Terima kasih, Nek! Sudah memberikan tumpangan kepada saya," ucap Dylan benar-benar tulus dari hatinya yang paling dalam.
"Kamu ... bukan salah satu penduduk di sini, kamu dari mana?" tanya si nenek sambil mengunyah sirih.
"Saya ... saya ... dari Samosir, Nek." Dylan berbohong dari mana asalnya.
"Bila aku mengatakan yang sebenarnya ... kemungkinan, mereka akan mengusirku," batin Dylan.
Lili datang dengan menyuguhkan teh manis hangat dan sepiring nasi juga lauk-pauknya.
"Makanlah, Nak! kamu pasti lapar," ujar si nenek terus mengunyah sirihnya sambil menganyam tikar pandan.
Dylan terus memandangi keadaan rumah si nenek. Rumah ini tidak lebih besar dari ruang kerja papanya, sangat kecil dan bersih. Suara hujan masih saja terus turun dan petir masih saja menyambar di angkasa.
"Apakah di rumah ini ... hanya Nenek dan cucunya? mereka sangat berani. Apakah di tempat inilah ... aku mencari jati diriku? sanggupkah aku? ribuan pertanyaan di benak Dylan, ia gelisah menghadapi kenyataan yang ada.
"Tidurlah, Nak! ini... bantalnya." Ucap si nenek memberikan sebuah bantal yang bersih bersulam.
"Terima kasih, Nek!," balas Dylan menerima sebuah bantal terbuat dari kapuk. Dylan berulang-ulang membalikkan tubuhnya, ia merasa tidak nyaman.
"Lantai ini ... terlalu keras. Aku rindu tempat tidurku," batin Dylan.
Dylan berusaha memejamkan matanya, bayangan kemewahan yang selama ini ia dapatkan, menari-nari di pelupuk mata. Secuil kepedihan di relung hatinya.
"Andaikan ... waktu bisa kuputar kembali? aku ingin mengubah kebodohanku ... di dalam memilih seorang teman." Kenang Dylan.
"Sudahlah ... penyesalan selalu datang terlambat, semoga mulai besok... segalanya akan baik-baik saja," Dylan berusaha optimis mengjadapi kenyataan.
****
Suara kicauan burung membangunkan Dylan berlahan-lahan ia membuka matanya tubuhnya terasa sakit, semalaman ia meringkuk di lantai keras beralaskan dipan.
Tapi ia bersyukur ia tidur dengan perut yang kenyang, sebuah bantal dan ruangan yang sedikit hangat.
Dylan bangkit pergi menuju ke kamar mandi, Karena terburu-buru ia lupa mengetuk pintu.
"Aaaaa ... dasar mesum!" Lili menyiram Dylan dengan segayung air.
Bbyyyuuurrr !
"Waduh ...." Dylan tertegun ia merasa bersalah.
"Apa yang sudah aku lakukan .... ?" teriak batinnya malu. Untuk pertama kalinya di dalam hidupnya yang kacau, ia melihat wanita setengah telanjang.
"Mataku ... benar-benar sudah tidak perjaka lagi."
Akhirnya Dylan pergi ke belakang rumah, mencari tempat untuk mencuci muka dan buang air kecil.
"Bodohnya, aku! mengapa aku bisa lupa? Kalau aku tidak di rumahku," Dylan memukul jidatnya.
Ia memberanikan diri memasuki rumah.
"Masa bodohlah! Apa pun yang terjadi aku akan bertanggung jawab." Ucap Dylan.
Nenek memasuki pekarangan dengan membawa setumpuk pandan kering,
Dylan mengambil semua beban si nenek dan membawanya masuk. Ia merasa kasihan dan ingin membalas budi. Walaupun, yang ia lakukan mungkin tidak sebanding dengan pertolongan si nenek.
"Terima kasih, Cok." Ucap si Nenek.
"Sama-sama, Nek." Balas Dylan
Nenek mengajak Dylan sarapan pagi, Lili sudah mengenakan seragam PNS.
Mereka bertiga sarapan pagi makan seadanya. Dylan tidak memiliki keberanian untuk memandang wajah si cucu. Setiap ia mencoba memandang ke wajah Lili, wanita itu langsung memelototinya ada perasaan lucu di hati Dylan mengingatnya.
"Sebenarnya ... tujuan kamu mau ke mana, Cok?," tanya si nenek disela makan.
