Sebenarnya perasaanmu kepadaku itu seperti apa mengapa kau sering sekali membiarkanku kesepian tanpa harapan. Bisakah kau jelaskan maksud dari hatimu tersebut berbuat begitu kepadaku? aku sungguh tak memahamimu.
...
“Kenapa gak aktif lagi?” Tanyaku menatap wajahnya yang gadis itu yang tertunduk.
“Percuma, Dein.” Jawab Rere datar.
“Percuma kenapa?” Mencari jawaban lewat tatapan matanya namun tak sampai.
“Percuma aku bela-belain pakai satu aplikasi chat untuk satu orang dan aku nunggu kabar dari dia tiap malam tapi gak pernah ada dan aku sadar untuk apa lagi aku memakai alat telekomunikasi untuk menghubungi seseorang jika orang tersebut saja gak mencoba memprioritaskan aku dihidupnya." Tegas menatap lelaki itu dengan mata berkaca-kaca hampir tak bisa terbendung.
Tangan lelaki itu menahan, namun gadis itu pergi dan melepaskan genggamannya. Genggaman itu terlepas dan lelaki itu pasrah.
Kita berlalu dan chatmu berada di tumpukan paling bawah arsipku. Kadang gila, aku senang sekali melihat chat kita berdua sewaktu bersama, bagai history kecil yang yang mengingatkanmu untuk aku. Ya, Rindu ya sudah pasti. Kau rindu.
Sejauh ini walaupun sering diterpa badai dan harapan yang terlalu berlebih, kekacauan hingga kebahagiaan yang mendalam menjadi tegar adalah salah satu pilihan dalam menjalani hidup. Menjadi yang memfokuskan satu hidup pada jalan terbaik.
Menjadi yang memfokuskan satu titik saja tanpa gentar memikirkan lainnya, lebih tepatnya masa bodoh. Masih bersyukur masih memiliki beliau, support system di segala kegiatan dan bukan hanya itu tertidur pun ditunggunya sampai dengan terlelap.
Siang itu di studio membahas naska shooting kali ini, Rere yang membolak balik kertasnya dan menstabilo bagian-bagian yang perlu ditandai dan di revisi. Salah seorang senior bernama Reza menghampiri meja kerja Rere di ruangan itu.
Lelaki itu memberikan satu gelas kopi hangat di mejanya dan satunya dipegang di tangan kirinya untuk diminumnya. Lelaki itu menggunakan tangan kanannya membaca dan memeriksa kembali laporan dan naskah yang ditulis gadis itu lalu membaca judul halaman pertama.
"Kekuatan dalam doa. Hmmm. Kapan terakhir kali kau mendapatkan kekuatan itu." Meminum kopinya perlahan sambil membaca naskahnya hampir satu lembar penuh dan memahami inti dari yang ingin disampaikan.
"Kaka tanya saya." Menunjuk diri sendiri, seolah kaget.
"Jadi saya tanya siapa lagi Re. Tersenyum kepada gadis itu dan menatapnya. Ayolah di ruangan ini cuma ada kamu dan aku." Mengetuk meja dengan pulpen membangun fokus gadis itu kembali.
Gadis itu tersadar dari keheningan, sampai dia tak menyadari ada seseorang yang masuk di ruangan itu. Bahkan terlalu fokus dan tak sadar jika iya melewatkan makan siangnya
"Ah, Setiap hari kak. Setiap orang pasti akan selalu berdoa akan selesai beribadah." Tersenyum dan meneguk kopi yang dibawakan seniornya itu.
"Hmmm. Ada apa dengan pancaran matamu itu." Menatap mata Rere namun gadis itu mengalihkan pandangannya.
"Terima Kasih kopinya kak." Senyumnya dan merapikan berkasnya.
"Jodoh itu apa si?" Masih bertanya kepada gadis itu dan menyandarkan punggungnya di ujung meja.
"Jodoh ya." Mengulang pertanyaan kembali.
"Iya jodoh. Lihatlah, disini kau menuliskan kata-kata. Jika berjodoh maka akan segera kembali pada peluk seseorang." Memperlihatkan bait ke lima di paragraf keempat naskah tersebut.
"Jodoh itu seperti seseorang yang ditakdirkan untuk kita kak." Jawaban klasik yang diucapkan gadis itu.
Lelaki itu menaikkan alisnya.
"Wah sederhana sekali ya. Jadi menurut kamu, kamu bekerja dibidang ini yang menjadi passionmu itu adalah keberuntungan atau jodoh memang kamu di bidang ini." Tanyanya sambil melipat satu tangannya yang memegang naska tersebut dan meneguk kembali kopinya.
"Hahaha. Mungkin karena keberuntungan bertemu pak Ahmad yang membawa saya berjodoh pada bidang ini." Jawabnya sedikit ragu.
"Berarti sama pak ahmad jodoh donk." Tertawa sedikit mengejek dan bergurau.
