💖💖💖
Di kelas menari George bercerita kalau ia mengadakan kelas menari Jaipong juga untuk anak-anak, berhubung guru les menarinya sedang ada kerjaan, jadi aku menawarkan membantu. Aku tidak perlu dibayar. Bagiku, berinteraksi dengan anak-anak adalah suatu kesenangan.
Aku mulai mengajar setelah pertunjukanku untuk tuan Arjuna sudah usai supaya bisa fokus. Karena niat awal ikut les menari ini hanya untuk mempersembahkan tarian untuknya. Kini, setelah pementasan itu berakhir aku jadi takut bertemu dengannya. Tuan Arjuna terus menggoda. Ia bahkan menciumku malam itu. Aku tahu, aku hanya gadis bodoh yang berpikir kalau dia benar-benar menyukaiku. Bagaimana bisa seorang Tuan Arjuna menyukai gadis miskin dan kampungan sepertiku.
Hari ini tiba-tiba Gilsa datang menjemput sekitar jam sepuluh pagi. Katanya aku akan menghadiri konferensi pers dan pemotretan. Sebelumnya aku di ajak ke salon dan butik. Setelah itu baru menemui Tuan Arjuna yang sudah menunggu. Di sana tingkah Tuan Arjuna aneh. Tentu saja aku tidak mau melihat wajahnya. Aku masih kepikiran kejadian tadi malam, ketika ia mencium dengan sengaja. Memeluk sampai aku sulit bernapas. Di mana kalimat yang sering ia lontarkan, dekat denganku adalah sesuatu yang harus dihindari? Karena aku sumber virus, kuman, bakteri dan lain sebagainya.
Di sana Tuan Arjuna masih bersikap aneh. Tatapannya hangat, senyumnya terlihat tulus dan dia tidak marah-marah. Bahkan aku sengaja memanggilnya dengan sebutan Tuan, bukan Abang seperti yang ia minta, ia diam saja, tidak protes dan marah seperti biasa. Oh Tuhan, sebenarnya dia kenapa, ya?
Apa Tuan Arjuna sedang ingin mempermainkan perasaanku? Terlebih ketika pemotretan berlangsung, entah mengapa setiap kalimat yang keluar dari mulutnya membuatku percaya. Apa pun yang dikatakannya membuatku terlena.
Janjinya, ia akan mempertemukanku dengan Bapak, meskipun tak tahu itu kapan, tapi aku mempercayainya. Tidak ada sorot kebohongan di matanya. Saat konferensi pers, ia terus saja menggenggam jemari ini. Sesekali ia mengecup punggung tanganku hangat. Jika biasanya aku melihat kepalsuan, entah mengapa kali ini aku merasa ini tulus. Ia bersikap sangat lembut, apa mungkin Tuan Arjuna ....
Ish!
Aku memukul kepalaku sendiri. Setelah membantu Mbak Bunga merapikan meja aku langsung naik ke atas. Mbak Bunga, nama itu kusematkan untuknya, setelah kukatakan aku menganggapnya keluargaku sendiri di rumah ini. Kadang aku butuh teman bicara, sepertinya Mbak Bunga orang yang tepat untuk menjadi teman curhat. Kini aku sampai di depan pintu kamar.
'Bismillah, semoga Tuan tidak melakukan hal seperti yang kemarin.'
Aku membuka pintu. Terlihat Tuan Arjuna sedang berbaring dan bersandar di kepala ranjang. Aku langsung menuju sofa dan berbaring, menutup tubuh dengan selimut sampai ke leher. Ia beringsut duduk Kemudian berjalan mendekat ke arahku.
"Tuan, saya mohon jangan mendekat!" pintaku.
"Tenang, saya tidak akan melakukan apapun. Hanya ingin bicara denganmu."
Aku beringsut duduk, aku merapatkan selimut pada tubuh. Sungguh aku benar-benar takut ia melakukan sesuatu. Perlahan Tuan Arjuna duduk di sampingku.
"Saya mau minta maaf ..." Aku diam saja. "Entah mengapa baru-baru ini, saya merasa ada yang berbeda dengan hatiku."
Apa maksud dari kata-kata Tuan Arjuna ini, ada yang berbeda dengan hatinya? Apa?
"Bolehkah, kita mulai dari awal?" tanyanya lagi.
"Maksud, Tuan?" tanyaku agak bingung.
"Kita ... pacaran. Ah, maksud saya, menjalin kedekatan. Saling mengenal satu sama lain."
Aku langsung mendongak menatap wajahnya.
"Pacaran?" tanyaku sanksi.
"Maksud saya berteman. Berteman dekat, seperti sahabat."
Jujur saja kali ini aku ragu, apakah benar dia mau menjadi teman dekatku?
"Iya, Tuan," sahutku begitu saja lalu kembali menunduk.
