Dylan dan Lili duduk di teras rumah, menikmati malam yang sedikit lebih berwarna. Suasana lebih hidup dengan suara-suara riuh anak-anak yang bermain. Dylan mencas hand phonenya, ia ingin menghubungi mama dan papanya. Sayangnya tidak ada signal. Hingga ia menyimpan kembali hand phonenya.
"Aduh tidak ada signal, bagaimana aku bisa menghubungi Mama? Aku sudah rindu. Mama sedang apa, ya?" tanya Dylan dalam hatinya.
"Nih ... " Lili memberikan segelas teh manis hangat. "Terima kasih, yank! " balas Dylan. "Lihatlah ... Anak-anak senang! Suasana Puak tidak begitu menyeramkan lagi." Ucap Lili melihat ke depan.
"Akh, karena kamu di sisiku, Puak tidak menyeramkan. Coba tidak ada kamu, yank! Hampa .... " rayu Dylan. Entah sejak kapan ia mulai pintar merayu.
"Huek! Gombal ... Pria kalau sudah merayu pasti ada maunya." Jawab Lili.
"Iya, yank. Aku lagi mauu ... Nih?!"
" Mau apa?!" Lili melebarkan bola matanya.
"Mau ... Mau ... Pi-pis! Hahaha" Dylan tertawa berlari ke belakang.
"Dasar ... Nyebelin! Kirain ... " ada rasa kecewa di hati Lili.
Dylan sudah kembali dari belakang dan duduk di kursi rotan. Ia menarik pinggang Lili, hingga Lili jatuh di pangkuannya.
"Aduh, yank ... Bolaku pecah?" ucap Dylan serius. "Bola ... ? Bola apa, Cok?" tanya Lili keheranan, karena ia tidak ada melihat sebuah bola di rumah Mak Upik.
"Bola yang lagi kamu, dudukin!" balas Dylan dengan senyum nakalnya.
"Haaah!?" Lili langsung bangkit dari duduknya.
"Tidak ada bola, Cok! "
"Ada ... Kamu mau lihat? Ayo, ke kamar."
Lili berpikir sejenak, "Ucokkk ... iiiihhh, kamu ini mesum tahu!" jawab Lili memukul lembut pundak Dylan.
"Hahaha ... Mesum sama istri sendirikan, gapapa." Dylan kembali menarik pinggang Lili untuk duduk kembali.
Deg deg deg
Keheningan tercipta, Lili merasakan sesuatu di bawah sana mulai sedikit menonjol. Sekujur tubuhnya gelisah, Dylan terus mempermainkan rambut Lili di jemari tangan, juga mencium rambut panjangnya.
"Cok, di mana kamu belajar menjadi teknisi?" Lili berusaha lari dari rasa yang mulai aneh menyerangnya.
"Hm .... " jawab Dylan sekedarnya. Pikiran omesnya sudah melanglang buana entah ke mana.
"Cok .... " panggil Lili lagi.
"Ooo ... Aku pernah kuliah, walaupun belum selesai."
" Mengapa belum selesai?"
"Karena ... Aku ... Aku na-nakal" jawab Dylan, kedua tangannya memeluk pinggang ramping Lili.
Lili menggeser sedikit duduknya, membuat Dylan kalang kabut.
"Aduh ... Sialann! Kali ini benar-benar pecah nih bolaku." batin Dylan.
"Memang kamu sangat nakal, ya?" tanya Lili, ia merasa seperti anak lima tahun di pangkuan Dylan yang sebesar beruang kutup. " Sangaaat ... Mungkin, jika ada tukar tambah anak, orang tuaku sudah melakukannya." jawab Dylan. Ia semangkin pusing.
"Hahaha ... Masa, sih?" Lili memutar tubuhnya membuat gerakan, "Mama ... Apa yang sudah terjadi denganku?" batin Dylan perasaannya campur aduk, antara ingin menyentuh Lili hingga ke tulang sumsumnya dan menjaga perasaan Lili. "Tidak ... Lili akan marah. Aku tidak boleh egois!" batin Dylan.
"Cok, kalau aku punya anak nakalnya seperti kamu? Aku akan menukar tambahnya." Canda Lili.
"Enak, saja! Aku papanya ... Jangan sembarangan menukar anakku dengan apa pun di dunia ini." jawab Dylan. Semangkin merapatkan Lili ke pelukannya.
"Habis ... Dia nakal seperti kamu!"
"Tidak dia tidak akan nakal. Walaupun ia nakal, tapi ia akan tetap sebaik kamu karena kamukan Mamanya." Ucap Dylan.
