Lili masuk ke Kelas 2, semua murid berhenti bicara melipat kedua belah tangannya dengan rapi di atas meja.
Jumlah murid tidak lebih hanya Lima belas orang.
Para murid masih memakai pakaian sembarang. Hanya beberapa murid yang menggunakan pakaian seragam.
Tapi niat belajar mereka begitu kuat.
"Pagi, anak-anak!" Sapa Lili.
"Pagi Bu Guru!!" Jawab Murid serempak.
"Baiklah, mulai sekarang ibu yang akan mengajar kalian. Nama ibu Cut Lili Hairani, Kalian boleh memanggilku Lili."Jelas Lili
"Baik, Bu Guru!" Murid menjawab serempak. Jauh di lubuk hati Lili, ia tersenyum bahagia mendengar jawaban muridnya.
"Ibu, akan mengabsen satu per satu, nama yang ibu sebut. Tolong angkat tangannya tinggi-tinggi. Biar ibu kenal, dan katakan cita-cita kalian." Pinta Lili.
"Anisah putri." Panggil Lili
"Saya Bu, cita-cita saya ingin jadi dokter." Jawab seorang murid perempuan bergigi ompong.
"Hadi Suman" panggil Lili
"Saya Bu, cita-cita saya ingin jadi polisi" jawab seorang anak laki-laki dengan gagahnya.
"Hamidah" panggil Lili
"Saya Bu, saya ingin jadi Kepala Dusun." Jawab seorang anak perempuan.
Lili bingung dengan kesederhanaan cita-citanya.
"Mengapa kamu ingin menjadi Kepala Dusun, Nak." Tanya Lili
"Saya ingin, membuat Dusun Puak terkenal Bu."
"Pintar ... ! Sekarang, Fuad Hasan." Panggil Lili
"Saya Bu, saya ingin kerja di pembuatan lampu, biar Puak terang Bu." Jawabnya
"Maksud kamu di PLN, Nak " Jawab Lili.
Anak-anak lain tertawa.
Begitu banyak cita-cita mulia anak-anak didiknya. Ada yang ingin mengaspal jalan di dusunnya, ada yang ingin membuat air bersih dan banyak hal lainnya yang sangat bersahaja.
Lili memulai pelajarannya dengan pelajaran bahasa Indonesia.
Ada beberapa murid yang sudah lancar membaca, ada juga yang belum begitu pasih membaca.
Kebanyakan dari anak-anak menggunakan bahasa daerah setempat, yang membuat Lili sulit beradaptasi.
Ia mulai mengajari anak didiknya untuk menggunakan bahasa Indonesia bila di sekolah.
Sepulang sekolah, Lili mengayuh sepedanya kembali ke rumah Mak Upik
Membantu meringankan beban Mak Upik.
"Sudah pulang, Lili. Bagaimana hari pertamamu mengajar?" tanya Mak upik, sambil menganyam tikar setelah makan malam.
"Alhamdulillah, Mak. Anak-anak antusias." Jawab Lili.
"Syukurlah, mereka sangat membutuhkan pendidikan. Sayangnya ... orang tua mereka masih terlalu kolot. Cara berpikir mereka kurang maju." Pandangan Mak Upik menerawang.
"Kalau kedepannya ... ada orang tua yang menjemput anaknya, karena tidak menginginkannya sekolah. Kamu harus memberikan pengarahan yang jelas! Terkadang, para orang tua sampai memakai kekerasan." Mak Upik memberikan sedikit wejangan.
"Sampai segitunya, Mak?" Lili tidak mempercayainya.
"Sudah malam, emak tidur dulu." Mak Upik meninggalkan anyaman tikarnya.
Lili memasuki kamar memeluk foto keluarga dan calon suaminya, ia menitikkan air mata.
Hari berganti hari, Minggu berganti Minggu, bulan berganti bulan, hingga tahun pun berganti.
Lili betah tinggal di Dusun Puak dengan segala kekurangannya.
Murid-murid Lili cukup pintar, mudah menyerap mata pelajaran. Sayangnya, keterbatasan buku-buku dan media elektronik yang menghambat mereka maju.
"Hadi, ayah bilang pulang!! Banyak pekerjaan yang harus kau kerjakan. Sudah aku katakan, tidak ada artinya sekolah!" teriak seorang pria marah-marah.
Anak yang bernama Hadi ketakutan. Bersembunyi di balik punggung Lili.
Semua guru dan Kepsek ke luar dari lokal masing-masing.
Lili menghampiri orang tua muridnya, Hadi tetap bersembunyi di belakang punggung Lili.
