Kebingungan sedang melanda Erlangga. Sedari tadi Erlangga berjalan mondar-mandir bak sertikanaan di dalam ruang kerjanya.
Mulutnya tidak berhenti menggerutu, mengumpat kesal, dan memaki dirinya sendiri. Seharusnya ia memikirkan taruhannya dengan maminya.
“Nyari di mana perempuan kaya gitu?” gumam Erlangga.
Tentu saja Erlangga bingung, bagiamana bisa dalam waktu dua minggu dia akan menemukan perempuan yang kriterianya seperti yang mami inginkan.
Selama ini perempuan yang bersama dirinya sama sekali tidak ada kriteria yang cocok untuk dijadikan sebagai seorang istri.
“Mami maksa banget sih nyuruh aku buat nikah. Jadi pusing nih,” gerutu Erlangga.
Erlangga duduk di sofa yang ada di ruangnya. Rambut dan wajahnya sudah lecek bak baju tidak setrika.
“Giliran mau jodohin sama perempuan kaya gitu. Dipandang aja gak enak apalagi dipegang,” gerutu Erlangga.
Menurut Erlangga Alana adalah gadis yang sangat jauh dari tipenya. Apalagi Alana adalah anak dari orang yang meninggal karena dirinya. Itu makin akan membuat hidupnya tidak tenang. Hidupnya akan dirundung oleh rasa bersalah.
“Kenapa sih harus dia?” ucap Erlangga lagi.
Saat dalam kebingungannya seseorang masuk ke dalam ruangnya.
“Sayang kamu kenapa?” tanya Dinda.
“Sudah berapa kali aku bilang, Din? Kalau mau masuk ke ruanganku ketuk pintu dulu.” Nada bicara Erlangga terdengar sangat kesal.
“Aku sudah mengetuk pintu berulang kali, Sayang. Tapi kamu tidak menyahut. Aku takut kamu kenapa-kenapa jadi aku masuk saja,” jawab Dinda.
Dinda mengambil posisi duduk di samping Erlangga dan langsung melingkarkan tangannya ke pundak Erlangga.
“Sepertinya kamu ada masalah?” tanya Dinda.
“Hmmmm,” guman Erlangga.
“Kamu bisa cerita sama aku,” ucap Dinda dengan manjanya.
Erlangga diam sejenak, berpikir langkah apa yang akan ia ambil selanjutnya. Erlangga melihat Dinda sejenak dan ia pun menemukan sebuah ide.
“Din, kamu masih ingin menjadi istriku, 'kan?” tanya Erlangga.
Dinda mengangkat kepalanya dari pundak Erlangga, menatap wajah partner ranjangnya itu.
“Tapi bukankah mami kamu sudah menjodohkanmu dengan perempuan lain?” tanya Dinda.
“Aku tidak menyukainya. Aku lebih menyukaimu, apalagi hanya kamu yang bisa memuaskan aku,” ucap Erlangga.
“Kamu serius?” Dinda merasa bahagia sampai tidak bis mengatakan apapun.
“Ya,” ucap Erlangga. “Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya? Aku pasti akan melakukan apapun,” ucap Dinda.
“Taklukkan hati mami dalam waktu dua minggu,” ucap Erlangga.
“Hah!”
Glek
Tenggorokan Dinda serasa tercekik setelah mendengar syarat dari Erlangga.
“Menaklukkan hati mami kamu?” Dinda berbicara dengan tergagap.
“Hanya itu saja,” ulang Erlangga.
“Tapi —” Perkataan Dinda dipotong oleh Erlangga.
Erlangga menggenggam kedua tangan Dinda. “Please, Din. Jika kamu benar-benar mencintaiku ... kamu pasti bisa.”
“Baiklah, aku akan mencobanya,” ucap Dinda.
Meskipun itu hal yang sangat mustahil, Dinda akan mencobanya. Demi harta keluarga Erlangga yang ia yakini tidak akan habis sampai tujuh turunan.