"Emmm, tidak apa-apa kalau kamu mau panggil aku Tuan, jika tidak nyaman dengan panggilan Abang. Lagi pula aku tidak ingin menjadi Abangmu. Aku... Lebih tertarik jadi suamimu."
"Hah?!" Mataku membulat.
Tuan Arjuna tertawa sembari menggelengkan kepala melihat wajahku yang bengong seperti orang bodoh. Sungguh aku merasa aneh, apa rencana Tuan Arjuna bisa bersikap selembut ini denganku? Meski pun tak dapat di pungkiri ia terlihat tulus.
"Ya sudah, tidurlah ... Oh iya, mulai besok kita pindah ke apartemen, ya! Aku ingin hidup berdua denganmu. Saling mengenal satu sama lain."
'Apa rencana Tuan ini? Nanti kalau dia apa-apain aku siapa yang mau menolong dan membantu?'
Aku menatap lekat wajahnya. Ia yang semula hendak beranjak kembali duduk di tempat semula.
"Jangan takut, kamar kita terpisah! Oh satu lagi, tidak ada Anda dan kau, mulai sekarang kita bisa menggantinya dengan sebutan Kamu dan Aku." Kemudian Tuan Arjuna berdiri dan berjalan kembali ke ranjangnya.
Sepertinya ia mengerti keraguan di hatiku. Aku baru merasa lega mendengar itu, setelahnya berbaring dan berusaha memejamkan mata, mencoba untuk tidur.
---
"Jadi kami kerja untuk siapa kalau Tuan sama Nyonya mau pindah hunian? Apa kami ikut kalian?" tanya Pak Gus keheranan pagi itu ketika kami semua sedang duduk di meja makan bersama.
"Sementara kalian mengurus, Dewi dan Tante Dinda dulu di sini," sahutnya singkat.
Padahal aku berharap, ada salah satu ART di sini yang diajak tinggal bersama kami, aku tak mau hanya berdua dengannya di apartemen itu. Jujur saja aku takut. Tante Dinda tersenyum mendengar berita ini, ia bahkan menyemangatiku supaya bersemangat mendapatkan hati Tuan.
Sedangkan Dewi hanya diam duduk di ujung sana. Mbak Bunga terlihat tampak senang, begitu pun Regi. Ia mengucapkan selamat.
"Kalau lihat dari auranya sepertinya Tuan beneran suka sama kamu, Nyonya. Semoga kalian jadi suami istri sungguhan, ya!" bisik Pak Gus tak kalah memberikan semangat padaku dan aku hanya tersenyum samar.
Semua baju dan peralatan lainnya sudah di kemas. Kami tinggal berangkat. Tidak berapa lama Gilsa datang. Kami berangkat setelah berpamitan pada semua orang.
Satu jam berlalu, kami sampai pada tempatnya.
"Jadi ini tempat kita yang baru!" ucap Tuan Arjuna, sementara Gilsa dan Pak Regi sibuk menyusun semua barang.
Perlahan aku berjalan menyusuri ruangan. Tempat ini cukup luas, semua perabot dan dinding dicat berwarna putih, seperti sofa, perabot dapur, kamar dan kamar mandi, semua berwarna putih. Jadi terlihat bersih sekali.
"Melati, sini!" Tuan memanggilku. Aku mendekat ke arahnya. Ia membuka pintu. "Ini kamar kamu." Aku hanya tersenyum.
"Terima kasih, Tuan."
"Kamu suka, dengan warnanya?" Aku mengangguk.
Sebuah kamar bercat pink, dengan ranjang berwarna putih. Ada dua nakas di sisi kiri dan kanan. Sebuah TV yang cukup besar. Sofa mini dan balkon yang menghadap ke jalanan.
"Terima kasih, Tuan," ucapku sembari duduk di ujung ranjang, mengamati kesemua ruangan. Sementara ia masih berdiri di depan pintu.
"Ya sudah, kamu boleh istirahat dulu. Pasti kamu lelah setelah menempuh satu jam perjalanan." Tuan Arjuna berlalu, sebelumnya ia menutup pintu.
'Kenapa dengan pria itu? Aneh sekali.'
***
Malam ini Tuan Arjuna mengajak duduk di taman, tidak banyak yang kami lakukan di tempat yang baru. Ia membeli makanan di luar untuk kami makan siang. Dan kini ketika malam ia mengajak duduk di taman. Ini pertama kalinya kami pergi berdua, karena biasanya selalu ada Pak Regi atau Pak Gus yang menemani.
"Kamu pengen makan apa, Melati?" tanyanya.
"Apa saja, Tuan," sahutku sekenanya.
"Emm, kamu tunggu di sini, ya. Jangan ke mana-mana." Aku mengangguk, kemudian pria itu melangkah pergi.
Disekitarku tampak lampu warna warni melilit di pepohonan, indah sekali dan aku sangat menyukainya. Perlahan aku berdiri dari kursi taman dan mendekati pepohonan. Kutatap dari dekat lampu yang berkelip itu. Ada warna merah, ada warna kuning dan ada warna biru. Kusentuh lampu-lampu kecil itu. Aku tersenyum, dari dulu aku sangat suka lampu yang berkelip-kelip seperti ini. Setiap kali bapak mengajak nonton pasar malam, yang pertama kulihat adalah lampunya.
Tanpa sengaja aku menabrak seseorang karena terlalu asyik memperhatikan lampu-lampu ini.
Bruk!
"Owhh." Ia melenguh, bahkan ponsel di tangannya terjatuh.
"Ma, Maaf, Mas!" ucapku sembari membungkuk hendak mengambilkan ponselnya. Namun, ia juga menunduk hingga kepala kami saling membentur.
"Aduh!" Aku mengelus kepala sambil meringis.
"Maaf, Mbak!" Ia mengatupkan kedua tangan.
"Ehh, iya."
Kali ini aku membiarkannya mengambil ponselnya sendiri. Pria itu tersenyum, memasukkan ponsel ke sakunya dan mengulurkan tangan.
"Maaf ya Mbak sekali lagi. Perkenalkan saya, Rega Affandi."
Aku diam saja, mengatupkan ke dua tanganku di depan dada dan menunduk.
"Saya, Melati. Maaf, saya sudah di tunggu seseorang," ucapku kemudian berlalu.
***
Sampai di tempat semula Tuan Arjuna tampak gelisah. Ia seperti mencari sesuatu. Aku mendekatinya dan ia terlihat lega.
"Ada apa, Tuan?" tanyaku ikut mengedarkan pandangan.
Kedua tangannya berkacak di pinggang, wajah itu tampak kesal.
"Kamu dari mana saja?" tanyanya sedikit galak.
"Saya, saya dari .... "
"Kamu tau bagaimana khawatirnya saya mencari kamu? Kamu tau?" Ia maju selangkah. Kini aku mendongak melihat wajahnya.
'Aku hanya pergi sebentar kenapa dia semarah ini?'
"Katakan langsung, jangan membatin."
Tubuhku menjorok ke belakang. Karena ia terlihat sangat geram.
"Apa ini yang namanya sahabat? Marah-marah?" tanyaku mengingatkan.
Perlahan matanya yang semula melotot seperti ingin menelanku hidup-hidup tampak mengendur. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi taman.
"Iya, maaf. Ini aku bawakan es kelapa muda."
Aku duduk di sisinya. Ia memberikan kelapa muda yang sudah dilubangi bagian tengahnya padaku. Kemudian menyeruput es miliknya sendiri. Sedangkan aku meletakkan kelapa milikku ke samping tubuh.
"Kamu, dari mana?" tanyanya. Kini suara itu melembut, tidak terdengar lagi kemarahannya.
"Saya dari sana, melihat lampu Kelap-kelip yang melingkar di pepohonan."
"Lampu?"
"Iya, saya suka melihat semua lampu itu, Tuan. Ada ketenangan dan kegembiraan sendiri melihatnya."
"Yang mana?" Ia tampak mengedarkan pandangan ke semua tempat. Lalu tertegun setelah melihat pohon yang berjajar rapi di pinggir jalan. "Yang itu?" Tuan Arjuna menunjuk.
"Iya." Begitu mulutku terkatup rapat tangannya langsung menarikku menuju ke tempat itu. "Tuan, kita mau ke mana?"
"Ya ke sana!"
"Buat apa?"
"Biar kamu gembira." Aku terdiam.
Sampai di sana pria itu memintaku berdiri di dekat pohonnya.
"Tuan, buat apa saya berdiri sini?" teriakku karena Tuan Arjuna perlahan menjauh, kemudian ia mengambil gawai dan mengarahkanya padaku.
"Aku mau mengabadikan kegembiraanmu."
'Apa dia akan memfotoku?'
"Apa kau mengatakan sesuatu?" teriaknya. "Ayo tersenyum!" Aku diam saja. "Hey! Angkat tanganmu seperti ini!" perintahnya, memintaku mengangkat tanganku membentuk huruf V dengan jari.
Aku menurut mengangkat tangan. Belum puas ia kembali berteriak. "Tersenyum!!"
Seperti orang bodoh aku tersenyum, menunjukkan barisan gigiku. Dan....
Ceklek!
Ia tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
W⃠''@πJαn!!!'`™. ⃟ ⃟ ࿐
gemessss liatnya😍😍
2020-05-23
1
Dewie
bener sih.. 😀gawai.. itu bhs Indonesia yg baik dan benar.. smntr aku sok sokan bilang gadget
2020-05-18
2
Abimanyu Rara Mpuzz
gawai asmara
2020-05-07
1