"Lili, kamu serius ingin pergi juga sayang." Azizah membelai punggung Lili.
"Iya Tan, do'akan Lili ya." Jawab Lili membalas pelukan Azizah.
"Bagaimana keadaan kamu, bila kamu di sana?" Azizah tidak tahu harus membujuk bagaimana lagi.
Air mata sudah mulai menetes, Lili menghapus air mata di kedua belah pipi mulus Azizah.
"Tante, aku akan selalu baik-baik saja. Percayalah Tante." Lili berusaha untuk tersenyum, ia tidak ingin melihat kesedihan pasangan suami istri yang sudah begitu baiknya selama papi dan maminya tiada lagi.
"Tante sudah sangat bahagia, akhirnya tante punya seorang putri. Kamu tahu Dylan jarang pulang, ia lebih senang bermain-main di luar. Dari pada menemani mamanya." Azizah mengeluh.
"Mungkin, Dylan ada urusannya Tan. Nanti ia akan pulang juga." Lili berusaha menghibur Azizah.
Walaupun, Lili sendiri tidak mengenal putra pasangan suami istri ini, yang bernama Dylan.
Akhirnya waktu keberangkatan pun tiba, "Berhati-hatilah di sana! Jaga diri baik-baik. Kabari Tante dan Om. Jangan pernah merasa sendiri." Hibur Azizah menciumi wajah Lili.
"Iya, Tante." Balas Lili.
"Berhati-hatilah!." Pesan Andrian.
"Iya, om, Tante. Lili berangkat." Pamit Lili.
Entah sudah berapa kali mereka saling peluk. Hingga akhirnya Lili sudah berada di kursi penumpang pesawat kelas VIP.
Lili mengeluarkan sebingkai foto, di mana ia dan ketiga orang yang paling ia sayangi berpose bahagia.
"Papi, Mami dan Defriku, temani aku dari surga. Aku mencintai kalian." Batin Lili menyentuh semua wajah di foto.
Sebongkah perih menghujam jantungnya.
"Andaikan semua itu tidak terjadi, kita sudah menikah dan bahagia Def" batin Lili
"Mami, dan Papi aku rindu pada kalian. Begitu cepat kalian pergi. Belum puas rasanya aku mencintai, menyayangi. Belum pernah aku membahagiakan kalian. Defri, aku tidak tahu bagaimana ke depannya hidupku. Aku hanya mencintaimu." Tetesan air mata menyelinap di mata indah Lili.
Lili menghapus air matanya, mencoba untuk tidur dengan memeluk bingkai foto.
Lili mendaratkan kakinya di Bandara SS. Ia menenteng kopernya, menyelempangkan tasnya. Udara sangat panas menyengat, Lili melanjutkan perjalanan dengan sebuah bus. Setelah beberapa jam kemudian, ia melanjutkan dengan kapal ferry sampailah ia di Kota A. Seorang penjemput dari Dinas Pendidikan menjemputnya.
"Ibu Lili!" sapa seorang pria separuh baya.
"Iya, Pak." Jawab Lili.
"Saya Rizal, saya yang akan mengantarkan Ibu ke Dusun Puak." Jelas rizal mengulurkan tangan dan memberikan berkas-berkas penempatan.
"Apakah saya tidak perlu ke Kantor Dinas dahulu, untuk menandatangani berkas pak."
"Tidak usah Bu! Masalahnya perjalanan sangat jauh nanti kita kemalaman, lagian tiga bulan ke depan Ibu baru menandatanganinya lagi ke Kantor Dinas." Jelas Rizal.
"Mengapa begitu, Pak?" Lili sedikit curiga.
"Begini Bu, tidak ada maksud apa pun. Saya harap Ibu tidak marah ataupun curiga. Dusun ini sangat terpencil dan jauh di pedalaman, juga dari peradapan modern. Penduduknya sedikit kolot, sudah entah berapa banyak penempatan guru .... " Rizal membonceng Lili menaiki sepeda motornya.
"Ayo, Bu." Tambahnya.
"Terus, Pak." Lili ingin mengetahui kondisi medan perangnya.
"Begini, Bu. Bukan saya tidak percaya dengan Ibu, bila Ibu tidak menandatangani, berkas penempatan Ibu. Hanya saja bila Ibu merasa tidak betah, Ibu bisa langsung pamit pulang, ke Kantor Dinas. Tanpa harus mendapatkan cacat di catatan Riwayat Kerja Ibu." Papar Rizal.
"Oo .... " hanya itu yang terucap dari bibir Lili.
"Iya, Bu. Soal gaji jangan khawatir. Kami tetap menggaji Ibu sesuai dengan janji, setiap bulannya. Akan tetapi bila Ibu memang betah, Ibu datang kembali ke Kantor Dinas untuk menandatangani berkas penempatan Ibu dan Ibu tetap dihitung bekerja mulai lusa Bu." Tambah Rizal lagi.
"Iya, Pak. Insya Allah saya betah, Pak." Jawab Lili.
"Alhamdulillah ... Saya turut senang Bu. Sudah banyak guru pelamar datang, akan tetapi selalu mundur Bu." Papar Rizal.
Perjalanan ke Dusun Puak, terasa jauh dan lambat. Debu-debu berterbangan, kubangan air di sana-sini, belum lagi lubang-lubang kecil jalanan ini cukup lebar hanya saja masih terbuat dari tanah belum ada pengerasan, Apa lagi aspal.
Di atas sepeda motor, tubuh Lili berguncang-guncang. Setelah beberapa jam berlalu hari mulai gelap, suara-suara binatang liar mulai bernyanyi pertama kalinya di dalam hidup Lili merasakan hal seperti ini.
Dusun ini belum memiliki PLN, hanya cahaya remang-remang lampu dari dalam rumah. Rumah-Rumah terbuat dari kayu kuat yang di ketam dan di pernis, sangat indah dan luar biasa cantik. Penduduknya memiliki seni yang luar biasa. Di depan rumah mengalir parit-parit yang berisi air mengalir yang pekat. Rumah-rumah masih bergaya panggung walaupun, bentuknya sudah modern.
Di sekitar halaman penduduk, kebanyakan ditanam buah nenas dan labu serta berbagai sayur-mayur.
Rizal membelok kesebuah rumah panggung.
"Assalamualaikum, Mak Upik!" Teriak Rizal.
"Ayo, Bu." Ajak rizal.
Lili menaiki tangga yang kokoh, di belakangnya Rizal menenteng kopernya.
"Waalaikumsalam." Sahutan wanita dari dalam rumah sambil membuka pintu.
"Mak, ini guru baru yang akan tinggal bersama Emak." Terang Rizal.
"Lili, Mak." Lili mengulurkan tangannya dan disambut Mak Upik. Lili juga mencium punggung tangan Mak Upik.
"Silakan masuk Nak! Beginilah keadaannya." Ucap Mak Upik.
Ketiganya duduk di dipan yang terbuat dari pandan. Lili melihat di sudut ruangan tumpukan tikar yang sudah jadi di bagian sudut lain ada juga tikar yang belum selesai penganyamannya.
Mak Upik muncul dari dalam dapur membawa nampan berisi teh manis panas dan pisang goreng.
Lili memperhatikan Mak Upik wanita yang sudah berumur hampir tujuh puluh kurang lebih, memakai kain sarung, baju kurung khas adat melayu dan seutas selendang panjang menutupi rambut yang penuh uban.
Lili memperhatikan kerutan keriput sekitar wajah Mak Upik yang menyisakan garis kecantikan di waktu mudanya.
"Mungkin dulunya Mak Upik salah satu Bunga Desa di Dusun Puak ini." Batin Lili.
"Makanlah Nak, kalian pasti lapar!." Ucap Mak Upik
Lili dan Rizal memakan pisang goreng, Mak Upik kembali dari dapur membawa nasi, sayur, lauk- pauk sederhana tapi menggugah selera.
"Ayo, silakan dimakan!" Mak Upik mempersilakan tamunya menyantap hidangan. Ia juga turut serta menikmati hidangan yang ia masak.
Setelah makan, Lili menyusun semua pakaiannya ke dalam lemari. Meletakkan potret keluarganya di nakas dekat tempat tidur.
Rizal menginap di kamar depan karena terlalu jauh perjalanan dan sudah larut malam, Mak Upik meminta Rizal menginap.
Jam dinding berdentang lima kali, Lili terkesiap ia melompat, hingga terjatuh dari tempat tidur. Mak Upik tergopoh-gopoh ke kamar Lili.
"Ada apa, Nak?" Tanya Mak Upik.
"Saya terkejut, karena suara lonceng Mak." Lili mengusap-usap pantatnya yang terasa sakit.
"Hehehe, itu bukan lonceng Nak, tapi jam dinding. Sudah lima kali berdentang, berarti jam lima subuh. Apakah kamu beragama Islam?" Mak Upik meneliti raut wajah Lili Mak Upik takut menyinggung perasaan Lili.
