14. Menebus Kenangan Pertanyaan

Menjelang pukul delapan malam, Langit bersiap-siap menemui Siska di dekat danau. Tak terlalu jauh pikirnya, paling hanya lima menit berjalan kaki. Sambil mematut dirinya di depan kaca, ia mengingat-ingat akan duduk di mana bersama Siska.

Pada saat sampai pertama kali ke resor itu, Langit sempat melihat danau yang Siska katakan. Jadi ia bisa mengira akan duduk di mana dan menghadap ke mana.

Merasa tak perlu pamit pada Dean dan Rio, Langit hanya melintasi kamar kedua sahabatnya itu sambil melirik ke arah kamar Siska yang sepi. Wanita itu pasti sudah berada di luar sejak tadi, pikirnya.

Dan dugaan Langit benar. Saat ia tiba di dekat danau yang separuh tepiannya diterangi cahaya lampu, Langit sudah melihat Siska duduk di sebuah bangku panjang.

Siska yang selalu ceria, sudah berusia 33 tahun namun duduk sambil mengayunkan kakinya seperti seorang bocah.

“Hei, udah lama?” sapa Langit.

“Baru kok,” kata Siska menoleh tersenyum. “Duduk, Lang” ucapnya menepuk bangku kosong di sebelahnya.

“Udah lama kerja di perusahaan ekspedisi?” tanya Langit.

“Udah. Udah lama banget malah. Tapi ketemu Toni, baru-baru aja. Sejak ikut kepanitiaan outing ini. Sering-sering meeting. Toni selalu dateng ama sekretarisnya. Gue juga baru tau kalo dia pisah ama istrinya.” Siska menoleh Langit yang duduk di sebelah kirinya.

“Iya, Toni udah lama pisah ama Wulan.” Langit hanya mengatakan hal itu, namun ia sudah merasa seperti pengkhianat yang membeberkan rahasia negara.

Tak ingin melanjutkan obrolan soal Toni, Langit ingin sedikit mengulas masa lalu mereka.

“Lulus SMA, lo ngilang gitu, emang kuliah di mana? Di grup sekolah juga nggak ada.” Langit memandang Siska yang tertawa kecil.

“Ada. Gue di Jogja. Kuliah biasa aja kayak anak-anak lain. Ayah gue meninggal waktu di semester lima, sejak saat itu yang ada di pikiran gue cuma soal gimana cepet tamat dan bisa dapet kerja.” Siska menoleh sekilas pada Langit kemudian menunduk memandang sepatunya.

“Gue nggak tau ayah lo meninggal. Aku nggak tau tau ...” ucap Langit menghaluskan bahasanya.

“Cie ... langsung pake aku-kamu. Biasa aja nggak apa-apa. Kamu ke mana aja? Anak udah berapa?” tanya Siska.

“Aku ngelanjutin perusahaan orang tua. You know—” Langit terkekeh.

Siska mengangguk tanda mengerti.

“Anakku kembar. Sepasang. Kalla dan Zurra,” jawab Langit menerawang diiringi seulas senyuman. Bayangan Jingga sedang bermain dengan sepasang balita masuk ke pikirannya.

“Beruntung banget ... istri kamu pasti cantik yah, Lang.” Siska menoleh Langit yang masih menatap danau.

Langit menghela napas, “Cantik banget ... Jingga cantik banget.”

“Namanya juga cantik banget,” sambut Siska tersenyum.

“Kamu?”

“Aku baru nikah,” kata Siska.

“Baru?”

“Baru Lang ... aku masih banyak mimpi kemarin-kemarin. Masih banyak yang harus aku selesaikan. Sekarang aku udah santai. Adik-adikku udah selesai sekolah semuanya.”

Langit mengangguk-angguk. Mengerti dengan maksud Siska namun semakin penasaran dengan hidupnya. Siapa suaminya dan yang paling membuatnya penasaran tetaplah ... masa lalu mereka.

“By the way, maaf kalo aku melenceng nanyanya. Kamu inget sama—Sanusi?” Langit meringis menoleh pada Siska.

Awalnya Langit mengira kalau Siska akan sedikit menajamkan ingatannya untuk mengingat Sanusi, tapi ternyata tidak. Siska tertawa terbahak-bahak.

