Tuan memegang erat pinggang dan mengangkat tubuhku ke atas. Musik berhenti, perlahan Tuan menurunkanku. Dadaku naik turun karena sangat lelah begitu pun detak jantungku berdetak lebih cepat, ditambah kedekatan kami, membuatku semakin gugup dan gelisah.
Entah mengapa aku merasa canggung berada tepat di hadapannya, terlebih sepasang mata itu menatapku dengan tatapan yang, Entah. Aku tak bisa mengartikannya. Sebelah tangan Tuan masih memeluk pinggangku erat, sedangkan tangan lainnya meraba tubuhku bagian belakang, dari pinggang naik ke punggung, kemudian tangan itu terselip di antara leher dan rambut.
Lama ia menatapku, perlahan tangannya menarik leherku maju, begitupun wajahnya semakin mendekat. Sungguh aku takut.
'*Apa ... Mungkin dia akan menciumku? Oh tidak!!!
Berpikir Melati, berpikir. Beri alasan yang kuat supaya pria berkepala batu ini mengurungkan niatnya! Ayo berpikir*!'
Wajah Tuan semakin mendekat, ia bahkan memejamkan matanya. Apa yang harus kulakukan? Kini bahkan wajah kami tak bersekat. Aku menelan ludah saat bibir itu hampir mendarat di bibirku, sampai ide briliant itu hadir di otak. Seolah ada lampu yang menyala di atas kepala.
"Tuan, Eh Bang. Saya lupa gosok gigi tadi saat mandi," ucapku hati-hati.
Tuan Arjuna membuka matanya. Alisnya bahkan saling bertaut karena sanksi dengan yang aku katakan.
"Bagaimana bisa kau lupa gosok gigi?" tanya Tuan Arjuna geram.
Aku hanya nyengir kuda. Kemudian kembali mencari kata-kata yang pas untuk sebuah alasan.
"Iya, Bang. Karena terburu-buru." Mendengar jawabanku yang mungkin masuk akal Tuan Arjuna akhirnya melepaskanku.
"Cepat ganti bajumu, kita pulang!" ucapnya terlihat kesal.
Aku berbalik dan lari tunggang langgang ke balik panggung. Lega karena aku bisa lepas darinya. Aku berdiri di depan cermin, dan mengusap bagian leher, punggung tangan berulang kali dengan kesal. Tuan Arjuna bahkan mendaratkan ciuman di sana saat kami menari tadi.
Sebenarnya ada apa dengannya? Apa dia tidak takut bakteri, kuman, virus beserta jajaran keluarganya hinggap di tubuhnya karena mendekatiku? Aku segera mengganti pakaianku dan kembali mengenakan hijab. Bagaimana nanti di mobil?
Akh!! Aku memejam kesal harus satu mobil dengannya. Apa yang harus kulakukan supaya dia tidak mendekatiku lagi?
"Nyonya! Mari kita pulang!" ajak Gilsa yang membuatku kaget karena tiba-tiba datang.
"Ohh, i ... iya," sahutku terbata.
Berat rasanya melangkahkan kaki menuju mobil. Aku menutup bagian pipi dan mulutku dengan hijab, sehingga tampak seperti orang bercadar.
"Silakan, Nyonya." Gilsa mempersiapkan.
'Apa aku harus duduk di dekatnya? Mengapa aku tidak duduk di depan saja?'
"Kau tidak dengar? Masuk!" suara Tuan Arjuna sedikit meninggi. Oh Tuhan. Akhirnya aku menyerah, aku masuk dengan terpaksa.
Di mobil, aku duduk menghadap ke jendela, sehingga membelakanginya. Sementara itu aku merasa Gilsa seperti menahan tawa duduk di depan sana. Ah, mungkin perasaanku saja.
"Melati."
"Iya, Tuan."
"Yang mengajakmu bicara saya, atau jendela?"
"Anda, Tuan."
"Kalau begitu menghadap ke sini!"
Aku bergerak menghadap lurus ke depan, masih enggan menghadap ke arahnya.
"Melati."
"Iya, Tuan."
"Yang ngajak ngomong kamu, saya atau kursi sopir?"
"Anda, Tuan."
"Kalau begitu menghadap ke arah saya, bodoh!"
Kali ini mataku memejam, takut. Aku menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Setelahnya mencoba tenang, dan kini menghadap ke arahnya.
