Kita, "Bukan."
Aku memilih mencintaimu walau semu, aku memilih memiliki rasa ini seorang diri nantinya jika yang rasakan telah pudar dan tak berarti kembali, maka biarkan saja aku tetap memilikinya; memiliki perasaan yang ku yakini kau juga miliki.
Jika sudah saatnya bersama pasti akan segera bersama, jika tidak mungkin kita adalah salah satu proses untuk menemukan apa itu kekasih impian yang membersamai hingga maut memisahkan, barang kali biarkan saja kali ini aku menikmati senyumu, menikmati rasa yang bersemayam didalam dada.
Kau tau? Kita terjebak dengan banyak emosi kita yang kompleks hingga saatnya kita mencoba menetralisirnya namun semakin ingin dipecahkan semakin sulit dan itulah emosi yang disebut cinta dan rasa nyaman.
Kata-kata ini mungkin sulit kau pahami, kau cernah dan kau netralisir lewat hati dan logik. Namun bisakah kau simpan saja kata-kata tersebut hingga nanti sampai kau tau artinya dan kau pahami dengan pemahamanmu sendiri, tak perlu sedini mungkin beberapa tahun kedepan pun tak mengapa! Aku tak apa.
“Aku sering bertanya kepada diriku sendiri kenapa aku mencintaimu dan tahukah kamu? Aku tak menemukan jawabannya. Sungguh! Maka maukah kau membantuku? menemukan apa yang kurasakan dan terjadi padaku?"
Apakah cinta itu sebuah candaan, yang mudah saja berlalu? Tapi tahukah kamu kala itu aku mengadu diantara ribuan kata pada kertas yang membuatku begitu bersemangat menuliskanmu. Aneh sekali ya?! Hal yang paling aku sukai selain memelukmu adalah menuliskanmu: Abadi.
Hari ini aku menunggu tentang perasaan sama dan jadi satu. Namun kata dari aku mencintaimu terkesan sudah terbiasa; kata aku menyayangimu sudah setiap hari terlontarkan. Jangan bosan ya. Jangan pernah bosan mendengar kata-kata itu.
Tapi kata kepastian dalam hubungan yang belum dijelaskan. Kadang membuatku kebingungan, aku ini apa? Aku ini siapa?! Aku tak faham. Maukah kau menjelaskannya?
Aku yang selalu bertanya pada diri, pada hati dan pada fikir dapatkah kita jadi satu? Berlabuh atau malahan berlalu begitu saja. Apa mungkin? Jangan. Jangan jadi berlalu. Jadi "Kita saja."
Kebersamaan memang tetap ada, rasa nyaman terkadang membuat seakan merasa aman, akankah tak ada kekhawatiran untuk kedepannya, lebih tepatnya setelah ini? Bantu aku menjawab nya. Kita yang disebut, “Bukan?”
….
Pagi yang diawali dengan kepadatan, tak lupa untuk menyapa diri. Hallo diriku yang terbangun tepat jam 5 pagi, menyelesaikan ngulet, peregangan di kasur. Mohon diingat, kesempatan yang paling baik setelah bangun pagi adalah hal ini, jangan lupa. Jangan lupa minum air putih segelas habis, duduk dan menaikan kedua tangan melakukan peregangan kembali. Satu dua, satu.
“Bergegas mandi, menyiapkan peralatan kantor, memeriksa tas, laptop, charger, power bank, kamera, lalu print-nan skrip. Dret. Dret. Terdengar suara printer kertas yang berhasil dicetak. Merapikannya dan memasukkan semuanya kedalam tas gendongnya. Merapikan baju, memakai jam tangan dan sepatu. Berkaca di cermin, melihat dari atas kebawa. Baiklah aku siap untuk hari ini.”
Suara klakson kendaraan terdengar tepat didepan rumah. Suara teriakkan mengimbangi suara klakson tersebut. “Ree gua dah didepan ni buruan.” Teriakannya agak keras.
“Iya-iya gua turun Jie. Balas teriak dari jendela kamarnya. Yaampun kan dah pernah gua bilang kalau mau otw kabari. Berlari sambil meminum sedikit minuman serealnya.
“Gila lu lama amat. Buruan pake helm lu.” Teriaknya Jie membuat Rere agar cepat bersiap-siap.
“Iya iya. Inikan lagi gua pakek Jie.” Bergegas mengenakan helm.
“Lu kan dah sering gua bilangkan, kalau sarapan tuh ya sarapan aja jangan kebanyakan pegang hp. Hampir telatkan, gak tau apa jalanan di Jakarta tu macet hampir sama kayak Medan. Lebih para disini si, syukurnya punya motor.” Ngedumel.
“Iya. Iya Jie. Nanti gua traktir makan siang deh. Anterin gua dulu ke daerah Tangerang selatan. Kita bahas nanti lagi. Oke.” Menenangkan lelaki itu.
“Eh, dibilangin kok ngeyel. Dasar cewe.” Sambil melawan ucapan Rere.