"Sebenarnya, Nek. Aku ingin mencari Bang Jonathan. Kata Pap ... eh Pak Andrian saya harus menemuinya," Dylan ingin menyembunyikan identitas dirinya karena baginya saat ini, ia hanyalah seorang pria bernama Ucok.
Pria pengangguran yang sedang mencari kerja, Dylan sendiri tidak yakin orang-orang dusun akan mengenal siapa papanya.
Lebih baik penduduk mengenalnya hanya sebagai ucok, hal itu akan mempermudah ia bergaul di dusun.
"Jonathan .... ," si nenek sedang berpikir.
"Apakah kamu ingin mencari pekerjaan? Atau ingin berlibur, Nak?" selidik si nenek menatap lekat-lekat retina Dylan, mencari kejujuran.
"Aku mencari pekerjaan, Nek." Ujar Dylan.
"Rumahnya agak jauh dari sini, Nak. Itu, sebuah perkebunan sawit. Tepatnya ... sebuah perkebunan baru. Semua masyarakat di sini mengenalnya dengan sebutan Bang Jo," si nenek menjelaskan secara rinci.
"Nama nenek, Upik. Penduduk memanggilku ... Mak Upik. Lili akan mengantarmu ke sana. Ia akan pergi mengajar di SD dekat perkebunan." Ucap Mak Upik.
Dylan memandang Lili tragedi tadi pagi di kamar mandi, membuat keduanya saling diam dan menghindari tatapan.
Entah mengapa setiap Dylan memandang wajah Lili ada sedikit rasa aneh yang ia sendiri tak memahaminya.
"Tidak usah, Mak! Aku sudah senang, sudah diberi makan dan tumpangan tidur, Mak" Dylan menjawab dengan tulus. Ia tidak ingin berhutang budi lebih banyak lagi. Apa lagi sang cucu, sedikit keberatan menolongnya.
"Ucok punya kaki, Nek ... dia masih muda dan masih sanggup berjalan Nek. Ga usah dipaksa!," ketus Lili dengan wajah kesal.
Dylan hanya memandang wajah Lili.
Cut Lili Hairani, seorang Gadis yatim piatu. Ia besar di Kota Jakarta tapi lebih mendedikasikan semua ilmu yang ia dapat di bangku kuliahnya di Dusun Puak,
Lili lulus S-1 pada usia yang sangat belia. Wajahnya sangat unik bisa dibilang cantik dengan tubuh mungil, kulit seputih susu, dan bermata indah seperti kacang almond
Lili lebih suka tinggal dengan Mak Upik, walaupun keduanya tidak memiliki hubungan darah.
"Emak tidak suka kamu seperti itu, Nak." Jawab Mak Upik.
"Jika menolong orang, jangan pernah setengah-setengah," Mak Upik menyudahi sarapannya dan melanjutkan dengan mengunyah sirihnya.
Lili hanya diam, akhirnya Dylan dan Lili pamit untuk pergi.
"Terima kasih, Mak." Ucap Dylan terakhir kali sambil mencium punggung tangan Mak Upik. Ia bersyukur bertemu dengan Mak Upik yang baik, mengesampingkan cucunya yang bermuka masam tapi cantik.
Dylan memanggul ranselnya kembali, ia melihat Lili menuntun sepeda ontelnya. Sebagai lelaki, Dylan berniat membonceng Lili.
"Sebaiknya ... aku yang memboncengmu, tidak lucukan kalau kamu yang memboncengku. Secara, aku ... kan seorang pria ga mungkin aku memeluk pinggangmu. Kamu bisakan membawa ranselku?" tanya Dylan memecah kesunyian dengan pede-nya.
Lili hanya mencebikkan bibirnya, "Perasaan ... iihh, sok Lu!" memberikan sepedanya dan menerima ransel Dylan.
Dylan mengayuh sepeda dengan berlahan, udara pagi di dusun ini sangat sejuk di depan rumah-rumah penduduk terdapat parit yang mengalir, dengan air sewarna teh.
"Lili, maaf soal pagi tadi. Aku tidak sengaja. Sungguh ... aku tidak tahu kalau kamu lagi di kamar mandi." Dylan berusaha meminta maaf dan berusaha bersikap ksatria.
"Lain kali, ketuklah pintu!," akhirnya Lili bersuara.
Sepanjang jalan Lili menyapa para penduduk, hanya di pedesaanlah yang masih seperti itu.
Dylan hanya diam ia tidak tahu harus berbuat apa, ia mengayuh sepeda secepat mungkin. Ia sedikit risih akan pandangan para penduduk.
"Stop, stop! Sudah sampai." Lili memukul punggung Dylan
"Sekolah ... yang akan kamu ajarin yang mana sih?" tanya Dylan keheranan, Dylan hanya melihat tiga bangunan yang terbuat dari kayu. Di bangun senyaman mungkin.
Berpagarkan bambu, kesemua bangunan di cat putih dan merah.
"Mengapa hanya ada tiga lokal?" tanya Dylan penasaran, baru kali ini ia melihat SD yang hanya memiliki tiga lokal.
"Desa ini terisolir, jadi sudah syukur masih ada sekolah. Dan sekolah ini juga di bangun oleh perkebunan." Terang Lili.
Dylan terdiam ia menyadari betapa bodohnya, ia yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikannya. Ada sedikit sesal di hatinya. Ia terlahir dengan sendok perak di mulutnya. Namun, ia selalu tidak menghargai semua itu.
"Apakah hanya ada kelas 1, 2, 3, saja?." Dylan bertanya.
"Tidak ... ! Ada kelas 4, 5, dan 6, hanya saja ... karena ruangan kelas hanya tiga, jadi dibuat per gelombang, gelombang siang dan pagi." Ujar Lili memberikan ransel Dylan.
"Lagian kami kekurangan guru. Hanya ada tiga orang guru, dan seorang Kepala Sekolah." Lili menjelaskan secara detail.
"Apakah tidak ada penempatan dari kota kecamatan atau pusat begitu?" Dylan semangkin penasaran, bagaimana anak-anak mendapatkan pendidikan.
"Ada, hanya saja desa ini masih terisolir, tidak ada yang mau mengajar murid yang sedikit ... dan tempat yang sangat di pedalaman. Apa lagi gajinya juga sedikit?" balas Lili memandang ke arah sekolahan.
"Tapi ... kamu mau mengajar di sini," Dylan memandang Lili.
Lili tersenyum lesung pipi di kanan kiri pipinya muncul.
"Gadis ini ... manis juga!" Dylan membatin
Ia tidak menyangka gadis jutek yang menyiramnya tadi pagi bisa menjelma bak bidadari.
"Cok ... kamu berjalan sedikit lagi.
Di belakang gedung sekolah ini, rumah-rumah perkebunan. Deretan pertama sebelah kanan, rumah Bang Jo." Ucapan Lili membuyarkan lamunan Dylan.
"Terima kasih." Dylan pergi meninggalkan Lili.
Lili memasuki gerbang sekolah dan memulai pelajarannya.
Dylan melangkahkan kakinya, bertanya kepada satpam yang sedang bertugas.
"Permisi, Pak! saya mau bertanya. Rumah Bang Jonathan yang mana, ya Pak?." Tanya Dylan.
"Itu ... yang ada pohon mangga, tepat di depan rumahnya, Bang." Jawab Pak Satpam dengan ramahnya.
"Terima kasih, Pak." Jawab Dylan.
Dylan mengetuk pintu rumah Jonathan.
Tok tok tok!
"Selamat pagi Pak. Bisa bertemu dengan Bang Jonathan?" tanya Dylan kepada seorang pria seumuran papanya.
"Ya, saya sendiri." Jawab Jonathan.
"Saya Ucok, Bang." Dylan mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.
"Oooh, ada perlu apa ya Nak, Ucok?". Tanya Jonathan.
"Ayo, masuk." Jonathan mempersilakan Dylan masuk.
"Saya ingin mencari pekerjaan, Bang." Dylan berterus terang saja. Jonathan berpikir sebentar, "Tapi untuk saat ini ... kami hanya menerima pekerja buruh kasar. Untuk penanaman sawit" Jonathan meneliti keseluruhan tubuh Dylan.
"Tidak masalah, Bang. Yang penting, saya bekerja dan memiliki tempat tinggal Bang." Dylan sangat menginginkan pekerjaan dan sebuah rumah hunian.
"Untuk saat ini, rumah pekerja sudah penuh. Semua pekerja kebanyakan memiliki keluarga, bagaimana kalau kamu tinggal di rumah, Mak Upik? Kebetulan depan rumah Mak Upik kosong." Jawab Jonathan.
"Mak Upik .... ?" Dylan mengingat seorang wanita, yang sudah menawarkan tumpangan padanya tadi malam.
"Iya, Mak Upik wanita yang baik. Aku yakin dia bersedia menolongmu ... Aku akan berbicara padanya," Jonathan mempersilahkan Dylan minum.
Jonathan membawa Dylan kembali ke rumah Mak Upik.
"Mak ... pondok sudah penuh, apakah Emak mau menyewakan rumah depan Emak pada Ucok, Mak?" tanya Bang Jo, kepada Mak Upik.
"Tidak, masalah Jo. Emak senang ... ada pria di rumah emak ini. Tidak usah menyewa, Cok. Kamu sudah emak anggap seperti cucu, emak." Jawab Mak Upik.
"Tapi Mak, apakah aku tidak merepotkan Emak?" Dylan takut merepotkan Mak Upik apa lagi Lili.
"Tidak ... kamu bisa tinggal di kamar paling depan, Cok. Bawalah barang-barangmu ke dalam!." Perintah Mak Upik.
Dylan menurut ia menyusun pakaiannya di lemari yang sedikit reot kakinya,
Dylan melihat sebuah tempat tidur kecil. Mungkin tubuhnya akan sedikit menggantung, akibat kakinya yang terlalu panjang.
Ruangan ini sangat kecil, kamar mandinya saja luasnya tiga kali kamar ini.
Tiba-tiba Dylan rindu rumah, rindu mama dan papanya.
"Mama, sedang apa ya...?" Hatinya bertanya, sayangnya tidak ada listrik untuk mengisi daya ponselnya.
Dylan melangkah ke luar kamar menemui Bang Jo dan Mak Upik.
"Cok, besok kamu sudah bisa masuk kerja. Kamu datang jam 07.00 WIB, pagi." Ucap bang Jo.
"Apaaa? Jam 07.00 WIB, pagi ... ?" batinnya menjerit, "Bagaimana bisa? aku mungkin belum bangun, pagi." Rutuk hatinya.
"Iya, Bang." Dylan mengiyakan, karena ia butuh pekerjaan untuk menyambung hidup.
Jonathan pamit pulang, Tinggal Mak Upik dan Dylan.
"Mak, ini ada sedikit uang untuk biaya makan Ucok, selama sebulan. Sebelum Ucok gajian." Dylan menyodorkan uang sepuluh lembar seratus ribuan.
"Itu kebanyakan Cok, simpanlah sebagian. Untuk tabungan masa tuamu." Mak Upik hanya mengambil tiga lembar uang seratus ribuan.
"Apakah itu cukup, Mak?" Tanya Dylan keheranan, karena selama ini ia menghabiskan lebih dari itu dalam sekali makan.
"Cukup Cok, tapi kita makan seadanya. Maklum ... di sini kampung Cok, bukan kota." Mak Upik tersenyum memasukkan uangnya ke tas yang terbuat dari anyaman pandan.
"Baiklah Mak, Ucok istrahat dulu," Dylan kembali ke kamarnya. Ia ingin memulai aktivitas barunya.
Ia merendam pakaiannya, ia tidak tahu caranya mencuci pakaian.
Dylan hanya memijak-mijak pakaiannya, membilasnya dan hanya menjemurnya tanpa meremasnya.
Tanpa Dylan sadari, Lili memperhatikan tingkahnya.
"Mungkin ... pria ini tidak pernah mencuci pakaiannya sendiri!" Lili bergumam melihat kebodohan Dylan.
"Kalau kamu kasihan padanya, Nak. Kamu beri dia arahan yang tepat. Emak yakin, dia tidak pernah bekerja sebelumnya." Mak upik mengomentari gumaman Lili.
"Biarkan sajalah, Mak. Dia sendiri tidak meminta pertolongan, kecuali, dia yang minta pertolongan, Mak!" Jawab Lili sekenanya. Mak Upik hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Bersambung...
Terima kasih buat pembaca yang sudah sudi, meluangkan waktunya. Author sangat butuh komentar, like dan vote. Untuk penyemangat dan membuat karya lebih baik lagi author.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
𝔸𝕝𝕖𝕖𝕟𝕒 𝕄𝕒𝕣𝕊
hadir😍
2021-09-12
0
My_ChA
like 😍😍
2021-08-28
0
🍾⃝ͣͣ𝓡ͩꫀᷝเͧ𝒉ᷠᥲͣᥒ🦜
semangat dylan😎👍
2021-08-24
1