“Jika kamu tak ambil peduli dengan perasaan ini, jangan salahkan aku jika aku memiliki perasaan terhadap orang lain yang lebih baik cara, tutur kata serta perlakuannya kepadaku.” gumamku dalam hari sambil memandangi wajahnya.
Di bangku taman kota dengan tangannya yang terus menggenggam tanganku, suasana lara dengan hembusan angin dan tak membuat rambutnya yang rapi dengan pomade itu berserakan. Tetap rapi dan tersisir dengan baik pandangan matanya tetap tajam walau memakai kacamata dengan gagang hitam dan bentuk kaca lensa petak.
Tatap matanya menjadi datar, menghangat namun menemui rasa takut saat ku metapanya. Pasrah dan tak tau ingin berbicara apa, aku tau kau manusia yang tak pandai menyusun kosa kata terlebih menyampaikan isi hati. Aku tak tahu banyak tentangmu namun aku tau dari pancaran tatapan mata yang selalu ada saat menatap tersebut.
Dia diam tanpa kata dan memelukku dengan hangat, masih tanpa kata mungkin hanya ingin ditenangkan tanpa adanya lagi pembicaraan panjang lebar. “Cukup diam dan peluk saja,” katanya. Daun-daun berguguran, musim semi telah datang pada sore itu, aku masih dipeluknya dan memeluknya, membuka tanganku dari peluknya dan menangkap beberapa daun jatuh, melihat kearah langit cerah kala itu.
“Damai sekali.” Ucapku dalam hati dan menatap ke arah langit.
“Maukah kau terus disampingku?” ucapnya Dein perlahan.
“Aku hanya menatapnya dan memegang lembut wajahnya. Melepaskan kacamatanya agar telinganya tidak sakit saat tertidur kembali, mataharipun mulai terik dengan sinar yang hampir redup. Jika saat itu dia tak menarikku dengan cepat di samping parkiran kemungkinan besar aku sudah terkena lumpur semen yang jatuh tepat di kepalaku.
Menjadi pertemuan kedua kami yang membuatku jatuh hati padanya. Jika saat itu dia tak menarikku akankah aku berada bersamanya tepat di bangku taman ini? Aku tak yakin.” Memejamkan mata sejenak.
*
Apakah perasaan yang dirasa itu memiliki pondasi yang kokoh dan terlebur di antara batu dan pasir, seakan hidup telah membuatmu terpuruk hingga tak mampu berdiri sendiri. Pernah menantikan sebuah pulang dan ketika hadirnya melebarkan pelukan seakan mengepakkan sayap adalah jalan untuk aku berlari kencang pada dekap yang membuat selalu damai. Padahal aku ingat waktu itu pada peluk terakhirnya. Dan sekarang kembali pada peluknya, sempat ku kira waktu itu adalah kali terakhir dan ternyata masih ada kesempatan kembali.
Yah, kata rindu setengah mati itu akhirnya menemui titik dimana semua kecewa dan pilu yang terasa hilang dengan begitu saja dan akhirnya aku denganmu.
“Aku berbisik mendengarkan detak jantungmu yang membuatku damai; peluk itu menenangkan.” Menikmati ritme jantungnya.
“Tenang, aku disini. Sudah disini yah.” Balas peluknya erat.
Kata yang habis dari segala derai air mata pun tinggal sepenggal saja, hidup kita sebentar saja; jadi jangan lupa berkata walau sepatah kata saja, aku akan selalu menjadi milikmu.
“Aku disini denganmu dan semua akan baik-baik saja. Maaf sering melupakan bahwa kata-kata dapat menghilangkan sedikit resahmu tapi yang ku tau, hanya pertemuan yang membuat kita berada ditempat awal walaupun tak seindah pertemuan sebelum-sebelumnya.” Ucapnya dengan lembut.
“Jika saat itu kau tak lebih cepat menangkap tanganku. Akankah aku selamat, akankah aku berada tepat di pelukmu dalam perlindunganmu. Kulihat tatapan takutmu itu sedikit menenangkanku.”
...
“Dasar gadis ceroboh. Tukasnya kesal. Harusnya kau lebih hati-hati dan memperhatikan sekitarmu.” Tegasnya.
“Maaf, maaf dan terimakasih. Apakah ada luka di tubuhmu.” Memastikan yang menyelamatkannya juga baik-baik saja.
“Hei gadis manis, lihat jalan baik-baik." Dan melepaskan genggamannya dari gadis ceroboh tersebut.