“Gua paham, iya gua salah. Udah ya. Kagak kelar-kelar ni. Buruan kek salib tu mobil, gak tau apa macet.” Menyuruh bergegas melewati beberapa pengendara.
“Siap tuan putri. Iya siap. Ni juga lagi ngebut.” Berpacu dengan beberapa kendaraan lainnya.
“Hahaha. Sambil memukul Helm Jie.” Tertawa.
Hay guys, kenalin gua Relinsyah biasa dipanggil Rere. Tadi tu temen masa kecil gua, namanya Jerry putra biasa dipanggil “Jie” karena nama itu dia cukup terkenal di kampus khususnya jurusan Informatika. Kita udah lama barengan dari SD, SMP, klo SMA beda sekolah, Tapi pas gua mutusin untuk tinggal sama Papa gua di Jakarta sekalian kuliah jurusan PerFilman di Institut Kesenian Jakarta. Jie pun ikut ke Jakarta karena lulus di Universitas Binus (Bina Nusantara) ditambah dengan kecakapannya dalam bahasa Jepang dan Inggris membuat dia menjadi Mahasiswa terfavorit di kampusnya.
“Anehnya, setiap kegiatan kampus dan berbagai acara. Dia selalu menjadikanku pasangannya, aku tak masalah, karena kami sudah bersahabat sejak lama. Kelebihanku iyalah pandai bergaul dan dapat diterima oleh orang baru, seperti di tongkrongan, tempat asing dll. Lain hal dengan Jie, Dia introvert dan hanya terbuka kepadaku. Jika ada yang meminta dia berbicara, dia akan berbicara sekedarnya dan hanya melakukan hal yang menurutnya berguna untuk dirinya. Sedangkan aku, akan melakukan hal yang membuatku bahagia, senang dan jika tak ada hal yang ingin kulakukan aku hanya akan tidur seharian, itu pun kalau dia tak mengobrak abrik kamar kostku jika butuh sesuatu atau mau ditemani.”
“Eh dah sampek ni, buruan lu temui tu sutradara lu. Gua mau singgah di kafe kita biasa, gua butuh asupan kopi lagi Re.” Kode agar di traktirin Rere.
“Ye, katanya udah sarapan terus lupa gitu tadi minum kopi. Udah deh gue tinggal bentaran doang, lu kalo gak sabar cari indomarket daripada gabut nungguin gua. Daaaah.” Berlari meninggalkan Jie memasuki sebuah kantor.
Berlari ke resepsionis. “Mbak Pak Dian sudah datang?” tanyaku pada seorang wanita balik meja tersebut.
“Sudah mbak. Sudah mengatur pertemuan?” tanyanya sambil mengecek jawal yang ada di computer yang tepat berada didepannya.
“Sudah-sudah, dia Dosen dikampus saya.” menjawab dengan semangat dan sedikit terengah-engah.
“Baiklah, anda bisa naik lift sebelah kanan ke lantai delapan. "Baiklah terimakasih.” Membalikkan badan tanpa hati-hati.
“Aduh.” tidak hati-hati dan menabrak seseorang.
“Maaf bang. Saya tidak sengaja.” Menunduk dan terburu-buru menaiki lift.
“Dasar perempuan kurang tata krama.” Sambal merapi kan jaketnya, membersihkan bahu kanan dan kirinya.
Di lift yang mau tertutup.
“Maaf saya mau masuk.” Menghentikan lift dan masuk.
“Seketika lelaki itu memencet tombol lift agar berhenti menutup dan kembali terbuka. Silahkan masuk mbak.” Tersenyum ramah.
“Iya baik. Terimakasih mas.” Memencet tombol 8 di lift. Menenteng tas gendongnya kedepan dan mengeluarkan map coklat berisi naskah Film yang ditulisnya seminggu ini sebagai referensi tugas magangnya.
“Mau bertemu siapa?” Tanya lelaki itu sopan. Berpakaian rapi dengan kemeja putih, celana hitam dan jas coklat memegang beberapa dokumen.
“Ini mas, mau keruangan Dosen saya.” “Oh iya, banyak sekali mahasiswa/i magang yang datang kesini.
”Ting… pintu lift terbuka.
"Saya duluan ya mbak.” Keluar pintu lift dengan santai.
“Iya mas. Eh, saya kan juga di lantai ini." Ruangan direct. Dian. Oh ini dia, kelihatannya sedang meeting. Mengintip dari kaca bening di pintu.
Seorang perempuan keluar dari ruangan.
“Mbak. Anak magangnya Pak Dian?” tanya perempuan itu yang tak lain dan tak bukan adalah asisten dari dosenya tersebut.
“Iya benar sekali mbak." jawabku tegas.
"Mohon tunggu 5 menit lagi ya setelah rapat selesai. Nanti akan saya panggil.” sembari berbalik menutup pintu.
“Baiklah, saya menunggu.” aku segera duduk dan tak berapa lama. Beberapa orang keluar dari ruangan.
“Mba silahkan masuk.” Sambil membuka pintu ruangan.“Baiklah. Terima Kasih.
Ekspresi kaget! "Eh." kedua mata itu saling menatap
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments