Aku memilih mencintaimu walau semu, aku memilih memiliki rasa ini seorang diri nantinya jika yang rasakan telah pudar dan tak berarti kembali, maka biarkan saja aku tetap memilikinya; memiliki perasaan yang ku yakini kau juga miliki.
Jika sudah saatnya bersama pasti akan segera bersama, jika tidak mungkin kita adalah salah satu proses untuk menemukan apa itu kekasih impian yang membersamai hingga maut memisahkan, barang kali biarkan saja kali ini aku menikmati senyumu, menikmati rasa yang bersemayam didalam dada.
Kau tau? Kita terjebak dengan banyak emosi kita yang kompleks hingga saatnya kita mencoba menetralisirnya namun semakin ingin dipecahkan semakin sulit dan itulah emosi yang disebut cinta dan rasa nyaman.
Kata-kata ini mungkin sulit kau pahami, kau cernah dan kau netralisir lewat hati dan logik. Namun bisakah kau simpan saja kata-kata tersebut hingga nanti sampai kau tau artinya dan kau pahami dengan pemahamanmu sendiri, tak perlu sedini mungkin beberapa tahun kedepan pun tak mengapa! Aku tak apa.
“Aku sering bertanya kepada diriku sendiri kenapa aku mencintaimu dan tahukah kamu? Aku tak menemukan jawabannya. Sungguh! Maka maukah kau membantuku? menemukan apa yang kurasakan dan terjadi padaku?"
Apakah cinta itu sebuah candaan, yang mudah saja berlalu? Tapi tahukah kamu kala itu aku mengadu diantara ribuan kata pada kertas yang membuatku begitu bersemangat menuliskanmu. Aneh sekali ya?! Hal yang paling aku sukai selain memelukmu adalah menuliskanmu: Abadi.
Hari ini aku menunggu tentang perasaan sama dan jadi satu. Namun kata dari aku mencintaimu terkesan sudah terbiasa; kata aku menyayangimu sudah setiap hari terlontarkan. Jangan bosan ya. Jangan pernah bosan mendengar kata-kata itu.
Tapi kata kepastian dalam hubungan yang belum dijelaskan. Kadang membuatku kebingungan, aku ini apa? Aku ini siapa?! Aku tak faham. Maukah kau menjelaskannya?
Aku yang selalu bertanya pada diri, pada hati dan pada fikir dapatkah kita jadi satu? Berlabuh atau malahan berlalu begitu saja. Apa mungkin? Jangan. Jangan jadi berlalu. Jadi "Kita saja."
Kebersamaan memang tetap ada, rasa nyaman terkadang membuat seakan merasa aman, akankah tak ada kekhawatiran untuk kedepannya, lebih tepatnya setelah ini? Bantu aku menjawab nya. Kita yang disebut, “Bukan?”
….
Pagi yang diawali dengan kepadatan, tak lupa untuk menyapa diri. Hallo diriku yang terbangun tepat jam 5 pagi, menyelesaikan ngulet, peregangan di kasur. Mohon diingat, kesempatan yang paling baik setelah bangun pagi adalah hal ini, jangan lupa. Jangan lupa minum air putih segelas habis, duduk dan menaikan kedua tangan melakukan peregangan kembali. Satu dua, satu.
“Bergegas mandi, menyiapkan peralatan kantor, memeriksa tas, laptop, charger, power bank, kamera, lalu print-nan skrip. Dret. Dret. Terdengar suara printer kertas yang berhasil dicetak. Merapikannya dan memasukkan semuanya kedalam tas gendongnya. Merapikan baju, memakai jam tangan dan sepatu. Berkaca di cermin, melihat dari atas kebawa. Baiklah aku siap untuk hari ini.”
Suara klakson kendaraan terdengar tepat didepan rumah. Suara teriakkan mengimbangi suara klakson tersebut. “Ree gua dah didepan ni buruan.” Teriakannya agak keras.
“Iya-iya gua turun Jie. Balas teriak dari jendela kamarnya. Yaampun kan dah pernah gua bilang kalau mau otw kabari. Berlari sambil meminum sedikit minuman serealnya.
“Gila lu lama amat. Buruan pake helm lu.” Teriaknya Jie membuat Rere agar cepat bersiap-siap.