“Kok ketawa?” tanya Langit.

“Sanusi yang suka senyum-senyum itu ya?” tanya Siska.

“Hmm—iya. Sanusi yang itu. Kamu emang deket ama dia dulunya?” tanya Langit tak sabar. Tapi di dalam hati ia tak menyetujui pernyataan ‘Sanusi yang suka senyum-senyum’ karena menurut langit itu bukan senyum melainkan cengengesan.

“Sanusi itu ... tetanggaku dulunya. Lebih tepatnya, ibuku kerja di rumah keluarganya.” Siska kembali meringis menoleh Langit. “Keluarga Sanusi itu paling kaya di daerah kami. Ibuku bantu-bantu di rumahnya. Makanya, aku sering nebeng dia kalo pulang sekolah.”

“Jadi ... dulu—”

“Dulu aku minder temenan ama siapa aja. Anak-anak orang kaya di SMA elit. Aku sekolah di sana karena orang tua Sanusi. Aku suka kamu Lang, tapi aku minder. Dan waktu itu, kayaknya aku gak boleh mikirin soal cinta-cintaan jaman sekolah. Dan untungnya, aku gak sempet bilang kalo aku suka kamu. Kalo nggak, kita bisa aneh ketemu sekarang. Ketemu mantan pacar itu, kedengaran gak enak. Kalo gini kan, kita ngobrolnya juga santai.” Siska tertawa. Akhirnya dia bisa selugas itu berbicara dengan Langit. Dulunya, menatap wajah Langit saja, rasanya ia tak bisa berlama-lama.

“Iya, aku juga dulu suka kamu Sis ... tapi aku gak ngomong karena ngeliat kamu kayaknya lebih suka sendiri. Dan juga ... kamu kayaknya nyaman dengan Sanusi.”

Siska kembali tertawa kecil.

“Hmmm ... Sanusi ya—” Siska menghela napas dan menatap Langit. “Sekarang udah jelas, kan? Seandainya kamu nyatain perasaan ke aku dulunya, aku juga gak tau gimana. Lagian, takdir itu udah tertulis dari sebelum manusia lahir ke dunia.”

“Bener. Kamu bener ...” sambut Langit seraya mengangguk. “Gak ada yang kebetulan.”

Langit tak menyangka Siska ternyata lebih bijaksana darinya. Apa karena tuntutan hidup? Ia yang sejak dulu hidup santai, hanya melihat sisi ‘cinta-cintaan’ remaja kala itu. Ia tak menyadari ternyata Siska memiliki tekanan hidup yang bisa dikatakan cukup berat bagi anak seusianya.

Ibunya ‘bantu-bantu’ di rumah Sanusi? Siska bersekolah di SMA elit itu karena orang tua Sanusi? Apa kalau pada saat itu ia mengetahui perihal orang tua Siska, ia masih ngotot mengejar gadis itu?

Jujur, Langit tak yakin. Ia masih remaja dan tak yakin bisa cukup dewasa menyikapi hal itu. Sanusi yang banyak cengengesan itu ternyata lebih berjasa bagi hidup Siska. Langit mengatupkan mulutnya.

Sudah terpenuhi rasa penasarannya. Mereka duduk dalam diam. Masing-masing sedang mencari bahan pembicaraan paling santai yang bisa mereka lontarkan saat itu.

“Jadi sering ketemu Toni, akhir-akhir ini aja?” tanya Langit lagi. Ia tak yakin apa tadi sudah menanyakan hal itu pada Siska.

“Iya. Akhir-akhir ini aja. Sebulan terakhir ini tepatnya. Biasa para panitia meeting di akhir Minggu. Makanya kita sering ngumpul.”

Langit kembali mengangguk.

“By the way, kalian semua masih deket banget ya ... sampe sekarang. Aku nggak nyangka lho. Kirain bakal bubar setelah selesai sekolah atau sibuk dengan dunia pekerjaan.”

“Masih deket. Kita semua masih sering ngumpul.” Langit tersenyum menoleh Siska. Pandangannya menatap Siska yang malam itu mengenakan jeans dan sweater maroon. Siska manis, pikirnya. Sejak dulu. Ia harus mengakui hal itu karena ia tidak buta.