"Haha, bukan begitu kak. Menggaruk kepalanya dan meletakkan penanya dan meminum sedikit kopinya. Lalu menurut kaka jodoh itu apa?" Tanyanya kembali.
"Jodoh gak akan bisa terjawab sampai benar-benar mati." Jawabnya sambil berdiri tegak dan kembali ke meja kerjanya tepat setengah meter di depan meja Rere.
"Kalau begitu kak, Jodoh itu mau cepat atau lambat akan datang dan datangnya itu pasti bakalan diperlancar." Tersenyum dan kembali menatap laptopnya merevisi sebagian naskahnya.
"Good job. Maksud saya itu. Jangan terpaku pada satu hal saja, dan cobalah berpikir lebih luas lagi." Tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.
"Terimakasih kak, untuk revisi dan masukkan naskahnya." Melirik lelaki itu dan melanjutkan kerjanya.
Untuk kita yang pernah dipisahkan keadaan, kuharap kita tak pernah melupa atas keadaan dan asas percaya bahwa tuhan takkan memberikan pertemuan tanpa maksud didalamnya. Tanpa adanya hikma dan bagaimana hambanya menjadi manusia yang benar-benar menjadi manusia.
Telepon Rere berdering, nama panggilan dari Afran.
"Hallo Fran." Menjawab panggilan tersebut.
"Re gua dah kelar ni, 10 menit lagi gua jemput ya." Pungkasnya sedikit kewalahan di ujung telpon.
"Santai aja Fran, ni gua dah mulai selesai kok." Jawabnya menenangkan.
"Baiklah. Siap-siap gih, dah dulu ya." Pungkasnya.
"Iya bye." Mematikan telponnya dan merenggangkan tubuhnya kekanan dan kekiri dan baru menyadari hanya dia saja yang lembur di studio ini.
Berjalan keluar studio dan menunggu Afran menjemputnya di halte depan gedung. Rere menatap layar ponselnya dan memanggil Dein sebanyak 3x namun tidak ada jawaban. Teleponnya mati.
Seorang lelaki menghampirinya dan menatapnya.
"Re mau kemana." Tanya lelaki itu melepaskan jaket dan memberikannya pada gadis itu.
"Eh gak usah gak dingin kok." Ucapnya menolak namun lelaki itu tetap memakaikan jaketnya ke pundak Rere.
"Gak usah apaan, udah tau gak bisa kena dingin. Kalau sakit siapa yang repot." Lelaki itu seolah marah padahal sangat peduli.
"Ahh Jie. Menatap lelaki itu dengan mata berlinang dan memegang bahunya yang sudah memakai jaket jeans lelaki yang ada di depannya. Makasih." Tangisnya hampir pecah.
Lelaki itu memegang kepala Rere dan mendongakkan dagunya keatas.
"Yaelah anak kecil mau nangis." Lalu menjitak kepalanya.
"Ahhh apaan si, rambut gua jadi rusak." Memukul Jie seketika.
"Awww...sakit Re. Memegang lengannya yang kebas akibat pukulan gadis itu. Eh lu mau kemana? kabari aja kalo butuh sesuatu." Pungkasnya.
Menghapus air matanya yang hampir jatuh.
"Lagi nunggu Afran, mau bantu opening cafenya." Menatap lelaki yang ada di depannya itu.
"Ahhhh iya. Mulai teringat. Si kecebong waktu itu, hmmmm." Tertawa mengejek.
"Ih apaan si kecebong-kecebong." Pungkas Rere memanyunkan mulutnya.
"Yaudah deh, gua juga dah di tungguin sama tu Aurel." Menunjuk ke sebuah mobil.
"Ah iya. Yaudah gapapa bentar lagi juga dia datang. Titip salam Aurel ya." Tersenyum kepada Jie.
"Ahh iya nanti gua sampein, eh dimana cowo lu?" Menghentikan langkah kakinya dan berbalik.
"Dia balik ke kampungnya." Memberi senyuman menyatakan keadaannya baik.
"Oke deh. Hati-hati ya Re." Pergi melambai tanpa melihat gadis itu.
"Kamu juga hati-hati ya." Ucap Rere.
Telpon kembali berdering.
"Iya Fran. Gua dah di depan gedung studio." Memberitahu posisinya saat ini.
"Eh Re sorry banget, temen barista gua yang jemput lu ya di depan studio. Maaf Re namanya Aska, hati-hati ya Re." Langsung mematikan telponnya.
"Yaelah oke deh Fran gua aja naik ojol kesana. Hallo Fran. Hallo? Melihat ponselnya sudah mati. Fran, Fran." Menatap layar hpnya dan duduk di halte merenggangkan kakinya dan bermain saling menyentuh ujung sepatunya keujung satunya.
Sebuah kendaraan bermotor berhenti tepat di depannya, sosok pria itu membuka helmnya dan mengibaskan rambutnya lalu menaruh helmnya diatas tangki sepeda motor CBnya dan menoleh kesamping.
Tatapan mata mereka bertemu, mata Rere kembali berkaca-kaca dan telepon genggam di tangannya terjatuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments