnya di tepi lapangan dan melambaikan tangannya pada Siska.
“Gua udah kayak bapak-bapak yang ngumpulin anak TK mau dijemput,” keluh Toni menghempaskan tubuhnya di jok belakang.
“Lah lo buru-buru mulu tiap hari. Santai kek sekali-kali,” jawab Dean dari sebelah supir.
“Mami gua ribet. Gak boleh pulang lewat maghrib. Mana katanya hari ini weton gua lahir,” tukas Toni.
“Gua no komen kalo udah ngomongin weton. Barangnya ada De?” tanya Langit menepuk bahu Dean. Ia menanyakan soal DVD film dewasa yang akan mereka tonton hari itu.
“Ada, aman. Jangan sampe langsung praktek ya!” Dean melirik ke arah supirnya untuk memastikan bahwa pria itu tak mengetahui topik pembicaraan mereka.
“Ini yang baru kan De?” tanya Rio memastikan.
“Baru dong, liat aja entar.” Dean tak sabar untuk menunjukkan koleksi terbaru film dewasa yang akan ia tonton bersama ketiga orang temannya. DVD film itu ia dapat dari hasil memesan di sebuah situs belanja internasional dengan kartu kredit yang diberikan oleh papanya.
20 menit kemudian, mobil yang ditumpangi empat siswa SMA itu tiba di sebuah kediaman megah di kawasan Menteng. Dengan tertatih-tatih Dean berjalan lurus dan berbelok ke kanan menuju sebuah lift.
“Padahal pake tangga lebih cepet dan lebih sehat,” gumam Rio melihat angka lift dengan tatapan menerawang.
“Masalahnya temen lo pincang Yo!” kesal Dean.
“Udah diem, kita nonton dulu. Abis nonton kita makan.” Toni merangkul Dean dan Rio yang sering saling melontarkan ejekan.
Empat ransel langsung dicampakkan begitu saja di atas sebuah ranjang besar. Dean menghempaskan tubuhnya di sebuah sofa pijat besar dan memegang dua remote.
“Entar malem gua ada bahan nih!” kata Langit tidur menelungkup di atas ranjang sambil memeluk sebuah guling.
“Kalo udah nyampe rumah, itu terserah lo mau ngapain.” Toni yang juga menelungkup di sebelah Langit terlihat tekun melihat credit title film yang sedang diputar.
“DVD beginian ada berapa De? Gua mau pinjem,” ucap Toni.
“Ah, gak boleh. Kalo udah sama lo alamat gak balik. Entar kalo diambil mami lo, bisa nyampe ke telinga bokap gua." Dean mengibaskan remote di tangannya.
Rio mengambil sebuah gitar dan memangkunya. Tatapannya tak lepas dari televisi yang mulai menampilan wanita seksi berpakaian sangat minim. “Gede-gede ya...” gumam Rio.
“Seleranya Dean...” sahut Langit.
“Tapi nggak sesuai kenyataan. Pacarnya standar,” sambung Toni.
“Impian gua dapet yang gede, tapi perasaan tetap yang paling utama.” Dean mengedikkan bahu dan mengangkat alisnya dengan sombong.
“Lo ngapain mangku gitar?” tanya Toni menoleh pada Rio.
“Buat menghalangi anunya kalo berdiri biar gak keliatan,” jawab Dean santai.
Langit terkekeh-kekeh dengan mata tak lepas menatap film yang sudah masuk ke sesi pemanasan.
Sedang asyik-asyiknya mata mereka menatap sepasang artis yang sedang saling melucuti pakaian, tiba-tiba televisi padam.
“Eh! Kenapa nih?” tanya Toni menegakkan tubuhnya. “Mati lampu De?”
“Kayaknya iya...” Dean melemparkan remote DVD ke lantai yang dilapisi permadani tebal.
“Genset dong De... telfon ke supir lo minta nyalain genset. Rumah pengusaha segede ini kelewatan banget kalo gak ada genset,” dengus Langit ikut menegakkan diri.
“Entar lagi pasti dinyalain,” jawab Dean.
“Pulang aja deh... gua pinjem DVD-nya,” ucap Toni yang anak mami dan selalu khawatir jika pulang terlambat.
“Mau pinjem gimana? Itu DVD di dalem player-nya gak bisa dikeluarin. Bego dipelihara. Sapi gih dipelihara!” kesal Dean.
“Iya ya...” gumam Toni. “DVD-nya ketahan di dalem.”
“Iya Toni... iya...” balas Langit yang kembali merebahkan diri di ranjang dan mengatur posisi berbaringnya.