Pletak!
Tuan Arjuna menyentil telingaku, sakit. Aku meringis.
"Kenapa kau selalu lupa, panggil aku Abang."
"Maaf, Tuan, eh Bang." Aku menunduk.
Pria ini menyibakkan hijab yang menutupi wajah. Kemudian menyentuh ujung daguku dengan ujung jarinya.
"Lihat ke arahku!" perintahnya.
Aku menurut melihat ke arahnya. Ia menarik tangannya, melipatnya di dada dan bersandar pada jok mobil dengan santai, tidak lupa kaki menyilang.
"Jangan takut denganku, aku tidak akan menyakitimu," ucapnya seraya tersenyum.
"Iya, Bang."
'Dia lupa, baru saja dia menyentil telingaku.'
"Apa kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak, Tuan."
"Ya, sudah. Jangan seperti robot. Sandarkan tubuhmu ke belakang." Tuan Arjuna sedikit mendorongku supaya bersandar ke belakang.
Setelah itu ia sibuk dengan gawainya. Sesekali ia menoleh ke arahku hanya untuk melempar senyum. Dia pikir aku akan terpikat?
'Hah!! Tentu saja aku hampir terpikat, dia hanya ingin mempermainkan perasaanku saja! Dia pikir aku tidak tahu?!'
***
"Hoammmmmm!!" Aku merenggangkan otot tangan, rasanya tubuhku pegal semua. Aku kembali memeluk guling di sampingku.
Entahlah, malam ini rasanya tidurku sangat nyaman. Gulingnya juga lebih hangat. Aku mempererat pelukan.
'Eh, tapi kenapa aku tidak seperti tidur di sofa, ya?'
Aku membuka satu mata, mengintip sekitar.
'Apa-apaan ini? Siapa orang yang memelukku?'
Aku langsung membuka mata lebar-lebar, seperti kilat mendongak ke atas, tubuh siapa yang sedang kupeluk ini?
Aku menarik napas panjang, sampai mulutku ikut terbuka lebar saat tahu siapa yang ada di dekatku dan sedang memeluk tubuhku.
'Melati, sabar. Jangan sampai membuatnya marah.'
Aku memejam, dengan sangat hati-hati melepas tangan kekar Tuan Arjuna yang mendekap tubuh kurus ini erat. Setelah terlepas, aku melentangkan tubuh perlahan, lalu menggeser tubuh sedikit demi sedikit menjauh darinya.
'Bagaimana bisa aku tidur seranjang dengannya? Kenapa juga kami berpelukan?'
Baru saja tubuhku berada lima kilan darinya Tuan Arjuna kembali menarik tubuhku mendekat ke arahnya. Kembali pria ini mendekap tubuhku erat. Mataku mengerjap beberapa kali, berpikir bagaimana caranya supaya aku bisa lepas dari pelukannya.
Aku menarik guling yang ada di atas kepala, kemudian dengan hati-hati mencoba meletakkannya di depan Tuan Arjuna. Tanpa kuduga dengan sigap tangannya mengambil guling itu dan begitu saja melemparnya kebelakang tubuhnya.
'Apa aku tidak punya harapan lepas dari pelukannya? Aku tidak bisa tidur nyenyak, bagaimana bisa aku tidur di sini? Harusnya kan di sofa!'
Bola mataku menyamping melirik Tuan Arjuna yang masih pulas. Lagi, aku berusaha melepaskan diri, perlahan tubuhku beringsut turun ke bawah. Dengan sangat hati-hati supaya tidak membangunkannya. Aku hampir berhasil, kini kepalaku tepat berada di depan dadanya.
'Sedikit lagi Melati, sedikit lagi! Ayo, ayo, ayo!' Aku menyemangati diriku sendiri.
Hampir aku lepas dari pelukannya, eh tanpa kuduga, ke dua tangannya menarik lenganku hingga kembali terangkat ke atas.
'Apa-apaan? Apa dia pura-pura tertidur?'
Sungguh aku geram, aku melotot menatap wajahnya dengan wajah kesal. Seperti pencuri ketahuan maling, begitu aku melotot mata Tuan Arjuna terbuka.
'MashaAllah .... Mati, aku!! Dia diam saja, jantungku deg degan, apa dia akan membunuhku malam ini juga. Ya Allah tolonglah hambamu, ini.'