“Iya iya. Inikan lagi gua pakek Jie.” Bergegas mengenakan helm.
“Lu kan dah sering gua bilangkan, kalau sarapan tuh ya sarapan aja jangan kebanyakan pegang hp. Hampir telatkan, gak tau apa jalanan di Jakarta tu macet hampir sama kayak Medan. Lebih para disini si, syukurnya punya motor.” Ngedumel.
“Iya. Iya Jie. Nanti gua traktir makan siang deh. Anterin gua dulu ke daerah Tangerang selatan. Kita bahas nanti lagi. Oke.” Menenangkan lelaki itu.
“Eh, dibilangin kok ngeyel. Dasar cewe.” Sambil melawan ucapan Rere.
“Gua paham, iya gua salah. Udah ya. Kagak kelar-kelar ni. Buruan kek salib tu mobil, gak tau apa macet.” Menyuruh bergegas melewati beberapa pengendara.
“Siap tuan putri. Iya siap. Ni juga lagi ngebut.” Berpacu dengan beberapa kendaraan lainnya.
“Hahaha. Sambil memukul Helm Jie.” Tertawa.
Hay guys, kenalin gua Relinsyah biasa dipanggil Rere. Tadi tu temen masa kecil gua, namanya Jerry putra biasa dipanggil “Jie” karena nama itu dia cukup terkenal di kampus khususnya jurusan Informatika. Kita udah lama barengan dari SD, SMP, klo SMA beda sekolah, Tapi pas gua mutusin untuk tinggal sama Papa gua di Jakarta sekalian kuliah jurusan PerFilman di Institut Kesenian Jakarta. Jie pun ikut ke Jakarta karena lulus di Universitas Binus (Bina Nusantara) ditambah dengan kecakapannya dalam bahasa Jepang dan Inggris membuat dia menjadi Mahasiswa terfavorit di kampusnya.
“Anehnya, setiap kegiatan kampus dan berbagai acara. Dia selalu menjadikanku pasangannya, aku tak masalah, karena kami sudah bersahabat sejak lama. Kelebihanku iyalah pandai bergaul dan dapat diterima oleh orang baru, seperti di tongkrongan, tempat asing dll. Lain hal dengan Jie, Dia introvert dan hanya terbuka kepadaku. Jika ada yang meminta dia berbicara, dia akan berbicara sekedarnya dan hanya melakukan hal yang menurutnya berguna untuk dirinya. Sedangkan aku, akan melakukan hal yang membuatku bahagia, senang dan jika tak ada hal yang ingin kulakukan aku hanya akan tidur seharian, itu pun kalau dia tak mengobrak abrik kamar kostku jika butuh sesuatu atau mau ditemani.”
“Eh dah sampek ni, buruan lu temui tu sutradara lu. Gua mau singgah di kafe kita biasa, gua butuh asupan kopi lagi Re.” Kode agar di traktirin Rere.
“Ye, katanya udah sarapan terus lupa gitu tadi minum kopi. Udah deh gue tinggal bentaran doang, lu kalo gak sabar cari indomarket daripada gabut nungguin gua. Daaaah.” Berlari meninggalkan Jie memasuki sebuah kantor.
Berlari ke resepsionis. “Mbak Pak Dian sudah datang?” tanyaku pada seorang wanita balik meja tersebut.
“Sudah mbak. Sudah mengatur pertemuan?” tanyanya sambil mengecek jawal yang ada di computer yang tepat berada didepannya.
“Sudah-sudah, dia Dosen dikampus saya.” menjawab dengan semangat dan sedikit terengah-engah.
“Baiklah, anda bisa naik lift sebelah kanan ke lantai delapan. "Baiklah terimakasih.” Membalikkan badan tanpa hati-hati.
“Aduh.” tidak hati-hati dan menabrak seseorang.
“Maaf bang. Saya tidak sengaja.” Menunduk dan terburu-buru menaiki lift.
“Dasar perempuan kurang tata krama.” Sambal merapi kan jaketnya, membersihkan bahu kanan dan kirinya.
Di lift yang mau tertutup.
“Maaf saya mau masuk.” Menghentikan lift dan masuk.
“Seketika lelaki itu memencet tombol lift agar berhenti menutup dan kembali terbuka. Silahkan masuk mbak.” Tersenyum ramah.