“Gua ngerjain ini dulu deh.... Besok dikumpulin ke guru,” timpal Rio menarik tasnya dan mengeluarkan buku matematika.
“Cemen banget mesti dikerjain sekarang. 15 menit juga selesai,” tukas Dean mencibir menatap Rio. Mereka berdua adalah murid sekelas. Ranking satu dan dua di kelas yang mereka dapat secara bergiliran.
Dean dan Rio sama pintarnya. Bedanya, Rio terlihat lebih rajin belajar dibanding Dean. Rio aktif di sekolah sebagai ketua berbagai organisasi termasuk ketua OSIS, sedangkan Dean aktif sebagai pelajar mata keranjang yang menggoda hampir setengah siswi perempuan meski pada akhirnya ia selalu kembali pada Ara.
Penantian mereka akan listrik yang menyala ternyata memakan waktu. Tanpa mereka sadari, mereka semua tertidur di kamar Dean dengan posisi berserakan. Dean merebahkan posisi sofa pijatnya dan tertidur di sana dengan kaki cederanya yang diluruskan.
Rio tidur menelungkup di atas permadani dengan buku matematika sebagai bantalnya. Sedangkan Toni dan Langit tidur nyaman di atas ranjang besar Dean.
Pukul 5 sore, seseorang terlihat membuka pintu kamar Dean. Berpakaian rapi dengan sepatu kulit mengkilap melangkah masuk dan langsung menuju televisi dan DVD player yang memutar film panas. Adegannya sudah masuk ke bagian puncak dengan suara desah dan erangan memenuhi kamar itu.
Rupanya listrik telah menyala dan DVD itu berputar otomatis melanjutkan sendiri meski tanpa penonton.
“Dasar anak sekarang, dapet dari mana beli beginian.” Pak Hartono melangkahi Rio dan langsung menuju Dean yang berada di sisi kanan.
Dengan kedua tangan yang disilangkan di belakang tubuhnya Pak Hartono menendang sofa Dean lebih dulu.
“Bangun! Bangun!” seru Pak Hartono. Dean seketika gelagapan.
“Toni! Langit! Rio! Bangun!" seru Pak Hartono lagi.
Dean mendelik memandang papanya dan televisi secara bergantian. Tokoh utama di film itu sedang memekik karena mencapai puncak.
“Buset! Eh, Om!” pekik Toni mengusap wajah berkali-kali. “Dean bilang baru pulang besok,” kata Toni dengan bodohnya.
“Pa...” lirih Dean pasrah. Sebelah kakinya meraba-raba permadani untuk mencari remote yang tadi dicampakkannya.
"Kaget ya papa pulang lebih awal?" tanya Pak Hartono memandang tajam putranya.
Rio duduk meraup semua bukunya dan menjejalkan ke dalam ransel. Langit berpura-pura sibuk mengatur bantal dan guling di ranjang Dean.
“Jadi, sudah dapat pelajaran apa aja hari ini?” tanya Pak Hartono mengedarkan pandangannya berkeliling pada keempat remaja pria yang penuh rasa penasaran itu.
To Be Continued.....
Mari kita mulai berkenalan dengan empat laki-laki melalui potongan kisah masa lalu mereka.
Selamat mengikuti kisah Genk Duda Akut :*
******
juskelapa akan mengadakan event Give Away merchandise GENK DUDA AKUT untuk 3 podium utama pemberi hadiah.
Event Give Away gak akan lama masanya karena novel GENK DUDA AKUT juga bukan novel panjang.
Merchandise ini juskelapa buat sebagai simbolis dan kenang-kenangan dari 4 bapak-bapak ganteng.
3 tote bag yang disablon sublim eksklusif timbal balik. Diikuti sampai akhir periode yaaa...
Salam sayang dari juskelapa :*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
𝔐𝔢𝔩𝔦𝔞𝔫𝔞 𝔰𝔦𝔯𝔢𝔤𝔞𝔯
Dari "Cinta Winarsih" lanjut kesini, walaupun dulu pernah baca..
tapi rasanya pengin ngulang☺️
2024-10-25
1
𝔐𝔢𝔩𝔦𝔞𝔫𝔞 𝔰𝔦𝔯𝔢𝔤𝔞𝔯
😄😄😄😄
2024-10-25
0
𝔐𝔢𝔩𝔦𝔞𝔫𝔞 𝔰𝔦𝔯𝔢𝔤𝔞𝔯
Nanti istrinya yg sesuai selera
2024-10-25
0