"Masa aku baikk?" goda Lili tanpa sadar ia juga merapatkan tubuhnya.
"Iya percayalah padaku! Ngomong-ngomong bagaimana kalau kita mencicil hidungnya Lili? "
"Maksud kamu?" Lili mulai sadar arah pembicaraan itu ke mana. Bayangan Defri kembali datang. Lili bangkit dari pangkuan Dylan. "Maaf, Cok. A-aku ... Belum siap." Lili meninggalkan Dylan sendirian.
"Ya Allah ... Sampai kapan harus seperti ini?" batin Dylan memandang ke angkasa.
******
Kehadiran Dylan membawa suatu kebahagiaan tersendiri kepada warga. Lili begitu bahagia mendengarkan berbagai pujian kepada suaminya dan suaminya tetap menjadi rendah hati.
Lili merasakan setiap hari penuh dengan kelembutan dan kasih sayang suaminya. Dylan memiliki banyak cinta, perhatian dan penuh kejutan. Terkadang ia membawakan bunga anggrek hutan yang indah dari perkebunan, menyuapi Lili, memberikan jaketnya kala hujan ataupun suasana dingin bila mereka sedang bersepeda motor.
Seperti tadi malam, Dylan memberikan seluruh gajinya.
"Sayang ... ini semua gajiku bulan ini, pergunakanlah sebaik-baiknya belilah apa yang kamu mau dan berilah sedikit buat Emak. Siapa tahu Emak ingin membeli sesuatu." Ucap Dylan memberikan seluruh gajinya.
"Tetapi ... Cok, aku juga punya uang dari gajiku. Peganglah gajimu." Balas Lili.
"Ucok, kamu nggak tahu ... warisan yang ditinggalkan Papi dan Mamiku, cukup banyak. Sementara kamu, pastinya sangat membutuhkannya." Batin Lili.
"Sayang ... Kamu adalah istriku, kewajibanku sebagai seorang suami untuk menafkahi lahir dan batinmu. Untuk sementara ini, hanya segitulah yang mampu aku berikan." Ucap Dylan penuh kasih sayang.
"Tapi .... " Lili bingung ia ingin mengatakan sesuatu hal.
"Sayang ... Penghasilanmu adalah milikmu, penghasilanku adalah milikmu. Pintaku ... Gunakanlah itu sebaik-baiknya!" Dylan meyakinkan Lili.
"Tapi, aku ... Belum pernah memberikan kewajibanku sebagai istrimu?" Ucap Lili
"Tidak masalah! Kelak ... Bila kamu sudah siap untuk memberikannya, aku akan sangat berterima kasih. Aku akan menunggu ... Saat itu tiba dengan sabar, yank. " Dylan begitu tulus menyayangi Lili. Walaupun sebenarnya ia juga tidak begitu yakin perasaannya yang sebenarnya.
"Baiklah ... Aku akan menerimanya, tapi separuh dan separuh lagi, kamu yang pegang Cok. Karena kamu juga butuh sesuatu pastinya ... Apa pun yang ingin kamu beli nantinya. Jadi kesannya aku tidak menjatahmu. " Lili menjelaskan dengan lembut.
"Sip ... Terserah Ibu Bendahara, deh!"Ucap Dylan.
"Akh, Lili ... Andaikan kamu tahu, penghasilan dari gameku sangat besar. Walaupun, orang tuaku sudah mencabut semua ATM-ku tapi aku masih menyimpan satu ATM, yang orang tuaku pun tidak tahu ... Kamu pastinya sangat membutuhkan uang ini." Batin Dylan.
Dylan menyimpan separuh gajinya. Lili memberikan sebagian uang kepada Mak Upik.
"Mak, terimalah uang ini Mak! Anggap dari puteri dan menantumu." Ucap Lili.
"Nak ... Simpanlah uang kalian! Untuk masa depan anak-anak kalian." Balas Mak Upik.
"Percayalah Mak, kami masih punya simpanan." Jawab Lili.
Dengan berlinang air mata Mak Upik menerima uang pemberian Dylan dan Lili.
Malam sudah semangkin larut, Lili menunggu Dylan. Baru kali ini Dylan terlambat pulang.
"Ada apa dengannya? Mengapa ia belum pulang juga .... " Lili berdiri di teras rumah. Memandang ke arah jalan, berharap Dylan segera pulang.
Duarr duar duar!
Petir mulai bergemuruh, hujan deras membasahi Puak. Lili terus gelisah Mak Upik menghampirinya memberikan sehelai selimut tebal yang disulam indah olehnya.