“Jadi ... besok kita akan mulai latihan,” ucap Erlangga yang langsung diangguki oleh Dinda penuh keraguan.
Gak apa-apalah nikah sama Dinda dari pada nikah sama Alana, anak kecil yang polosnya kebangetan. Setidaknya Dinda bisa memuaskan aku.
*****
Sehari, dua hari, tiga hari, empat, dan lima hari sudah terlewati. Di hari keenam Dinda masih belajar memasak dan bersih-bersih di apartemen yang Erlangga tempati.
“Aku jadi berasa kaya pembantu,” gerutu Dinda.
Waktu menunjukan pukul 7 malam, setelah Dinda pulang dari showroom dirinya mampir ke apartemen Erlangga.
“Sampai kapan aku akan melakukan ini. Kalau bukan karena demi harta, aku tidak akan susah-susah seperti ini,” ucap Dinda.
“Sayang, kamu sudah masak belum?” tanya Erlangga.
Dinda menoleh ke arah Erlangga yang sedang berlari kecil di anak tangga. Bukannya menjawab, Dinda justru mengeluh pada Erlangga.
“Sampai kapan aku akan seperti ini?” Tanya Dinda.
Erlangga memberikan pelukan pada Dinda agar perempuan itu tidak marah lagi.
“Sabar ya. Besok Mami akan datang ke sini, kamu harus bisa membujuk dan merayu mami agar mau menerimamu untuk menjadi menantunya,” ucap Erlangga.
“Ck, baiklah.” Dinda berucap seraya berdecak.
“Jangan marah lagi dong,” bujuk Erlangga. “Nanti cantiknya ilang loh.”
Dinda menyunggingkan senyumnya lalu memeluk Erlangga.
Anaknya saja sudah dalam genggamanku. Urusan maminya pasti gampanglah. Lagi pula setelah aku menikah dengan Erlangga semua ini pembantu yang akan mengerjakannya.
Ting Tong
Bunyi bel di apartemen itu memaksa mereka untuk melepaskan pelukan mereka.
“Siapa yang datang?” hanya Erlangga.
“Aku yang akan buka,” ucap Dinda.
Dinda berjalan ke arah pintu dan langsung membuka pintu apartemen. Pintu terbuka dengan sempurna dan mendapati wajah cantik Monica yang meski sudah berusia lebih dari 50 tahun.
“Tan-te Monica,” gagap Dinda.
Monica menatap wajah Dinda dengan datar.
“Selamat malam, Tante,” sapa Dinda.
Monica nampak tidak suka dengan keberadaan Dinda di apartemen anaknya. Tanpa membalas sapaan Dinda, Monica langsung masuk ke dalam apartemen.
“Mami, kok datang ke sini gak bilang-bilang dulu?” tanya Erlangga.
“Kenapa memangnya?” Mami harus bikin janji dulu buat sama kamu,” jawab Monica.
“Bukannya gitu, Mam. Tapi —”
“Tapi apa? Mami ganggu kamu dan perempuan itu.” Nada bicara Monica terdengar begitu kesal.
“Mam —”
“Jadi ini perempuan yang kamu bilang akan menjadi calon istri kamu?” tanya Monica. “Kamu nolak perempuan sebaik Alana demi perempuan model begitu?”
“Mam, Dinda itu baik, kok,” bela Erlangga.
“Itu menurut kamu, tapi tidak dengan mami,” ucap Monica.
“Mam, kak Evano dan kak Evelyn mereka juga memilih pasangan mereka sendiri, kenapa Erlangga gak boleh, ” protes Erlangga.
“Bukannya gak boleh, Nak ...,” ucap Monica.
“Lalu kenapa, Mam?” tanya Erlangga.
“Karena pasangan yang mereka pilih itu dua-duanya baik. Lah kamu ... apaan?” jawab Monica. “Semua perempuan yang kamu kenalkan sama mami gak ada bagus-bagusnya. Bagus di luarnya doang.”