"Maaf, Pak. Apakah Bapak Orang tua dari Hadi?" tanya Lili.
"Iya, aku ingin menjemput anakku pulang. Banyak pekerjaan di rumah!" ucap orang tua Hadi.
"Aku tidak ingin pulang Ayah!" ringis Hadi
"Aku ingin sekolah ... Biar pintar tidak bodoh." Tambah Hadi.
"Aku bilang pulang!" hardik orang tua Hadi, menarik lengan putranya.
"Bu Guru, saya ingin sekolah." Tangan kiri Hadi menggapai-gapai Lili.
Lili mengejar Hadi rasanya ia tidak tega.
"Maaf, Pak. Tolong ... biarkan Hadi bersekolah. Sepulang sekolah ia akan mengerjakan pekerjaan rumahnya."
"Tidak bisa! Aku yang punya anak ini, aku yang berhak mengatur anakku." Tegas ayah Hadi.
"Saya tahu Pak. Tapi tolong, beri kesempatan buat Hadi, Pak. Putra Bapak sangat pintar. Berilah kesempatan kepadanya, Pak" pinta Lili terus mengikuti anak dan bapak. Pak syarif adalah orang tua Hadi. Ia terkenal dengan temperamen yang keras. Ia terus menyeret putranya, Hadi terus meronta-ronta akan tetapi tenaganya tidak sebanding dengan ayahnya.
"Aku, sudah bilang padamu. Tidak usah pergi ke sekolah! kamu masih saja melanggarnya. Bantu aku ke ladang atau melaut. kau langsung dapat duit. Dasar ... anak nakal! Tidak tahu di untung!" Syarif mengomel sepanjang jalan, ia juga terkadang memukul putranya.
"Tolong, Pak. Jangan memakai kekerasan. Berilah kesempatan pada Hadi, Pak. Aku mohon .... " Lili terus memohon.
"Apa gunanya bersekolah! aku tidak sekolah, tidak pandai membaca, dan berhitung. Tapi tetap hidup dan bisa bekerja." Tukasnya sengit.
"Bukan begitu, Pak. Dengan kepandaian Hadi, kedepannya ... mungkin Hadi bisa membantu Bapak berjualan, atau apa pun itu, Pak" Lili terus memberikan solusinya.
Hingga mereka sampai di depan rumah keluarga Hadi. Ibu Hadi ke luar dari dalam rumah memeluk Hadi.
"Maaf, sudahlah, Bu! Hadi tidak bersekolah lagi. Ia akan membantu Bapak ke ladang" si Ibu memelas.
"Tapi ... Bu, Hadi pintar. Sayang sekali! kalau dia berhenti sekolah, Bu. Saya mohon, tolong ... pujuklah Bapak, Bu" Lili terus saja memohon.
"Mak ... biarkanlah Hadi bersekolah, Mak. Bilang sama Ayah, aku akan mengerjakan semua pekerjaan ladang, asal aku sekolah, Mak." Mohon Hadi di sela isak tangisnya.
"Maafkan, emak. Nak! Kau tahu ... bagaimana Ayah dikau?" Mak Hadi memeluk putranya. Hadi masih terus menangis di pelukan ibunya.
"Tidak usah menangis ... atau aku akan mengurung kalian berdua!" ancam Pak Syarif
Saat mereka sedang beradu argumen, seorang pembeli kelapa datang.
"Pak Syarif, saya ingin membeli kelapanya." Ujar pembeli.
"Ambillah ...." Bapak Hadi mengawasi si pembeli kelapa.
Lili mengamati dan menghitung hasil penjualan kelapa.
Karena Lili merasa ada yang tidak beres.
"Ini kesempatanku ... agar Hadi tetap bisa bersekolah." Batin Lili.
"Tunggu dulu, Pak pembeli. Hadi ... coba hitung dan kalikan berapa uang kelapa ini." Tanya Lili.
"Baik Bu." Hadi maju ke depan, mengitung semua kelapa, dan mengkalikan hasilnya.
Walaupun Hadi baru duduk di kelas 4 SD, tapi ia memiliki otak yang jenius di bidang matematika.
"250 di kali Rp.2.500 \= Rp.625.000, Bu." Jawab Hadi.
"Berapa uang yang diberikan si pembeli Pak?" tanya Lili.
Bapak hadi menghitungnya dan terselip sekitar seratus lima puluh lima ribu.
"Bagaimana Bapak pembeli?" Tanya Lili kepada si pembeli.
Si pembeli merasa malu, dan memberikan sisanya.
"Maafkan aku, Pak Syarif." Ucap si pembeli.