“Iya baik. Terimakasih mas.” Memencet tombol 8 di lift. Menenteng tas gendongnya kedepan dan mengeluarkan map coklat berisi naskah Film yang ditulisnya seminggu ini sebagai referensi tugas magangnya.
“Mau bertemu siapa?” Tanya lelaki itu sopan. Berpakaian rapi dengan kemeja putih, celana hitam dan jas coklat memegang beberapa dokumen.
“Ini mas, mau keruangan Dosen saya.” “Oh iya, banyak sekali mahasiswa/i magang yang datang kesini.
”Ting… pintu lift terbuka.
"Saya duluan ya mbak.” Keluar pintu lift dengan santai.
“Iya mas. Eh, saya kan juga di lantai ini." Ruangan direct. Dian. Oh ini dia, kelihatannya sedang meeting. Mengintip dari kaca bening di pintu.
Seorang perempuan keluar dari ruangan.
“Mbak. Anak magangnya Pak Dian?” tanya perempuan itu yang tak lain dan tak bukan adalah asisten dari dosenya tersebut.
“Iya benar sekali mbak." jawabku tegas.
"Mohon tunggu 5 menit lagi ya setelah rapat selesai. Nanti akan saya panggil.” sembari berbalik menutup pintu.
“Baiklah, saya menunggu.” aku segera duduk dan tak berapa lama. Beberapa orang keluar dari ruangan.
“Mba silahkan masuk.” Sambil membuka pintu ruangan.“Baiklah. Terima Kasih.
Ekspresi kaget! "Eh." kedua mata itu saling menatap
"Aku ini apa?" Tanya diri sendiri.
Seorang penulis ulung yang melagukan namamu disetiap puisiku yang beberapanya berhasil
menjadi lagu? Biarkan aku mengadu dengan langit, menikmati tetesnya yang jatuh; biarkan aku membayangkan masa lalu akan keindahan yang telah lalu. Namun, senyummu tak kunjung berlalu. Kutegaskan aku tak mau kau lampau dan terlupakan dalam diriku.
Banyak hal yang semakin berlalu, semakin tau diri, semakin mengenalmu hari demi hari. Jam berapa pun sudah tau kau ada dimana dan sedang apa? Beberapa topik pertanyaan mulai meredah, dan tanya dari jawaban pun mulai memudar.
“Aku sudah mendapatkanmu, jadi aku ingin fokus saja pada satu tujuan yaitu kamu. Just focus for u.
Kau tau tatapan manis mempesona itu, ya ada di kamu. Kau tau aku ini kaku dalam hal tersebut namun senyumanmu yang seperti biasa memikat, tawaku yang dulu hilang kini kembali pulang. Sakit beberapa waktu lalu kini mulai redah; semoga itu kamu. Sebagai penyemangat dan penyembuh.
Aku bingung, kenapa wanita suka sekali senja?”
“Itu karena banyak pesan singkat yang ingin disampaikannya namun belum semua tersampaikan dan orang tersebut memahami maksudnya; iya sudah pergi bersamaan dengan gelap gulita langit.
Dan kau tau, sambil aku menatap lembut lelaki itu. Setiap tawamu yang selalu mengundang cerita, dan aku masih sama dengan ingatan itu yang akan abadi di dalam hidupku.
Apa-apaan aku yang senang sekali menatap wajah itu sosok membosankan tapi membuat bergetar.
Senyuman yang teramat manis bagiku, dan mencoba memalingkan fikir namun aku sudah jatuh hati.”
Perkataan tentang, “yaudah kamu aja, cukup kamu dan gak mau yang lain.”
“Kenapa? Memang sungguh gak ada yang lain?”
“Capek! Capek akan bertemu yang baru, belajar hal baru tentang dirinya, hidupnya, canda, tawa, sedihnya kembali. Cuma mau kamu. Udah kamu aja satu dah cukup gak habis-habis.” Ditutup dengan senyumanmu dan senyumanku.”
“Andai nanti kau dan aku bersahabat. Mungkin aku lebih memilih menghapus nomormu, atau mengarsipkan story dan tak melihatmu.” Ucapku dalam hati yang penuh ragu.
.....