“Maaf, Tante saya menyela pembicaraan kalian?” ucap Dinda.
Dinda yang sedari tadi berdiri kini duduk di samping Monica. Ia genggam tangan Monica dan mulai mencoba untuk membujuk Monica agar mau menerimanya.
“Tante, tolong kasih Dinda kesempatan untuk membuktikan jika Dinda bisa menjadi istri yang baik untuk Erlangga,” pinta Dinda.
Monica menunjukkan senyumnya pada Dinda. Tangannya yang sedang Dinda genggam Monica tarik.
“Dengar, Dinda ... mungkin kamu lupa, tetapi saya tidak. Pada pertemuan pertama kita, saya sudah tidak suka sama sikap kamu. Mau kamu membujuk saya kaya apapun, saya tidak akan pernah merestui kamu dengan anak saya,” ucap Monica.
“Tapi, Tante —”
“Cukup! Saya datang ke sini untuk bicara dengan anak saya bukan untuk bicara dengan kamu,” ucap Monica.
Pandangan Monica beralih kepada Erlangga. Sekali lagi Monica menegaskan pada anak bungsunya alasan kenapa dirinya ingin menjodohkannya.
“Nak, bukannya mami ingin mengekang kamu. Mami hanya ingin yang terbaik buat kamu. Istri bukan kaya barang yang sudah kamu beli gak cocok terus bisa kamu tuker ataupun dikembalikan ke tokonya,” ucap Monica.
“Iya, Mam ...,” sahut Erlangga dengan wajah tertunduk.
“Ya sudah mami pulang dulu.” Monica berdiri lalu memandang wajah Dinda dan Erlangga bergantian. “Waktu kamu tinggal satu minggu, Erlangga. Cari perempuan yang benar-benar cocok untuk menjadi istri kamu dan juga jadi menantu mami.”
“Iya, Mam,” jawab Erlangga. “Erlangga antar ya, Mam.”
“Tidak usah. Mami ke sini sama sopir,” tolak Monica.
Erlangga mengantar maminya sampai pintu keluar. Setelah bayangan maminya lenyap dari pandangannya, Erlangga kembali masuk ke dalam apartemennya.
“Sayang, maafkan aku ya. Aku janji ... aku tidak akan menyerah untuk membujuk mami kamu,” ucap Dinda.
“Apa yang sudah kamu lakukan pada mami sehingga mami kayaknya benci banget sama kamu?” tanya Erlangga.
“Sebenarnya waktu pertama kali aku bertemu dengan mami kamu waktu di mall, aku dan mami kamu berebut tas limited edition. Terus aku mengejek mami kamu. Aku mengatakan jika mami kamu tidak akan sanggup membelinya,” jawab Dinda dengan mengigit bibir bawahnya.
“Ck, cari masalah saja kamu.” Nada bicara Erlangga terdengar sangat kesal. “Mami itu sangat keras kepala, jika dia tidak suka maka mami tetap akan bilang tidak suka.”
“Maaf ya. Tapi aku janji akan tetap membujuk mami kamu,” ucap Dinda.
“Hmmmm.”
“Main, yuk!” ajak Dinda.
“Lagi gak mood. Pulang sana,” usir Erlangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments
Endang Purwati
sayangnya, saya lumayan telat baca novel ini... seandainya belom...mau usul aja ke othor...utk jedotin kepala Erlangga ke tembok atau pintu besi...biar agak bener dikit isinya, jadi bisa milih...mana perempuan yang beres sama yg enggak....
2021-12-29
1
💖 𝓝𝓪𝓫𝓲𝓲𝓵 𝓐𝓫𝓼𝓱𝓸𝓻
😂😂😂 keingat abang TNI sebelah,,, tiba2 datang teriak2 pas enak2nya,,,, Rintoooo,,,,, maen yooooook,,,,, 🤭🤭🤭
2021-09-04
1
Azifah Elha
perempua gk beres si dinda.
2021-08-09
1