“Cari siapa?” Suara seorang wanita terdengar dari belakang punggung Dean.
“What?!” teriak Dean. Ia yang sejak tadi mengatakan tempat itu tidak menyeramkan malah membuat tiga orang pria di depannya bergerak panik dan menabrak pintu rumah orang.
Toni yang berdiri paling depan berhasil membuat satu engsel pintu terlepas. Meski tak jatuh tersungkur, ia menoleh berang pada tiga orang pria yang langsung berdiri tegak dengan raut tak bersalah. Semuanya sedang membenarkan letak pakaian.
Dean yang berada paling belakang, sudah merapikan rambutnya dan menaruh satu tangan di saku celana.
“Kamu tinggal di sini?” tanya Dean pada wanita muda yang menyapa mereka dari belakang tadi. Ia memang melemparkan pandangan sekilas. Tapi sudut matanya mampu meneliti apa yang dikenakan wanita itu secara menyeluruh.
Sudah bisa dimaklumi kenapa Dean refleks menoleh ke belakang dan merapikan rambutnya. Wanita yang menyapa mereka tadi cukup muda. Pasti anak penasehat spiritual ibunya Toni, pikir Dean.
“Iya, saya yang tinggal di sini. Itu pintunya ….” Wanita itu memandang daun pintu yang terkulai dengan posisi janggal.
“Aman—aman, jangan khawatirkan soal pintu itu.” Dean menarik garis senyum ‘pembunuh’nya.
“Mas yang benerin?” tanya perempuan itu.
“Tentu bukan, Mas yang bule itu yang bakal benerin.” Dean nyengir memandang Toni yang melemparkan tatapan kesal.
“Maaf Mbak, ini bener rumahnya Bu Asih? Saya diminta ke sini—”
“Bener. Ini rumah Bu Asih. Mari masuk,” ucap wanita itu memotong ucapan Toni.
“Buka nggak?” tanya Langit menunduk memandang sepatunya.
“Dibuka dong. Gak pernah tinggal di desa apa?” sergah Dean.
“Emang nggak pernah Nyong, lo yang sekarang jadi penduduk Desa Beringin kampung halaman bini lo.” Langit menyikut tubuh Dean yang baru saja melepaskan sepatunya dan masuk mengikuti Toni.
“Gue kira rumah dukun bakal serem,” bisik Dean di telinga Rio.
“Gak mungkin serem di depan. Pasti ada tempat khusus. Dan gue ingetin ama lo dari sekarang. Lo jangan ngomong yang macem-macem ama dukunnya. Eh penasehat spiritualnya maksud gue—”
“Dukun—dukun, tetep dukun namanya. Hihihi …” Dean terkikik-kikik memotong ucapan Rio. Ia memandang kasihan pada Toni yang mengekori wanita muda tadi masuk ke sebuah ruangan.
“Mulut lo De … jangan sampe kita diusir orang lagi karena mulut lo.” Langit ikut mengingatkan. Mereka semua sudah cukup kapok berurusan dengan orang karena Dean yang tak bisa menahan mulutnya.
“Iya—iya anjir … gue diem. Puas?” Dean menghentikan langkahnya di lorong rumah saat melihat Toni menghilang dari pandangan.
“Psst,” panggil Langit menunjuk ruangan tempat Toni menghilang. “Kita biarin aja dia sendirian?” tanya Langit.
“Berdua ama cewe tadi? Cewe tadi anaknya Bu Asih itu, kan?” tanya Rio memandang Dean.
“Ya gak tau, ya udah kita gak usah masuk. Kali-kali aja ada ritual pegang-pegang si Toni.” Dean kembali terkikik-kikik.
“Si anjing pikirannya,” omel Langit kemudian ikut terkekeh.
“Ya udah, kita jalan-jalan di luar aja. Biarin dia di dalem.” Baru saja Rio menggantung lengannya di bahu Dean, pintu kamar di belakang mereka di buka.
“Pssst! Mau ke mana? Temenin gue …” bisik Toni menjengukkan kepalanya keluar dari pintu.
“Ogah … lo sendiri aja deh,” balas Dean menggeleng.
“Please …” bisik Toni memelas kemudian ia mengintip ke dalam dan mengatakan, “Maaf, sebentar ya Bu ….”
“Ya udah deh, kita temenin. Kasian,” ujar Rio menarik lengan Dean yang masih terlihat ogah-ogahan.
Ternyata ruangan yang dimasuki wanita muda tadi hanya sebuah ruangan kosong dengan tikar plastik yang dibentang begitu saja. Tak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain mereka berempat dan wanita muda tadi yang duduk menempeli dinding di depan sebuah baskom besar berisi air.
Toni Duduk paling depan juga menghadapi baskom. Di belakangnya, Rio dan Langit yang masih memangku snack duduk menghadap punggung Toni. Sedangkan Dean, duduk bersila paling belakang sambil bersandar santai di dinding. Meski duduk paling belakang, posisi Dean yang menyerong ke kanan, lurus menghadap wanita muda tadi.
Beberapa saat duduk dalam diam, Rio dan Langit mulai gelisah sedikit menoleh ke belakang seolah mengecek Dean apakah masih berada di ruangan itu.