Tapi ... Jingga selalu luar biasa. Jingga cantik dan telah memberinya sepasang bayi kembar.

“Kamu pasti masih sering main basket ya?” tanya Siska.

“Kadang-kadang aja. Gak sempet Sis ... kerja, jadi ayah, jadi suami. Semuanya perlu waktu yang gak sedikit.” Langit tertawa.

Sementara di lain tempat. Dean sedang bertelepon dengan istrinya sambil berbaring memeluk bantal. Dan Rio sedang berbaring di ranjang sebelah, menonton pertandingan ulangan motoGP.

“Win, aku kangen. Kangen kamu, kangen anak-anak. Aku liatin foto anak-anak kita, ternyata, semuanya mirip aku ya Win ...” ucap Dean di telepon. Rio mencibir mendengar perkataan sahabatnya.

“Ngomong kangen kayak dipaksa masuk asrama aja. Kayak aku yang nyuruh pergi," sahut Winarsih di seberang.

Dean terkekeh mendengar jawaban istrinya.

“Kamu lagi ngapain? Gak kangen dipegang-pegang sebelum tidur?” tanya Dean.

Rio melengos.

“Kangen. Makanya jangan pergi-pergi sendiri. Aku gak diajak. Nanti lain kali, aku juga kepingin pulang ke kampung sendirian."

"Gak boleh. Gak boleh kalo itu. Harus bareng aku," jawab Dean segera. "Ini lagi ngapain?" tanya Dean.

"Ini mau tidur. Anak-anak tidur denganku. Pada nanyain bapaknya,” jawab Winarsih.

TOK TOK TOK

Terdengar ketukan buru-buru di pintu kamar mereka. Dean dan Rio saling pandang. Rio segera berdiri menghampiri pintu. Dan dalam sekejab saja, ia membuka pintu tanpa sempat mengintip dari lubang.

“Mas Rio, temenin aku ke depan. Aku mau pulang sekarang,” kata Tasya yang muncul di depan pintu kamar sambil menangis.

Rio menatap Tasya dengan tatapan bingung. Tasya menangia tersedu-sedu tanpa penjelasan.

“De! Dean! Tolong—” Rio membutuhkan teman untuk meminta pendapat.

Dean bangkit dari ranjang masih dengan teleponnya.

“Mas Dean, bareng Mas Rio, temenin aku ke depan resor. Aku mau pulang sekarang. Aku nggak mau lagi di sini.” Tasya tersedu-sedu.

“Suara perempuan, Mas? Nangis? Siapa itu? Perempuan nangis malem-malem?” tanya Winarsih di seberang.

“Pacar Toni, Win ... eh, mantannya—mantannya. Inget kan, yang dateng jengukin kamu waktu lahiran Dirja? Bukan siapa-siapaku. Aku gak laku di sini. Toni yang lagi naik daun,” kata Dean.

“Anterin, Mas ...” ucap Tasya lagi.

“Oh, oke—oke. Kita sama-sama. Aku gak tau masalahnya apa. Tapi—De!” panggil Rio lagi.

“Win, aku tutup telfon dulu ya Sayang .... Jangan khawatir dengan aku. Hatiku udah habis untuk kamu semua.”

“De—” panggil Rio lagi. Dean segera menutup teleponnya dan kembali menghampiri Rio.

“Jadi gimana ini?” tanya Rio memandang Tasya yang masih terus menangis.

“Ayo kita cari si Mus,” kata Dean. “Dia kan, sekretaris Toni. Dia harus bisa beresin ini.”

Rio berjalan di depan sambil menyeret koper Tasya menuju lift. Wanita muda itu masih menangis dan terus menerus menyeka air matanya. Dean dan Rio hanya bisa menebak hal ini pasti berhubungan dengan Toni.

“Siapa yang jemput kamu?” tanya Rio.

“Papa—” jawab Tasya. Dean menarik lengan Rio agar mendekat padanya.

“Waduh,” gumam Dean. “Kita tunggu Mus dulu. Kalo manggil Toni, bakal runyam. Dia dijemput bokapnya cuy. Bisa baku hantam, Toni malu. Jadi kita panggil Mus, buat kesan agar Toni gak menelantarkan Tasya. Dia udah mantan pacar, kok masih ngotot. Emang ada urusan apa, sih?” kesal Dean berbisik.