"Ahhhh.. bukan main, aku amat mendambakan dari mau menutup mata masuk dalam mimpi dan terbangun. Sungguh. Aku gak tau kenapa?! Kau racuni otakku?"
Banyak hal yang ingin aku ceritakan kepadamu. Kuharap kau ingin mendengarkannya dengan seksama. Oh ya.. aku masih di titik awal saat mencintaimu hingga kini. Kemarin kau pernah bilang, “Cinta kita semu Re, besok pas udah balik ke kehidupan masing-masing, pekerjaan yang ketat dan setiap aktivitasmu dapat menghapuskan;
Aku.”
“hmmm kata siapa? Dan saat ini ku buktikan aku bersamamu.”
Mendadak ingatan itu muncul dan aku baru saja sadar waktu itu cepat sekali berlalu, padahal Cuma tidak sengaja bertemu di suatu tempat, bercerita dan mengulang cerita menjadi sebuah alkisah.
Aku keluar kantor dan melihat sosok lelaki itu tidak ada diparkiran dan langsung menghubunginya lewat telepon genggamku.
“Jie maaf agak lama. Gua dah keluar kantor ni. Lo kok gak ada?” tanyaku dari via telepon.
“Re. Re. Gua disini.” Lambai dari kejauhan.
“Ya Ampun. Berlari menghampiri. Lu kok gak cari makan aja? Dah jam setengah 12 juga.” Menunjuk pada jam tangannya dan bingung.
“Nanti lu gua tinggalin bingung nyari ojol dimana, malahan tarif ojol dah naik lagi. Mendingan lu bayarin gua makan Re.” Gumangnya dengan tawa.
“Eh dasar lu ya Jie cari yang gratisan aja.” Menaiki motornya.
“Dahkan udah? Gua gas ni.” Bremmmmmmmmmm.
Sesampainya di Cafe biasa.
“Yeah sampai juga.” Turun dari motor sambil meregangkan badan.
“Yah parkiran penuh, lu cari tempat duluan ya. Gua parkirin ni dulu.” Ucapnya.
“Siap bangbro.” Memberi hormat dan pergi.
Suasana siang ini terlihat lebih ramai dari biasa, tentu saja ini hari senin sebagai hari yang padat dari biasanya. Kelihatannya suasana hari ini sangat bagus, tatanan cafe ini sangat aku sukai, kelihatannya tempat ini semakin lama semakin ramai semakin ramainya hampir tak memiliki tempat duduk yang tersisah.
“Mbak saya pesan nasi ayam penyet satu, es teh manis satu, kopi susu satu sama soto babat satu pakai nasi.”
“Siap mbak Re. Di meja biasakan?” tanya pelayan itu.
“Iya, saya nungguin pelanggan yang duduk disana pergi.” Tunjuk meja biasa mereka duduk.
“Siap mbak.” ucap pelayan perempuan itu yang sudah cukup mengenal Rere.
“Eh mane?” Tanya Jie bingung melihat tempat makan biasa mereka penuh.
“Noh, noh. Tempat duduk kita biasa masih ditempati orang noh.” Menunjuk.
“Oh iya-iya udah lu pesankan?” tanyanya.
“Udah donk. Eh itu dah keluar tu.” Tunjuk dan menarik tangan Jie ke arah tempat biasa mereka duduk.
“Ayo buruan.” Lari ke arah tempat duduk biasa.
“Yes dapet.” Ekspresi senang menghampiri meja tersebut.
“Pesanan datang, mas mbak.” Ucap mba Sitik meletakkan makanan di meja
“Makasih mba Sitik.” Serentak
“Sama-sama.” Pergi meninggalkan mereka.
“Eh Re, kok es teh manis si?” Tanyanya sambil mencuci tangannya dan mulai menyantap makanannya.
“Lah lu biasa kan pesan tuh.” Tunjuk.
“Yah gimana gua mau fokus ngerjain jurnal Re, gua kan lagi batuk, lagian gua bilang mau kopi." Ngomel karena Rere lupa.
“Yaelah gua gak tau, lupa aku Jie, ya udah ganti aja.” Mau memanggil mba Sitik.
“Yah nanti gak enak sama mbak Sitik.” Menarik tangan Rere.
“Yaudah biar gua minum. Lu mau pesan apa?” Tanya balik.
“Kopi susu aja deh.” Tunjuk minuman Rere.