"Ucok belum pulang juga, Nak?" tanya Mak Upik, "Belum, Mak.Tidak biasanya ia pulang selarut ini ... Ada apa ya, Mak?" Jawab Lili sambil menggenggam tangan Mak Upik di pundaknya. Tangan keriput Mak Upik menenangkannya, tangan yang penuh kasih sayang dan sarat pengorbanan di dalam hidupnya.
"Sabar dan Berdo'alah ... Agar Ucok baik-baik saja, Nak." Mak Upik menenangkan Lili, walaupun di hatinya ia juga merasa gelisah.
"Ya Allah ... Yang Maha Melihat ... Lindungilah menantuku di mana pun berada." Batin Mak Upik.
"Mak, pergilah tidur! Biar Lili yang menunggu Ucok pulang, Mak." Lili tidak ingin Mak Upik jatuh sakit.
Jam dinding kuno sudah berdentang sebelas kali, hujan masih saja turun dengan derasnya cahaya lampu listrik, sedikit mengurangi kegalauan hati Lili. Ia terus menanti Ucok pulang.
"Ya, Allah ... Ada apa dengan,Ucok? Apakah ia pergi meninggalkanku dan tidak ingin hidup bersamaku lagi?" Segala pikiran berkecamuk di hati kecil Lili bertanya-tanya akan kemungkinan yang akan terjadi, hatinya mulai takut ia kehilangan Ucok. ia tidak ingin kehilangan lagi.
Tepat jam dinding kuno, berdentang sebanyak dua belas kali. Sepeda motor tua milik Abah memasuki halaman rumah. Dylan basah kuyup Lili setengah berlari menyambutnya, menuruni anak tangga.
"Ucok, mengapa engkau lama pulang, Ada apa?" tanya Lili, Dylan hanya tertegun melihat kecemasan yang tergambar jelas di raut wajah Lili.
"Kita naik dulu sayang ... Nih ... bukalah aku ingin mandi dulu." Dylan meraih tangan istrinya mengajaknya ke dalam rumah, karena hujan semangkin deras.
"Apa ini, Cok?" tanya Lili penasaran
"Bukalah, apakah Emak sudah tidur?" tanya Dylan.
"Belum, Emak juga masih menunggumu!." Jawab Lili.
"Assalamualaikum." Salam Dylan.
"Waalaikumsalam." Mak Upik mengangkat wajahnya dari anyaman tikarnya.
"Alhamdulillah ... Mandilah, Nak!" ucap Mak Upik.
Dylan pergi ke kamar mandi, "Yank ... Tolong, ambilkan handukku! " pinta Dylan, Lili mengambilkan handuknya.
Lili membuat tiga cangkir teh manis hangat, karena ia juga baru merasa haus, karena berulang kali mondar-mandir di teras rumah.
Lili membuka bungkusan yang diberikan Dylan. Ia melihat kue brownies, hatinya seketika girang. Brownies merupakan salah satu kue kesukaan Lili, dan tiga botol shamponya. "Akh, Cok .... " batin Lili,
ia memotong-motong kue dan membawanya ke ruang tengah, menyuguhkannya bersama teh manis hangat. Lili kembali ke dapur ingin memanaskan makan malam,
"Dylan pasti belum makan." Batin Lili. Saat ia memanaskan makan malam.
Kkrrieettt
Suara pintu kamar mandi terbuka, Dylan muncul dari kamar mandi hanya mengenakan sepotong handuk. Lili terkesiap walaupun, usia pernikahan mereka sudah memasuki bulan ketiga tapi baru kali ini, ia melihat Dylan setengah telanjang. Biasanya mereka masing-masing membawa semua pakaian ke kamar mandi.
Mereka hanya saling memandang, Lili menelan salivanya.
Deg deg deg
"Mengapa ... Detak jantungku lebih keras dari suara jam dinding kuno Emak? Ya ampun ... Perut Ucok dan bulu-bulu di dadanya menyambung sampai ke perutnya." Batin Lili, sekujur tubuhnya tiba-tiba meremang.
"Ada apa denganku? Mungkin aku sedikit masuk angin, karena terlalu lama di luar," batin Lili memegang dahinya sendiri.
Dylan memperhatikan istrinya sedikit aneh, "Ada apa dengan Lili ... Apakah Dia demam?" Dylan mendekati Lili. Mencoba memegang dahi Lili seperti yang Lili lakukan.
"Lili, sepertinya ... Baik-baik saja!Aneh .... " batin Dylan kebingungan
"Sayang ... Apakah engkau sakit?" tanya Dylan.
" Ti-tidak, mungkin sedikit masuk angin." Alasan Lili, sementara dada Dylan tepat di wajahnya. Kepala Lili tiba-tiba sedikit pusing, Lili memijat kepalanya.
"Apakah kamu sakit, yank?" Dylan mulai khawatir.
"Aku, akan minum obat ... Sebelum tidur. Pakailah bajumu, Cok! Terus makan, nanti masuk angin. " Lili mencoba menghilangkan pikiran dan perasaan aneh yang mulai datang mengganggunya.
Dylan menuruti perintah Lili, Dylan makan ditemani Lili karena Mak Upik sudah tidur. Karena sudah terlalu larut malam, keduanya memasuki kamar, "Sayang .... " panggil Dylan.
"Hm .... " Lili membuka matanya.
"Aku minta maaf, karena sudah membuatmu khawatir. Mandor mengajakku ke kota, untuk membeli peralatan alat berat yang rusak. Jangan marah ya yank?" Dylan memiringkan tubuhnya, dengan tangan kanan menyanggah kepalanya.
"Iya, lain kali kamu ngomong dong? Jadi aku dan Emak tahu. Terima kasih, sudah membelikan shampo dan kue." Ucap Lili, Ia pun sedikit memiringkan tubuhnya.
Lili tidak lagi tidur dengan memeluk bingkai foto Defri dan orang tuanya, Ia takut Dylan akan tersinggung. Tiba-tiba Dylan bangkit dari pembaringannya, mengambil sebuah kotak kecil perhiasan.
"Sayang ... Berikan jarimu! " Ucap Dylan.
"Memang ... Ada apa,Cok?" tanya Lili keheranan
Dylan menyelipkan seutas cincin emas, di jari manis Lili. Sebuah cincin kawin.
"Aku tahu ... Pernikahan kita, karena kesalahpahaman. Tetapi bagiku aku ingin pernikahan yang abadi. Walaupun, di dunia ini … Tidak ada yang abadi. Aku juga tahu ... Di hatimu ada pria lain, tapi aku janji, akan menyayangimu, mencintaimu melebihi aku menyayangi dan mencintai diriku sendiri. Kamulah wanita pertama dan terakhir untukku!" Janji suci Dylan, menyelipkan seutas cincin di jari manis Lili, hasil kerja kerasnya. "Suatu saat nanti, aku akan menggantinya dengan berlian" batin Dylan.
Lili terperanjat tidak tahu lagi harus berbicara apa. Hanya isak tangislah yang mewakili segala rasa di hatinya.
"Terima kasih, Cok. Aku tidak bisa menjanjikan adapun kepadamu. Tapi aku juga berusaha ... Untuk menyayangi dan mencintaimu, Cok." Balas Lili.
Dylan menghapus lelehan air mata yang mengalir di pipinya dan mencium kening Lili.
"Mengapa ... Harus Ucok, mengapa bukan Defri? Andaikan Defri aku pasti sangat bahagia." Batin Lili pilu.
"Ayo, tidur yank!" Dylan membaringkan tubuh Lili, merengkuhnya di pelukannya. Lili tidur berbantalkan lengan Dylan.
"Sabar ... Cok! Lili belum siap menerimamu sebagai suaminya. Jangan memaksakan kehendak, Lili akan terluka. Cinta butuh pengorbanan. Apakah engkau benar-benar mencintainya? Ataukah kamu hanya merasa bersalah?. Kalau engkau mencintainya, sayangilah … Dia dengan penuh cinta melebihi cinta Defri" Hati Dylan terus berbicara, namun nalurinya terus menyuruhnya untuk memeluk tubuh Lili.
"Ucok, aku tidak tahu apakah aku mencintaimu atau tidak? Biarlah waktu yang akan menjawabnya." Ucap Lili tertidur di pelukan Dylan.
Hujan mengiringi tidur nyenyak keduanya dan penduduk Dusun Puak. Biarlah besok yang akan mengantarkan asa yang lebih indah.
bersambung ….
Terima kasih jangan lupa Like , comen dan vote-nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
delissaa
like like
2021-09-13
0
My_ChA
Dylan bikin baper aja,,,,,knp q suka tipe2 cowok badboy kyk Dylan, mereka klo sdh mencintai seseorang, mereka akan menjadikan orang itu yg paling spesial. klo sdh bucin bikin klepek-klepek
2021-08-28
0
👑Meylani Putri Putti
hadir
2021-08-05
0