"Lain kali, kamu tidak boleh membeli kelapaku lagi. Untung anakku bersekolah. Dan dia jadi pintar, dia tidak tertipu seperti aku." Bapak Hadi, menyesali perbuatannya melarang Hadi bersekolah.
"Hadi maafkan ayah, Nak. Mulai besok tetaplah bersekolah. Bu guru maafkanlah perbuatan saya,"Bapak Hadi mengulurkan tangannya kepada Lili dan disambut Lili dengan senyuman.
Hadi berlari memeluk Bapaknya. Lili mohon undur diri dan membawa Hadi kembali ke sekolah.
"Terima kasih, Bu. Sudah menolong saya." Ucap Hadi.
"Belajarlah yang baik! Buat ... Ayah kamu bangga, Nak." Nasihat Lili.
"Baik Bu." Jawab Hadi.
Para guru menyalami Lili, memberikan selamat .
"Wah, Bu Lili hebat! " Ucap Asrul
"Iya, Pak Syarif terkenal garang. Abang Hadi semuanya, ia tarik dari sekolah. Bagaimana Ibu melakukannya?" Tanya Afni.
"Hanya faktor keberuntungan, Bu." Lili menceritakan semua kejadian.
"Bagaimanapun Ibu telah berhasil. Beginilah, Bu .... suka duka menjadi guru di pedalaman." Ucap Kepsek.
Mereka tersenyum bahagia. Pahlawan tanpa jasa yang sering terlupakan.
Hari berjalan seperti biasa, begitu juga dengan semua kegiatan mengajar Lili. Sudah seminggu Anisah putri tidak masuk sekolah.
"Anak-anak ... ada yang tahu Anisah ke mana?"
"Tidak tahu ... Bu! "jawab anak-anak serempak.
"Ada yang tahu rumahnya?"
"Saya tahu, Bu." Jawab Fuad.
"Fuad, setelah pulang sekolah. Maukah kamu mengantarkan ibu ke rumah Anisah?."
"Mau, Bu Guru." Jawab Fuad.
Akhirnya, setelah pulang sekolah Lili dan Fuad ke rumah Anisah.
Rumah Anisah agak jauh dari sekolah. Setelah bersepeda cukup lama, Lili tiba di rumah yang terbuat dari kayu, beratapkan nipah.
Anisah, putri Ibu Romlah seorang janda yang ditinggal mati suaminya, pekerjaan sehari-hari Bu Romlah mencari kerang ke pinggir laut. Kehidupan mereka sangat memperhatinkan. Akan tetapi, Bu Romlah tidak pernah mengeluh begitu juga dengan putrinya Anisah. Walaupun ia harus berjalan kaki menuju sekolah, ia juga tidak pernah mengeluh.
"Assalamualaikum, permisi!" ucap Lili.
"Assalamualaikum, Nisaa ... Nisaa." Panggil Fuad.
Seorang wanita setengah tua, berpakaian lusuh ke luar dari dalam rumahnya.
"Waalaikumsalam, eh ... ada Bu Guru! Mari masuk, Bu. Beginilah keadaannya, Bu." Ujar Bu Romlah dengan kehangatan. Ia membentangkan tikar pandan.
"Ga usah repot-repot, Bu." Ucap Lili.
"Hanya ... teh saja kok Bu, silakan diminum Bu, Fuad."
"Begini, Bu. Saya mau tanya ... Mengapa Anisah tidak masuk sekolah Bu? Apakah ia sedang sakit?" tanya Lili.
"Iya, Bu. Kakinya terkilir ... karena seminggu yang lalu hujan deras, ia terburu-buru ke sekolah. Jadi ia jatuh, Bu." Jawab Romlah. Lili melihat Anisah di kamar, Anisah terbaring dengan kaki dibalut sejenis daun, "Daun apa ini, Bu?" tanya Lili heran.
"Itu ... daun bunga lili atau bakung, Bu." Jawab Romlah sedikit merona, karena nama si daun sama dengan Lili.
"Ooo ... memang dengan daun itu bisa sembuh, Bu?" tanya Lili lebih penasaran lagi.
"Bisa Bu! Hanya sedikit lama, saya tidak punya uang lebih untuk membawa Nisa ke bidan, Bu. Karena kerang agak sulit kalau bulan terang, Bu." Romlah sedikit malu menceritakan keadaannya.
"Ooo, begitu! Nisa ... cepat sembuh ya biar sekolah, lagi." Ucap Lili.
"Iya cepat sembuh ya, Nisa. Nih ... dimakan ya dari kawan-kawan semua." Fuad mengangsurkan buah tangannya berupa roti, gula, susu. Keduanya permisi.