“Yaudah barter ni.” Menukar minumannya.
“Tumben lu mau barter, biasa juga makanan dan minuman gua jadi sasaran.” Mengejek.
“Nyenyenyenye.” Ejek Rere.
“Hahaha.” Tawa Jie mengelus kepalanya.
Kapan kamu bisa tersadar akan kehadiranku yang selalu ada disampingmu. Kuharap kau mengerti dan tau bahwa aku akan selalu ada disampingmu. Semakin dewasa semakin cantik saja, tetap saja makan belepotan dan bersikap sesuka hatinya adalah keahliannya. Dasar gadis nakal
“Kau bisa pelan-pelan saja makannya. Nanti bisa tersedak.” Sambil mengambil tisu mengelap sisa makanan di bibirnya.
“Ayo cepat, ada yang ingin aku lakukan setelah ini.” Bergegas.
“Apaan,” mengunyah dengan tenang. Mengecek hp dan membaca beberapa pesan masuk.
“Itu siapa.” Mengintip telepon genggam sahabatnya tersebut.
“Si Jesika anak sastra di kampus. Tadi mau bilang apa?” kembali nenatap Rere.
“Gak jadilah. Masih mengintip. Yaudah kamu jalan sama dia ajah, hehe.” Tertawa polos
“Idih. Apaan.” Menarik hpnya.
“Sini aku baca. Merampas hp Jie. Membaca dengan sedikit keras. Jie tersayang, sebenernya aku dah lama suka sama kamu. Aku sempat mundur karena berfikir kau berpacaran dengan wanita itu, wanita yang selalu bersamamu kemana-mana. Ternyata aku salah paham, aku sudah tau dia siapa. Jadi mau gak lu pergi ngedate ma gua sabtu ini. Ciekk. Ciek ditembak.” Tangan Jie berusaha menggenggam tangan Rere dan mengambil Hpnya tersebut.
“Apaan sih gak sopan.” Merampas kembali Hpnya.
“Eh yang suka ma lu banyak, jangan gara-gara gua kabur semua.” Ucap Rere masih mengejeknya.
“Yang gua suka Lu Re. Ungkap dalam hati.”
Geleng-geleng sambil menatap sahabat perempuannya tersebut.
“Yaudah pergi deh sabtu ni ma Jesika, biar lu ngerasain sensasi ngedate.” ejek dengan senyuman super jahil dan jahat.
“Gak ah, gua mau cari tempat magang.” Jawab ketus.
“Lu kalo sama gua, gak bakalan dapet pacar.” meyakinkan sahabat terbaiknya tersebut.
“Yang mau pacaran juga siapa Rere bodoh.” Mengacak rambutnya.
“Idih kebiasaan lu.” Merapikan rambutnya dan pergi membayar ke kasir dan menuju parkiran bersama Jie.
Disamping kasir.
“Tampaknya mereka berdua sangat akrab.” Berkata dalam hati dan menatap.
“Eh mas Dein kenal mbak Rere?” Tanya mba Sitik.
“Gak kok bi, gak kenal sama mereka.” Masih memperhatikan.
“Kirain kenal sama mbak Rere.” Tanya mba Sitik.
“Oh jadi namanya Rere.” Batinya dalam hati.
“ini Iya mas kembaliannya.”
“Perempuan yang cukup cantik, ceroboh namun terlihat cukup menarik. Deg. Deg. Deg. Memegang dada dengan tangan kirinya. Astaga apa yang kupikirkan dari perempuan ceroboh yang memiliki kekasih itu.” Gumang dalam hati.
“Sudah?” seorang gadis cantik menggandeng nya.
“Iya ni baru selesai.” Memasukkan dompet ke kantong jaket
“Ayo pulang, Dein.” Menggandeng tangan lelaki tersebut.
“Baiklah. Eh perempuan itu kenapa? Awas!” Kaget.
“Jika kamu tak ambil peduli dengan perasaan ini, jangan salahkan aku jika aku memiliki perasaan terhadap orang lain yang lebih baik cara, tutur kata serta perlakuannya kepadaku.” gumamku dalam hari sambil memandangi wajahnya.