Ekpresi wajah Tuan datar, tapi sorot matanya menatap tajam, aku harus bagaimana.
'Melati, habislah kau malam ini, habis!!'
Tuan Arjuna, memeluk lebih erat, sampai aku sulit bernapas, apa dia akan membunuhku perlahan.
'Ya ampun, aku belum menulis surat wasiat, kalau aku mati, aku ingin di kuburkan di dekat kuburan ibuku.'
Kini kedua tangannya memegang leherku, apa dia akan mencekik? Aku menelan ludah, takut. Akhirnya aku pasrah, aku memejam, membaca dua kalimat Syahadat dalam hati.
'Kenapa kini sebelah tangannya berada di tengkukku? Sedangkan tangan yang lainnya turun ke pinggang? Apa dia tidak jadi membunuhku? Apa tidak jadi?'
Dan aku semakin sulit bernapas saat aku merasakan ada sesuatu yang menempel di bibirku, saat aku membuka mata. Tuan Arjuna sedang ....
'Kenapa dia tidak mencekikku? Kenapa dia malah menciumku? Kenapa? Apa yang harus kulakukan? Apa?' pekikku dalam hati.
Terpaksa aku memejam, menerima ciuman darinya.
'Ya ampunnnn!! Dia memperkosa bibirku!'
Tuan Arjuna melepas ciumannya, kemudian tersenyum dan berbalik memunggungiku begitu saja. Aku langsung turun dari ranjang, sedikit berlari menuju ke arah sofa, dengan cepat aku berbaring di sana. Kutarik selimut sampai menutupi kepala.
'Sumpah! Dia membuatku benar-benar gila!!'
***
"Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" tanya Tuan Arjuna ketika aku meletakkan sarapan di meja sofa.
Aku seperti orang penyakitan, pakai jaket tebal dan masker menutupi wajah. Hanya kedua mata yang terlihat.
"Alhamdulillah, nyenyak, Tuan, Eh Bang."
Tuan Arjuna hanya tersenyum, sembari berjalan menuju ke arahku. Setelah dekat, ia memperhatikan dari ujung ke ujung.
"Kau seperti ninja hatori seperti ini," katanya sedikit terkikik. Ia duduk di sofa, memakan roti yang baru saja aku bawa.
'Jika bukan karenamu aku tidak akan menjadi seperti ini!' sungguh aku geram.
"Kau ... mengatakan sesuatu?" Aku langsung menunduk, takut Ia mengetahui aku sedang melotot ke arahnya.
"Tidak, Bang."
"Duduk sini!" perintahnya.
Ia menepuk tempat kosong di sampingnya. Aku yang sedang berdiri di samping sofa menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Tidak dengar?! Duduk sini!" perintahnya sedikit memaksa.
Baiklah, terpaksa aku menuruti kemauannya. Ragu aku duduk di sampingnya.
"Makan ini!" Ia menyodorkan roti padaku.
"Saya sudah sarapan di bawah, Bang."
"Aku bilang, makan!"
Sekali lagi aku mengalah, aku menerima roti itu dan terpaksa melepas masker di wajah. Aku memakannya.
"Makan yang banyak supaya tidak seperti papan selancaran! Nggak enak meluknya."
'Owhhhh, kurang ajar sekali dia,'
Reflek aku menatap ke arahnya dengan wajah kesal.
"Kenapa? Tersinggung? Bukannya kau memang kurus? Kenapa harus marah? Aku bicara fakta."
Aku diam saja, memalingkan wajah sambil bersungut-sungut dalam hati. Aku mencabik-cabik roti dalam mulut dengan ganas.
'Kenapa orang ini kadang baik, kadang menyebalkan?'
"Ya sudah, saya berangkat bekerja dulu. Oh, iya semalam kau ketiduran di tengah jalan, jadi saya membawamu naik ke atas. Awalnya saya susah tidur, kau mendengkur kuat sekali, seperti sapi! Ingat! Lain kali jangan tertidur di jalan, merepotkan saja." Ia berdiri dan berlalu pergi.
Mataku membulat. Benarkah aku semalam mendengkur seperti sapi? Ya ampunn, benarkah?
Malunya ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Mien Mey
😀😀😀😀
2021-08-18
0
Triana Misbah
sapi ngorok 😂
2020-05-29
1
Uci Caem
astagaaaa,masa dengkuran sama seperti sapi
2020-05-26
1