“Kita nunggu Bu Asih ya?” Akhirnya Dean buka suara. Ruangan itu terasa pengap dan cahaya lampu kuning yang seolah sengaja dinyalakan untuk menimbulkan kesan mistis mulai membuatnya bosan.
“Saya Bu Asih,” jawab wanita muda itu.
“Ha??!” Kecuali Toni, semuanya serentak bersuara. Toni sedikit memutar tubuhnya ke kanan dan melemparkan pandangan pada Dean yang berarti ‘diem lo’. Dean langsung mengatupkan mulutnya.
“Nama saya Asih, memangnya kenapa? Saya nggak cocok ya jadi dukun?” sinis Asih yang memang terlihat terlalu muda untuk profesinya itu. Ia berumur 20 tahun saat ditinggal mati ibunya dan mengambil alih profesi itu demi bertahan hidup dengan memanfaatkan pikiran picik manusia.
“Dukun? Tapi katanya—” Perkataan Dean terpotong seiring dengan Toni yang kembali menoleh ke belakang memelototinya. Dean kembali bungkam. Rio dan Langit ikut memutar tubuh ke belakang dan memberi tatapan ‘mulut lo!’.
“Saya langsung mulai aja ya …” ucap Asih mengambil sebutir jeruk purut dan mulai mengiris jeruk itu di atas baskom dan membuang irisannya ke atas air. “Ehem! Liat ini,” kata Asih menunjuk baskom.
“Ya?” kata Toni sedikit bingung ikut menatap potongan jeruk yang mengambang di dalam baskom.
“Mas ini sering bimbang. Ragu-ragu memutuskan segala sesuatu. Harusnya sebagai laki-laki Mas jangan kayak gitu. Bisa dilihat dari potongan jeruk yang menjauh ke sebelah sini,” ucap Asih menunjuk seiris jeruk purut di atas air dengan ujung pisaunya.
Dean menatap lurus ke arah Asih. Tak perlu dukun untuk menilai kalau Toni adalah pria yang sangat plin-plan. Kalau hanya ingin mendengar hal itu, Toni lebih tepat jika mendatangi mantan istrinya. Wulan pasti lebih tahu tingkah Toni yang menyebabkannya digugat cerai hanya dalam jangka waktu 6 bulan menikah.
“Dua irisan jeruk yang sebelah sini, artinya ada dua wanita yang menaruh hati dengan Mas Toni,” ucap Asih.
Yang benar saja. Lima irisan jeruk pun Toni pasti percaya. Toni terlalu ganteng kalau cuma ada dua wanita yang menyukainya. Dibayar hanya untuk mengambil kesimpulan dengan menilai hal-hal umum. Dean melirik Toni yang terlihat mengetukkan jarinya di atas lutut. Ekspresi tak sabar. Artinya, Toni sebenarnya tak percaya dengan hal yang baru saja dikatakan perempuan manis berkain sarung di depannya. Tak sengaja Dean mendengus keras.
Asih berhenti berbicara dan menatap tajam ke arah Dean. “Saya belajar hal kayak gini bukan asal-asalan. Mas jangan kayak gitu,” sinis Asih pada Dean.
“Eh apaan sih! Emang gue ngomong apaan?” sergah Dean tak terima. Ia yang sudah sangat gerah berada di kamar pengap itu berdiri mengendurkan simpulan dasinya.
Seketika Rio dan Langit juga ikut berdiri.
To Be Continued
Belum bosan, kan? Karena ini novel baru, juskelapa berusaha secepat mungkin memenuhi target up 20 bab agar lebih asik bacanya.
Nah, di bawah ini adalah cast visual novel Genk Duda Akut. Dan seperti yang pembaca tau dalam novel CINTA WINARSIH, juskelapa terlalu tinggi menggambarkan Pak Dean hingga sangat sulit menemukan cast yang tepat dan sesuai imajinasi. Karena dalam semua novel, biasanya cerita lebih dulu dibuat ketimbang nyari castnya. Setelah karakter terbentuk, baru heboh nyarinya.
Dan di bawah ini adalah, visual terbaik yang bisa menggambarkan Pak Dean, pria keturunan Jawa-Tionghoa dengan tinggi 184 cm berzodiak Taurus.
Visual Langit disarankan oleh Chida. Visual Toni disarankan oleh Gallon, dan visual Rio, disarankan oleh Miss Admin GC.
Jika tidak sesuai harapan, jangan diungkapkan yaaa... disimpan dalam hati aja. Wkwkwkk
Selanjutnya, imajinasi pembaca bebas. Karena ini hanya memenuhi permintaan bagi sebagian yang nanya soal visual.
Visual lainnya bisa diliat di Instagram @juskelapa_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
ahjuma80
aku baca ulang jus yg ke 3 x nya
2024-11-08
0
dyul
si pakde.... dlm hati nyinyir, di jawab kesel sm Asih😂
2025-01-11
1
Siti Aisyah
gk pernah bosen bc karya mu mbak, dah bc ulang kl sambil nunggu up Gita dan mar
2024-11-01
0