Di bangku taman kota dengan tangannya yang terus menggenggam tanganku, suasana lara dengan hembusan angin dan tak membuat rambutnya yang rapi dengan pomade itu berserakan. Tetap rapi dan tersisir dengan baik pandangan matanya tetap tajam walau memakai kacamata dengan gagang hitam dan bentuk kaca lensa petak.
Tatap matanya menjadi datar, menghangat namun menemui rasa takut saat ku metapanya. Pasrah dan tak tau ingin berbicara apa, aku tau kau manusia yang tak pandai menyusun kosa kata terlebih menyampaikan isi hati. Aku tak tahu banyak tentangmu namun aku tau dari pancaran tatapan mata yang selalu ada saat menatap tersebut.
Dia diam tanpa kata dan memelukku dengan hangat, masih tanpa kata mungkin hanya ingin ditenangkan tanpa adanya lagi pembicaraan panjang lebar. “Cukup diam dan peluk saja,” katanya. Daun-daun berguguran, musim semi telah datang pada sore itu, aku masih dipeluknya dan memeluknya, membuka tanganku dari peluknya dan menangkap beberapa daun jatuh, melihat kearah langit cerah kala itu.
“Damai sekali.” Ucapku dalam hati dan menatap ke arah langit.
“Maukah kau terus disampingku?” ucapnya Dein perlahan.
“Aku hanya menatapnya dan memegang lembut wajahnya. Melepaskan kacamatanya agar telinganya tidak sakit saat tertidur kembali, mataharipun mulai terik dengan sinar yang hampir redup. Jika saat itu dia tak menarikku dengan cepat di samping parkiran kemungkinan besar aku sudah terkena lumpur semen yang jatuh tepat di kepalaku.
Menjadi pertemuan kedua kami yang membuatku jatuh hati padanya. Jika saat itu dia tak menarikku akankah aku berada bersamanya tepat di bangku taman ini? Aku tak yakin.” Memejamkan mata sejenak.
*
Apakah perasaan yang dirasa itu memiliki pondasi yang kokoh dan terlebur di antara batu dan pasir, seakan hidup telah membuatmu terpuruk hingga tak mampu berdiri sendiri. Pernah menantikan sebuah pulang dan ketika hadirnya melebarkan pelukan seakan mengepakkan sayap adalah jalan untuk aku berlari kencang pada dekap yang membuat selalu damai. Padahal aku ingat waktu itu pada peluk terakhirnya. Dan sekarang kembali pada peluknya, sempat ku kira waktu itu adalah kali terakhir dan ternyata masih ada kesempatan kembali.
Yah, kata rindu setengah mati itu akhirnya menemui titik dimana semua kecewa dan pilu yang terasa hilang dengan begitu saja dan akhirnya aku denganmu.
“Aku berbisik mendengarkan detak jantungmu yang membuatku damai; peluk itu menenangkan.” Menikmati ritme jantungnya.
“Tenang, aku disini. Sudah disini yah.” Balas peluknya erat.
Kata yang habis dari segala derai air mata pun tinggal sepenggal saja, hidup kita sebentar saja; jadi jangan lupa berkata walau sepatah kata saja, aku akan selalu menjadi milikmu.
“Aku disini denganmu dan semua akan baik-baik saja. Maaf sering melupakan bahwa kata-kata dapat menghilangkan sedikit resahmu tapi yang ku tau, hanya pertemuan yang membuat kita berada ditempat awal walaupun tak seindah pertemuan sebelum-sebelumnya.” Ucapnya dengan lembut.
“Jika saat itu kau tak lebih cepat menangkap tanganku. Akankah aku selamat, akankah aku berada tepat di pelukmu dalam perlindunganmu. Kulihat tatapan takutmu itu sedikit menenangkanku.”
...
“Dasar gadis ceroboh. Tukasnya kesal. Harusnya kau lebih hati-hati dan memperhatikan sekitarmu.” Tegasnya.
“Maaf, maaf dan terimakasih. Apakah ada luka di tubuhmu.” Memastikan yang menyelamatkannya juga baik-baik saja.
“Hei gadis manis, lihat jalan baik-baik." Dan melepaskan genggamannya dari gadis ceroboh tersebut.
“Eh, mas terimakasih ya. Teman gua memang agak ceroboh, Lu gak apa-apakan Re?” Jie lari kearah sahabatnya tersebut kembali memastikan dia tidak kenapa-kenapa.