“Kayak yang lo pernah bilang, mungkin Toni enak banget. Kayak yang Disty dan Ara rasain,” jawab Rio.

“Anjing! Beda! Ya udah, kita cari si Mus. Gue gak mau nelfon dia. Entar dia simpen nomer. Bahaya.” Dean kembali menyeret Rio masuk ke dalam lift dan menekan tombol L untuk menuju ke lobi.

“Si Mus, kalo dicari malah ngilang. Gak dicari malah berserakan di mana-mana.” Dean mengomel di teras lobi.

“Berserakan? Lo kata si Mus sampah apa?” Rio terkekeh.

“Ada yang sebut-sebut nama saya?” tanya Mus tiba-tiba.

Dean memeluk bahu Rio. Dan Tasya seketika menghentikan tangisnya karena rasa terkejut. Mus ternyata sedang duduk di kursi kayu teras luar. Beberapa langkah dari tempat mereka berdiri. Dean dan Rio hanya kurang menoleh ke belakang saja.

“Ngapain kamu di situ?” tanya Dean sedikit kesal. “Harusnya kalo denger dicariin, langsung muncul.”

“Saya lagi merajut, Pak ...” jawab Mus berdiri menghampiri Dean dan Rio.

“Merajut apa di gelap-gelap?” kesal Dean.

“Merajut asa dan mimpi-mimpi—”

“Cukup Mus! Diem! Ini, temenin mantan pacar bos kamu untuk nunggu jemputan orangtuanya.” Dean menggeser berdirinya agar Mus bisa melihat Tasya yang sekarang berhenti menangis.