“Eh, mas terimakasih ya. Teman gua memang agak ceroboh, Lu gak apa-apakan Re?” Jie lari kearah sahabatnya tersebut kembali memastikan dia tidak kenapa-kenapa.
“Oh temannya kirain pacar. Liat-liat pacarnya mas.” Ketus.
“Maaf mbak mas. Ada yang terluka gak?” ucap pekerja konstruksi.
“Kamu gak kenapa-napa kan bee?” ucap seorang gadis yang mendekati kami.
“Udah nggak apa-apa, ayo.” Bergegas pergi menggandeng perempuan itu.
“Mas kacamata makasih ya." Teriaknya Rere kepadal lelaki itu.
“Iya udah gak ada yang kenapa-kenapa kok pak.” Sambil memutarkan badan Rere.
“Maaf sekali lagi mbak mas.” Menunduk memohon maaf.
“Mohon diperhatikan lagi pekerjaannya ya pak agar tak ada kecelakaan seperti ini lagi.” Llekai berkacamata itu menegaskan sekali lagi.
“Baik mbak mas, permisi.” Pergi meninggalkan Rere dan Jie.
“Lu ngapa lagi?” memutarkan badan Rere memeriksa tangan kakinya dan semuanya.” Merasa legah.
“Gua kagak apa, dia mungkin yang kenapa-napa.” Masih memperhatikan lelaki yang menyelamatkannya pergi dengan pacarnya menaiki motor dan menjauh.
Ya lelaki berkacamata itu adalah Dein, ya pertemuan pertama kami. Dia adalah Deinandra.
“Lu si, ni pake helmnya.” Belum sempat dijawab sudah dipakaikan di kepala gadis itu dan merusak rambutnya
“Yaelah rusak. Hmmm, maaci, Jie nya Rere.” Senyum manja dengan manyun.
“Idih. Manja amat ni manusia. Masker Lu jangan lupa pake, musim debu.” Mengingatkan.
“Udah-udah Jie.” Menunjukkan maskernya.
“Lu mau singgah kampus lagi kagak?” Tanyanya.
“Gak ah mager gua, gak ada mata kuliah juga.” Jawab singkat.
“Ikut gua ya. Ke tongkrongan tempat anak-anak.” Mengajak Rere.
“Kagaklah dah sore juga, gua pengen rebahan.” Menolak dengan halus, sebenarnya mageran.
“Ya, nggak mau ni? Yaudah bua anterin pulang ya.” tanya Jie sedikit memastikan keinginan lelaki itu.
“Singgah dulu dong beli tahu gejrot di simpang kanan kost gua.” denganpandangan memohon.
“Siap tuan putriku.” Menghormat dari kaca spion.
“Bisa aja lu.” Manyun dan terlihat dari kaca spion lelaki itu.
Merebahkan diri di kasur.
“Ya ampun Re kalo lu meninggal terus mati ditempat gimana. Kesal pada diri sendiri. Kalau dia gak sigap dan siap bisa-bisa gua dah jadi bubur ni. Mengambil beberapa berkas casting dan memegangnya di langit-langit kamar, ternyata kertas putih itu setelah di print dan terkena cahaya lampu ya jadi sedikit redup. Membaringkan badannya ke arah kiri dan meletakkan kertas itu di sampingnya. Dan Menghela nafas. "Hufftttt. Capek!!"
"Kalau aja papa sama mama gak pisah, akankah aku hidup bahagia dengan utuh? Masa iya si aku sedih lagi. Menangis tak karuan. Ayo donk Re semangat, semangat ya Rere sayang sambil kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri dan menepuk-nepuk perlahan, dasar aku si anak yang cengeng. Kan dah janji sama diri sendiri gak akan nangis lagi dan gak akan sedih-sedih lagi, namun setiap hal yang diingatkan seakan menusukku dan membuatku hancur pada kekecewaanku malam ini. Haruskah? Haruskah aku mati saja tadi? Tapi bagaimana dengan semua mimpiku? Bagaimana dengan Papa yang udah ngebantu biaya kuliahku dan bagaimana dengan Jie yang selalu mendukungku dimanapun aku berada? Menangis dan meringkuk sejadi-jadinya dan tertidur. Tak kusangka tangisku membuatku yang insomnia ini tidur lebih cepat.”
Paginya.
Teriakan. “Haaaaaaaaaaaaa…Mati aku. Mati aja deh lu Re. Haaaaaaa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments