💝💝💝
Setelah dari taman kami langsung pulang. Di perjalanan aku diam saja, hanya sesekali melirik ke arahnya. Aku senang sekali, tidak percaya kami bisa sedekat ini. Hampir saja aku merusak suasana dengan marah-marah. Melati, gadis itu hanya melempar pandangan ke luar jendela. Aku berjanji akan memperlakukan dia lebih baik.
"Terima kasih, Tuan," ucapnya setelah aku membuka pintu apartemen, mempersilakan ia masuk.
Gadis itu langsung menuju ke kamarnya. Padahal aku masih ingin berada di dekatnya. Alasan apa yang harus kubuat supaya dia tetap berada di dekatku?
"Melati!" panggilku tiba-tiba saat langkahnya mulai menjauh.
Ia berhenti, berbalik dan manatap, dari sorot matanya ia terlihat ingin bertanya.
"Aku, lagi pengen minum kopi. Jika kamu tidak terlalu lelah, bolehkah aku meminta tolong padamu untuk membuatkan itu?"
"Baik, Tuan." Ia tidak jadi menuju kamar, ia langsung menuju ke dapur.
Sementara ia membuatkan kopi, aku duduk di sofa, menghidupkan TV dan sesekali menoleh ke arah kiri memperhatikannya. Antara ruang tamu dan dapur tak bersekat, apartemen ini tidak terlalu luas. Satu ruang tamu tempatku saat ini, di sebelah kiriku dapur dengan meja makan, di depan ruang tamu ada kamarku, di depan meja makan ada kamar Melati dan di dekat dapur ada kamar mandi. karena antara ruang tamu dan dapur tidak memiliki sekat.
Selesai membuat kopi, Melati meletakkan kopi di hadapan. Setelah itu kembali hendak masuk ke kamar.
"Melati!" aku tak bisa menahan mulutku memanggilnya.
"Iya, Tuan?" Ia menoleh lagi.
"Apa kamu sudah lelah?"
"Tidak, terlalu Tuan."
"Ehhh, bisa kita mengobrol dulu?"
"Iya, Tuan."
Ia mendekat duduk di hadapan, berseberangan meja denganku. Hening.
Ngobrol apa enaknya. Apa yang harus kutanyakan.
"Melati."
"Iya, Tuan."
"Makanan kesukaan kamu apa?"
"Saya suka semua, Tuan. Yang penting halal."
"Yang sangat kamu sukai?"
"Suka semua."
Aku diam, memikirkan apa mungkin ada manusia yang suka dengan semua makanan. Apa wanita ini tipe pemakan segala, ya? Sepertinya dia omnivora.
"Tuan."
Panggilannya membuyarkan lamunan. Pikiranku soal Omnivora buyar seketika.
"Ya."
"Kalau, Tuan. Makanan kesukaannya apa?"
Apa dia serius ingin tahu makanan kesukaanku? Bahagia sekali rasanya.
"Saya suka puding. Kalau minumannya saya suka jus buah-buahan."
"Oh, saya bisa buat agar-agar. Bubuk agarnya di campur gula merah dan susu."
"Benarkah kamu bisa buat agar-agar?"
"Bisa, Tuan."
Aku mengulum senyum, berharap suatu saat dia sudi membuatnya untukku. Kebetulan, Gilsa sudah melengkapi semua kebutuhan di dapur, termasuk sekotak agar-agar. Siapa tau, besok dia membuatkanku.
"Tuan."
"Ya."
"Boleh, saya tidur?"
"Oh, silakan. Selamat malam, mimpi yang indah, ya!"
Wanita itu sedikit mengulas senyum dan berlalu. Sementara aku masih duduk di sini. Memikirkan dia di dalam sana.
***
Tok ... tok ... tok ....
Samar, kudengar suara pintu diketuk. Dengan malas aku beringsut dari ranjang. Menyibakkan selimut dan turun dari sana. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 05.15 pagi. Aku berjalan ke arah pintu, kemudian membukanya. Melati masih mengenakan mukena berdiri di hadapan.
"Tuan, waktunya. Shalat subuh."
"Iya, baiklah Melati. Terima kasih."
Kemudian ia berlalu kembali ke kamarnya. Padahal aku ingin shalat berjamaah seperti di rumah. Ya sudahlah, mungkn lain waktu bisa kubicarakan. Aku membersihkan diri, setelahnya shalat subuh di samping ranjang. Selesai aku keluar kamar. Kulihat Melati sudah menyiapkan kopi panas di meja makan. Ia juga sedang mengoles roti dengan selai kacang.
"Tuan, silakan sarapan dulu."