Menjelang sore Lili kembali dengan Bidan Naijam.
Bidan Naijam, menyuntik dan memberikan obat-obatan kepada Anisah. Lili membiayai semua perobatan, dengan alasan Anisah berbakat di sekolah. Anisah anak yang pintar, Lili tidak ingin ia putus sekolah. Seminggu kemudian Anisah sudah masuk sekolah, Lili juga membelikan sebuah sepeda mini, dengan alasan dari donatur sekolah bagi anak-anak yatim.
"Terima kasih, Bu!" Berulang kali Bu Romlah dan Anisah mengucapkan kata itu dengan menitikkan air mata.
"Kamu, harus lebih rajin belajar lagi. Siapa tahu, kamu bisa dapat beasiswa?" Lili memberikan semangat.
Setiap tiga bulan Lili cuti pulang ke kota kelahirannya, mengurus semua keperluan perusahaannya. Perusahaanya maju pesat.
Sepulangnya dari kota, Lili membawa berbagai jenis buku pelajaran yang baru, buku-buku bergambar, komik, cerita-cerita pendek. Dan peralatan sekolah para murid. Hingga akhirnya orang tua dan guru berinisiatif dibangunlah sebuah gedung perpustakaan sekolah.
Dengan diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun, Lili mengisi perpustakaan sekolah dengan berbagai jenis buku pendidikan. Lili selalu beralasan ia mendapat donatur. Lili membagikan seragam sekolah kepada semua murid dan guru tanpa terkecuali.
Mengenalkan kepada para murid cara menggunakan telepon rumah biasa. Walaupun hanya sekedar teori ia menceritakan komputer, ponsel dan banyak alat canggih lainnya. Dan membawa buku-buku mengenai semuanya.
Ia juga membawa sebuah radio ke kantor sekolah untuk para guru mendengarkan banyak berita.
Lili ingin para orang tua membiarkan anak-anaknya sekolah dan tidak membebaninya, dengan peralatan sekolah.
Lili masih terbentur akan penerangan dan jalan, serta kendaraan bagi murid yang ingin melanjutkan ke jenjang pertama ataupun atas. Ia masih bingung harus bagaimana.
Tanpa ia sangka sebuah PT, membeli dan membuat perkebunan sawit tidak jauh dari sekolah.
Sehingga jalan sedikit di per lebar dan diadakan pengerasan. Penerangan sedikit masuk. Sayangnya sudah setahun PLTD tidak aktif lagi.
Tanpa terasa sudah tahun ke-3 Lili mengabdikan diri di pedalaman Puak.
Sedikit banyaknya ia mulai terhibur, mengenal kebiasaan dan adat setempat.
Ia sudah membaur dengan para penduduk. Setiap hari Minggu sore, Lili mengantarkan pesanan tikar Mak Upik atau bertani bersama menanam berbagai jenis sayuran.
Namun, Lili masih sering menangis pilu kala malam ia selalu merindukan papa, mamanya, juga Defri.
Bila ia menghadiri pernikahan seseorang. Lili tidak pernah tinggal lama ia selalu menangis, mengenang Defri.
Tidak ada satu pria pun yang berhasil memikat hati Lili. Ia terus menutup pintu hatinya rapat-rapat terhadap lawan jenisnya. Mak Upik tidak pernah bertanya, tapi sepertinya wanita tua itu memahami semua perihnya. Mereka saling menyayangi dalam diam. Mak Upik memperlakukan Lili seperti putrinya sendiri, Lili sendiri memperlakukan Mak Upik seperti maminya.
Bila Lili pulang ke kota, ia selalu membelikan Mak Upik, hijab, baju-baju syar'i, sarung kesukaan Mak Upik dan semua keperluan Mak Upik.
Lili juga membawa makanan-makanan dari kota yang tahan lama, seperti biskuit, roti kaleng, minuman kaleng, syrup, manisan dan beraneka ragam coklat untuk para murid dan tetangga.
Ia juga membeli obat-obatan yang sulit didapat di kampung.
Bersambung...
Terima kasih buat pembaca yang sudah sudi, meluangkan waktunya. Author sangat membutuhkan komentar, like dan vote. Untuk penyemangat dan membuat karya lebih baik lagi author.🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Via🔥💰
aku mampir nyicil othor..
2021-09-29
0
delissaa
next semangat Thor
2021-08-31
0
ARSY ALFAZZA
jangan lupa saling favorit ❤️ dan rate bintang ⭐⭐⭐⭐⭐ya Thor 😘😘
2021-08-30
2