To Be Continued

Terpopuler

Comments

Myue89

Myue89

Berserakan ya Allah 🤣🤣🤣

2024-02-04

0

Farni hana

Farni hana

ya ampuuun... dikira itu sampah si Mus🤣🤣🤣

2024-01-26

2

Farni hana

Farni hana

hahhahahaha.. astgaaa... makanan kali Pak De.. 🤣🤣🤣

2024-01-26

0

lihat semua
Episodes
1 1. Dean Danawira Hartono
2 2. Tony Setyo Anderson
3 3. Balada Perdukunan
4 4. Rio Haryanto Oey
5 5. Akibat Kesalahan Satu Malam
6 6. Rangga Langit Kelana
7 7. Azas Keseimbangan dan Demokratis
8 8. Jurus Terakhir Dean
9 9. Bukan Rahasia Kelam
10 10. Tak Terlalu Spektakuler
11 11. Misi Mengamati (1)
12 12. Misi Mengamati (2)
13 13. Kerja Sama Tim
14 14. Menebus Kenangan Pertanyaan
15 15. Keributan Lebih Dulu
16 16. Akhirnya Perkelahian
17 17. Resor Gratis
18 18. Anak Sulung Badung
19 19. Perjanjian Damai
20 20. Bujukan Dean
21 21. Akhir Misteri (1)
22 22. Akhir Misteri (2)
23 23. Untaian Isi Hati
24 24. Aku Hanya Rakyat Biasa
25 25. Adu Ketahanan Mental (1)
26 26. Adu Ketahanan Mental (2)
27 27. Saran Dari Ahli
28 28. Memastikan Sesuatu
29 29. Dimanfaatkan Sekali Lagi
30 30. Rasa Dari Masa Lalu
31 31. Bukti Lipstik Waterproof
32 32. Cerita Teman Hidup
33 33. Bingkisan Panitia Outing
34 34. Teror Ucapan Bingkisan
35 35. Feedback Bingkisan
36 36. Man to Man
37 37. Ulah Para Sekretaris
38 38. That's Why We Adore Him
39 39. Aku Masih Seperti Yang Dulu
40 40. Andaikan Kau Datang Kemari
41 41. Jawaban Mana Yang 'Kan Kuberi
42 42. Adakah Jalan Yang Kau Temui
43 43. Untuk Kita Kembali Lagi
44 44. Aku Tak Biasa
45 45. Kantor Pengacara Tersohor
46 46. Potongan Kisah Masa Lalu (1)
47 47. Potongan Kisah Masa Lalu (2)
48 48. Potongan Kisah Masa Lalu (3)
49 49. Asal Muasal Sekretaris Setia (1)
50 50. Asal Muasal Sekretaris Setia (2)
51 51. Asal Muasal Sekretaris Setia (3)
52 52. Heboh Sekompi
53 53. Modus Mulus
54 54. Tamu Makan Siang
55 55. Bertemu Nyonya Rumah
56 56. Pernah Kumencintaimu, Tapi Tak Begini
57 57. Cintai Dia Yang Mencintaimu
58 58. Mengingatkan Dirimu Akan Sesuatu
59 59. Pertengkaran Anak Asuh
60 60. Jauh Dari Rencana
61 61. Kurang Konsentrasi
62 62. Ternyata Selama Ini
63 63. Menuju Penyelesaian
64 64. Tak Kubiarkan Kau Tak Bahagia
65 65. Dari Toni Untuk Wulan
66 66. Awal dan Akhir Bagi Wulan
67 67. Sebuah Akhir
68 68. Makan Siang Bersama
69 69. Hasil Rapat
70 70. Sesuai Janjiku
71 71. Acara Sabtu Pagi
72 72. Di Luar Rencana
73 73. Kekacauan Lainnya
74 74. Adu Ilmu
75 75. Asih Sebenarnya
76 76. Hidup Tetaplah Misteri
77 77. Cieeee
78 78. Di Dalam Mobil
79 79. Dua Kantong Bingkisan
80 80. Mengurai Simpulan Masa Lalu
81 81. Tragedi
82 82. Bubar
83 83. Tentang Aku dan Kamu
84 84. Kita dan Anak Adopsi
85 85. Urusan Kita
86 86. H Minus Dua
87 87. Malam Gaduh
88 88. Percakapan IGD
89 89. Tembakan Santoso
90 90. Permintaan Toni
91 91. Suprise
92 PENGUMUMAN PEMENANG GIVE AWAY
93 92. P3K
94 93. Memenuhi Janjiku Padamu
95 94. Hadiah Dari Sahabat
96 95. Jamuan Makan Malam
97 96. Keahlian Lama
98 97. Semangat Baru
99 98. Tunggu Kami
100 99. Jangan Terlalu Lama Terlelap
101 100. Kado Untuk Mami
102 101. Menjelang Kebahagiaan
103 102. Kelahiran Handaru
104 103. Kabar Dari Santoso
105 104. Arisan Impian
106 105. Misteri Cuti
107 106. Menuju Sidang
108 107. Paparan Alasan
109 108. Kado Pernikahan
110 109. Menatapi Hasil Sidang
111 110. Dari Musdalifah
112 111. Kebahagiaan Untuk Asih
113 112. Hari Keluarga Anderson
114 113. Menjenguk Bayi
115 114. Obat Untuk Mami
116 115. Menjelang Arisan Besar
117 116. Arisan Besar
118 117. Akhirnya, Keluarga.
119 118. Puncak Masa Keemasan
120 119. Takdir
121 120. Keluarga Besar (1)
122 121. Keluarga Besar (2) TAMAT
Episodes

Updated 122 Episodes

1
1. Dean Danawira Hartono
2
2. Tony Setyo Anderson
3
3. Balada Perdukunan
4
4. Rio Haryanto Oey
5
5. Akibat Kesalahan Satu Malam
6
6. Rangga Langit Kelana
7
7. Azas Keseimbangan dan Demokratis
8
8. Jurus Terakhir Dean
9
9. Bukan Rahasia Kelam
10
10. Tak Terlalu Spektakuler
11
11. Misi Mengamati (1)
12
12. Misi Mengamati (2)
13
13. Kerja Sama Tim
14
14. Menebus Kenangan Pertanyaan
15
15. Keributan Lebih Dulu
16
16. Akhirnya Perkelahian
17
17. Resor Gratis
18
18. Anak Sulung Badung
19
19. Perjanjian Damai
20
20. Bujukan Dean
21
21. Akhir Misteri (1)
22
22. Akhir Misteri (2)
23
23. Untaian Isi Hati
24
24. Aku Hanya Rakyat Biasa
25
25. Adu Ketahanan Mental (1)
26
26. Adu Ketahanan Mental (2)
27
27. Saran Dari Ahli
28
28. Memastikan Sesuatu
29
29. Dimanfaatkan Sekali Lagi
30
30. Rasa Dari Masa Lalu
31
31. Bukti Lipstik Waterproof
32
32. Cerita Teman Hidup
33
33. Bingkisan Panitia Outing
34
34. Teror Ucapan Bingkisan
35
35. Feedback Bingkisan
36
36. Man to Man
37
37. Ulah Para Sekretaris
38
38. That's Why We Adore Him
39
39. Aku Masih Seperti Yang Dulu
40
40. Andaikan Kau Datang Kemari
41
41. Jawaban Mana Yang 'Kan Kuberi
42
42. Adakah Jalan Yang Kau Temui
43
43. Untuk Kita Kembali Lagi
44
44. Aku Tak Biasa
45
45. Kantor Pengacara Tersohor
46
46. Potongan Kisah Masa Lalu (1)
47
47. Potongan Kisah Masa Lalu (2)
48
48. Potongan Kisah Masa Lalu (3)
49
49. Asal Muasal Sekretaris Setia (1)
50
50. Asal Muasal Sekretaris Setia (2)
51
51. Asal Muasal Sekretaris Setia (3)
52
52. Heboh Sekompi
53
53. Modus Mulus
54
54. Tamu Makan Siang
55
55. Bertemu Nyonya Rumah
56
56. Pernah Kumencintaimu, Tapi Tak Begini
57
57. Cintai Dia Yang Mencintaimu
58
58. Mengingatkan Dirimu Akan Sesuatu
59
59. Pertengkaran Anak Asuh
60
60. Jauh Dari Rencana
61
61. Kurang Konsentrasi
62
62. Ternyata Selama Ini
63
63. Menuju Penyelesaian
64
64. Tak Kubiarkan Kau Tak Bahagia
65
65. Dari Toni Untuk Wulan
66
66. Awal dan Akhir Bagi Wulan
67
67. Sebuah Akhir
68
68. Makan Siang Bersama
69
69. Hasil Rapat
70
70. Sesuai Janjiku
71
71. Acara Sabtu Pagi
72
72. Di Luar Rencana
73
73. Kekacauan Lainnya
74
74. Adu Ilmu
75
75. Asih Sebenarnya
76
76. Hidup Tetaplah Misteri
77
77. Cieeee
78
78. Di Dalam Mobil
79
79. Dua Kantong Bingkisan
80
80. Mengurai Simpulan Masa Lalu
81
81. Tragedi
82
82. Bubar
83
83. Tentang Aku dan Kamu
84
84. Kita dan Anak Adopsi
85
85. Urusan Kita
86
86. H Minus Dua
87
87. Malam Gaduh
88
88. Percakapan IGD
89
89. Tembakan Santoso
90
90. Permintaan Toni
91
91. Suprise
92
PENGUMUMAN PEMENANG GIVE AWAY
93
92. P3K
94
93. Memenuhi Janjiku Padamu
95
94. Hadiah Dari Sahabat
96
95. Jamuan Makan Malam
97
96. Keahlian Lama
98
97. Semangat Baru
99
98. Tunggu Kami
100
99. Jangan Terlalu Lama Terlelap
101
100. Kado Untuk Mami
102
101. Menjelang Kebahagiaan
103
102. Kelahiran Handaru
104
103. Kabar Dari Santoso
105
104. Arisan Impian
106
105. Misteri Cuti
107
106. Menuju Sidang
108
107. Paparan Alasan
109
108. Kado Pernikahan
110
109. Menatapi Hasil Sidang
111
110. Dari Musdalifah
112
111. Kebahagiaan Untuk Asih
113
112. Hari Keluarga Anderson
114
113. Menjenguk Bayi
115
114. Obat Untuk Mami
116
115. Menjelang Arisan Besar
117
116. Arisan Besar
118
117. Akhirnya, Keluarga.
119
118. Puncak Masa Keemasan
120
119. Takdir
121
120. Keluarga Besar (1)
122
121. Keluarga Besar (2) TAMAT

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!