"Terima kasih, Melati."
Aku duduk di kursi meja makan. Begitu pun ia, wanita itu memilih duduk bersebrangan meja denganku.
"Apa, kamu tidak apa-apa sendirian di rumah saat aku keluar nanti?"
"Tidak masalah, Tuan. Saya akan mengerjakan pekerjaan rumah, kalau boleh saya juga ingin memasak. Saya tahu masakan saya tidak seenak Mbak Bunga. Tapi, saya akan mencoba."
'Dia masih saja menyebut dirinya 'Saya'. Tidak apa-apa lah, nanti dia kecewa kalau aku memprotesnya.'
"Tuan, apa Anda tidak mengizinkan saya untuk masak?"
"Oh, bukan begitu. Tentu saja, boleh. Kamu bisa lihat resep setiap masakan di google ya."
"Baik, Tuan."
Melati mengambil secangkir teh hangat di hadapannya kemudian meneguknya. Setelah itu hening lagi. Ingin sekali aku memulai obrolan, tapi apa yang harus kutanyakan. Apa aku harus bertanya masa kecilnya? Itu sama saja membuatnya bersedih, mengingat dia hidup bersama Ibu yang tak memiliki hati.
"Tuan. Boleh saya masuk ke kamar Anda? Ehh, Jangan salah faham, Tuan. Saya hanya ingin menyiapkan pakaian kerja dan sepatu Anda. Saya hanya ingin memastikan pakaian Anda bersih dan wangi seperti biasa."
Aku terkesiap, begitu perhatiannya ia denganku.
"Tentu saja, boleh," sahutku.
Melati masuk ke kamar. Setelah itu ia keluar lagi, menyetrika pakaianku di dekat TV dan menyemir sepatu. Jujur, aku tersentuh. Setelah semua selesai, Melati datang mendekatiku yang kini sudah duduk di sofa sambil menonton TV.
"Tuan, semuanya sudah saya persiapkan."
"Terima kasih, Melati."
Ia hanya menunduk dan berlalu. Masuk ke kamar lagi. Aku berdiri, mempersiapkan diri untuk pergi bekerja. Hari ini, kuusahakan pulang cepat. Aku membatasi waktu. Semua acara di atas jam lima sore tidak kuterima. Kasihan wanita itu jika harus sendirian di rumah. Sebelum Magrib aku harus sampai di rumah.
Aku mengangkat tangan, hendak mengetuk pintu kamar Melati. Baru saja akan kuketuk ia sudah membuka pintunya.
"Tuan, ada apa?"
"Aku mau pergi bekerja, Melati."
"Iya, Tuan. Hati-hati di jalan."
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Dengan berat hati aku berbalik, melangkah pergi. Baru saja akan membuka pintu utama kuputuskan membalikkan tubuh lagi, melihat ke arahnya.
"Melati."
"Ya,Tuan?"
"Jangan lupa, kunci pintunya."
"Baik, Tuan."
Kemudian berbalik lagi. Aku sudah membuka pintu, tapi enggan sekali rasanya pergi. Akhirnya menghadap ke arahnya lagi.
"Melati."
"Ya, Tuan?"
"Ehh, kalau ada perlu apa-apa, kirim pesan saja."
"Baik, Tuan."
Aku berbalik lagi, berjalan hendak keluar pintu apartemen. hampir saja kututup daun pintu ini, tapi kemudian memutuskan membuka pintunya lagi, kepalaku melongok ke dalam, menatapnya.
"Melati."
"Ya, tuan?" Ia masih berdiri di sana. Sepertinya ia tau kalau aku akan kembali memanggilnya.
"Ehhh, anu ... Apa ya, kalau, kalau ... "
"Tuan, kalau ada yang ingin Anda katakan, katakan lewat pesan saja. Nanti Anda bisa terlambat."
"Oh, iya. Baiklah, jaga dirimu baik-baik di rumah. Nanti kalau mau mengajar les menari telepon Pak Gus saja. Nomornya akan kukirim ke ponselmu."
"Baik, Tuan."
"Ya sudah, saya pergi dulu, Assalamu'alaikum... "
"Waalaikumsalam, Tuan."
***
Aku memutuskan menyetir mobil sendiri setelah pindah. Gilsa akan di jemput Regi menemuiku di lokasi syuting. Aku akan coba hal baru dalam hidup. Aku datang lebih pagi hari ini, suasana syuting masih sepi. Tak sabar aku menunggu sore, aku ingin pulang. Hanya sekedar berbicara hal yang sederhana dengannya.
Setelah menunggu agak lama akhirnya semua orang sudah datang. Termasuk Gilsa, tergesa ia datang mendekat, lalu meminta maaf karena aku datang lebih dulu darinya. Aku mengikuti jalannya syuting dengan hati tenang. Aku merasa, emosiku sedikit terkontrol hari ini. Jika biasanya aku marah-marah kalau ada kontestan yang rasa masakannya tidak enak, berbeda dengan hari ini.
Aku malah menyemangati mereka, supaya terus berusaha dan jangan mudah menyerah. Dua rekan ku memandang dengan senyum tipis. Sesekali mereka berbisik, sesekali tertawa. Saat jeda syuting aku duduk di ruangan yang sama dengan Mariska.
"Juna, lo kenapa?" tanya Mariska.
Banyak orang menjodohkan kami berdua, kata mereka kami cocok, sama-sama chef ternama dan serasi. Kami hanya tertawa menanggapi perjodohan para netizen itu.
"Kenapa?" Aku balik bertanya.
Mengambil botol air mineral di meja, membuka dan meminumnya.
"Kayaknya lo beda deh hari ini?" Ia memandang wajahku dengan seksama.
Aku mendengkus, tertawa. Mengalihkan pandangan dan kembali menatapnya.
"Kenapa emang?"
"Biasanya, orang yang tiba-tiba berubah pasti ada yang salah dengan hatinya."
Aku masih tertawa sembari menggelengkan kepala.
"Lo nikahnya udah lama, kok senewen nya baru sekarang?"
Aku tidak menanggapinya, aku hanya mengulas senyum sebagai jawaban. Yang lain ikut menggoda saat nimbrung bersama kami. Aku seolah pengantin baru yang pantas di goda. Ya, memang aku sedang berbunga-bunga. Sayangnya bunga ini hanya tumbuh di hatiku. Entah di hari wanita itu.
***
Aku berjalan cepat menuju lift, hari ini aku sampai di apartemen pukul 18.10 menit. Langsung saja menuju lantai 20. Begitu lift di buka aku langsung masuk ke teras apartemen di mana aku dan Melati tinggal. Aku menekan bel beberapa kali. Kenapa agak lama, apa dia sedang tidur?
Karena lama aku duduk di kursi teras apartemen ini, menunggu ia membukakan pintu. Kulihat di rak sepatu, ada sepatu Melati di sana, berarti ia ada di dalam. Setelah sepuluh menit pintu terbuka. Melati membuka pintu masih mengenakan mukena. Aku berdiri hendak masuk, tapi Melati langsung berjongkok, melepas sepatuku, dan meletakkannya di rak.
"Silakan masuk, Tuan."
"Terima kasih."
Kemudian aku berjalan di belakang tubuhnya. Aku langsung menuju ke kamar, membersihkan diri dan menjalankan shalat Magrib. Setelah Isya aku langsung keluar kamar, Melati sudah duduk di kursi meja makan.
"Tuan, silakan makan."
Ini pertama kalinya aku akan memakan masakannya. Meski pun pernah makan cake buatannya. Tapi, untuk lauk pauk, baru kali ini.
Aku duduk bersebrangan meja dengannya. Dengan sigap ia mengambilkan makan untukku. Kemudian, duduk diam setelahnya.
"Melati, makan lah... "
"Saya menunggu piring Anda."
"Mulai saat ini tidak ada lagi peraturan itu. Makanlah, kita makan sama-sama."
Dia masih diam.
"Melati?"
"Tuan, saya sudah terbiasa makan dari piring yang sama dengan Anda, karena itu biarkan saya menunggu."
Aku yang hendak memasukkan nasi ke mulut mengurungkan niat. Aku beranjak, dan bejalan mendekatinya. Kutarik kursi lebih mendekat ke arahnya. Kemudian duduk di sebelahnya. Bahkan kursi kami nyaris berdempetan. Aku meletakkan piring di hadapan kami berdua dan mengambil sendok satu lagi untuknya.
"Sekarang ayo kita makan!"
Melati diam, menatap wajahku lamat-lamat.
"Tuan."
"Kamu ingin makan di piring yang sama denganku, sedangkan aku ingin makan berbarengan denganmu. Jadi ini jalan satu-satunya. Makan di piring yang sama dalam waktu yang sama."
"Tapi, Tuan."
"Ayo makan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Ahmad fadli Pratama
suka
2020-07-11
0
princess Almira
iya
2020-05-26
1
W⃠''@πJαn!!!'`™. ⃟ ⃟ ࿐
aaaaaaaaa...aku yg baperrrrr sama km junaaa😍😍😍😍
2020-05-23
2