“Oh temannya kirain pacar. Liat-liat pacarnya mas.” Ketus.
“Maaf mbak mas. Ada yang terluka gak?” ucap pekerja konstruksi.
“Kamu gak kenapa-napa kan bee?” ucap seorang gadis yang mendekati kami.
“Udah nggak apa-apa, ayo.” Bergegas pergi menggandeng perempuan itu.
“Mas kacamata makasih ya." Teriaknya Rere kepadal lelaki itu.
“Iya udah gak ada yang kenapa-kenapa kok pak.” Sambil memutarkan badan Rere.
“Maaf sekali lagi mbak mas.” Menunduk memohon maaf.
“Mohon diperhatikan lagi pekerjaannya ya pak agar tak ada kecelakaan seperti ini lagi.” Llekai berkacamata itu menegaskan sekali lagi.
“Baik mbak mas, permisi.” Pergi meninggalkan Rere dan Jie.
“Lu ngapa lagi?” memutarkan badan Rere memeriksa tangan kakinya dan semuanya.” Merasa legah.
“Gua kagak apa, dia mungkin yang kenapa-napa.” Masih memperhatikan lelaki yang menyelamatkannya pergi dengan pacarnya menaiki motor dan menjauh.
Ya lelaki berkacamata itu adalah Dein, ya pertemuan pertama kami. Dia adalah Deinandra.
“Lu si, ni pake helmnya.” Belum sempat dijawab sudah dipakaikan di kepala gadis itu dan merusak rambutnya
“Yaelah rusak. Hmmm, maaci, Jie nya Rere.” Senyum manja dengan manyun.
“Idih. Manja amat ni manusia. Masker Lu jangan lupa pake, musim debu.” Mengingatkan.
“Udah-udah Jie.” Menunjukkan maskernya.
“Lu mau singgah kampus lagi kagak?” Tanyanya.
“Gak ah mager gua, gak ada mata kuliah juga.” Jawab singkat.
“Ikut gua ya. Ke tongkrongan tempat anak-anak.” Mengajak Rere.
“Kagaklah dah sore juga, gua pengen rebahan.” Menolak dengan halus, sebenarnya mageran.
“Ya, nggak mau ni? Yaudah bua anterin pulang ya.” tanya Jie sedikit memastikan keinginan lelaki itu.
“Singgah dulu dong beli tahu gejrot di simpang kanan kost gua.” denganpandangan memohon.
“Siap tuan putriku.” Menghormat dari kaca spion.
“Bisa aja lu.” Manyun dan terlihat dari kaca spion lelaki itu.
Merebahkan diri di kasur.
“Ya ampun Re kalo lu meninggal terus mati ditempat gimana. Kesal pada diri sendiri. Kalau dia gak sigap dan siap bisa-bisa gua dah jadi bubur ni. Mengambil beberapa berkas casting dan memegangnya di langit-langit kamar, ternyata kertas putih itu setelah di print dan terkena cahaya lampu ya jadi sedikit redup. Membaringkan badannya ke arah kiri dan meletakkan kertas itu di sampingnya. Dan Menghela nafas. "Hufftttt. Capek!!"
"Kalau aja papa sama mama gak pisah, akankah aku hidup bahagia dengan utuh? Masa iya si aku sedih lagi. Menangis tak karuan. Ayo donk Re semangat, semangat ya Rere sayang sambil kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri dan menepuk-nepuk perlahan, dasar aku si anak yang cengeng. Kan dah janji sama diri sendiri gak akan nangis lagi dan gak akan sedih-sedih lagi, namun setiap hal yang diingatkan seakan menusukku dan membuatku hancur pada kekecewaanku malam ini. Haruskah? Haruskah aku mati saja tadi? Tapi bagaimana dengan semua mimpiku? Bagaimana dengan Papa yang udah ngebantu biaya kuliahku dan bagaimana dengan Jie yang selalu mendukungku dimanapun aku berada? Menangis dan meringkuk sejadi-jadinya dan tertidur. Tak kusangka tangisku membuatku yang insomnia ini tidur lebih cepat.”
Paginya.
Teriakan. “Haaaaaaaaaaaaa…Mati aku. Mati aja deh lu Re. Haaaaaaa."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!