"Iya, Mak. Almarhum Papi saya suku Aceh Mak tapi Almarhumah Mami saya Tionghoa Mak." jelas Lili
"Ooo, begitu! Pantesan kamu sangat cantik Nak, emak mau sholat dulu." Ucap Mak Upik. Lili juga Rizal melakukan kewajibannya sebagai Muslim yang taat.
Lili membantu Mak Upik memasak walaupun, ia terlahir dengan memiliki banyak ART ia tidak pernah melupakan kodratnya sebagai wanita.
Lili belajar berbagai hal menyangkut pekerjaan wanita hingga ia tidak merasa sulit melakukannya.
Ketiganya sarapan pagi, Lili mengendarai sepeda ontel emak menuju ke sekolah Rizal sudah pulang.
Sepanjang jalan pagi ini, Lili melihat air pekat sewarna teh, penduduk setempat menyebutnya, "Air gambut."
Di sepanjang parit masih digunakan masyarakat untuk mencuci pakaian, piring dan mandi.
Hanya membuang hajat besar yang dilarang. Mereka tetap menggunakan WC cemplung istilahnya. Hanya beberapa warga yang sudah menggunakan kamar mandi juga WC siram, menggunakan sumur galian dengan cara menimba airnya salah satunya Mak Upik.
Deretan pohon jalutung berdaun lebat dan rindang berbaris di kanan-kiri sisi jalan.
Udara begitu segar, kicauan burung bernyanyi riang.
Lili terus mengayuh sepeda, hingga ia sampai di depan sekolah.
Gedung sekolah SD hanya terbuat dari kayu kuat yang bercat merah putih, hanya ada tiga kelas.
Di sekeliling sekolah di pagar, menggunakan bambu yang juga di cat warna merah putih. Di tengah-tengah lapangan terdapat tiang bendera dengan Bendera Merah Putih yang terus berkibar tertiup angin.
Lili memarkirkan sepeda ontelnya, merapikan bajunya.
Deg deg deg
Hatinya berdebar-debar, melihat senyuman penasaran para muridnya yang lucu dan imut. Lili menuju kantor, letak kantor terpisah dari tiga kelas.
Tok tok tok!
"Permisi, Pak!" Sapa Lili.
Menegur seorang Pria seumuran papanya.
"Mari, masuk Bu. Ibu Guru barukah?." Sapa Pak Kepsek.
"Iya, Pak. Kenalkan saya Lili." Lili mengangsurkan tangannya, langsung disambut Pak Kepsek.
"Saya Kepsek di sini Bu, nama saya Abdul. Selamat datang dan mengajar di sekolah ini, Bu." Sapa Pak Abdul
Mereka berbincang-bincang membicarakan kurikulum semester yang akan diajarkan kepada murid.
Lili berkenalan dengan tiga orang Guru lainnya.
"Saya Afni Bu, Guru IPA"
"Saya Lili Bu, Guru Matematika, mohon bimbingannya." Jawab Lili menyambut hangat uluran tangan Afni.
"Saya Riana, Bu. Saya Guru Bahasa Indonesia." Riana mengulurkan tangannya
"Saya Lili." Balas Lili.
"Saya Asrul Bu. Guru Olah Raga." Asrul juga mengulurkan tangannya.
"Saya Humaira Bu. Guru Agama Islam." Ucap Humaira.
Masing-masing memperkenalkan namanya.
Lili mengajar di Kelas 2 dan 4, Setiap guru kelas mengajar semua mata pelajaran sesuai kurikulum. Kecuali Agama, dan Olah raga.
Sepulang sekolah, Lili singgah di warung membeli Sembako. Dia bertemu dengan para ibu yang sedang berbelanja, "Ooo, ini Ibu Guru yang baru ya?" tanya si Ibu penjual.
"Iya, Bu. Nama saya Lili, saya tinggal bersama Mak Upik." Jawab Lili ramah.
"Wah, cantiknya ya Ibu guru ini! Orang kota memang cantik-cantik, ya? Beda seperti kita-kita ya, Bu Ibu!" ucap Ibu Masni. Lili hanya tersenyum, "Ibu-Ibu juga cantik, buktinya sudah laku. kalau belum laku, berarti belum diakui cantik, Bu" canda Lili.
"Wah, Bu Guru pandai memuji ya?" ucap si Ibu pemilik warung.
"Siapa sih yang cantik di Puak ini? yang cantik itu cuman aku!" ucap seorang wanita cantik dengan angkuhnya. Seketika suasana warung sepi tidak ada satu pun yang berani berbicara. Masing-masing sibuk dengan belanjaannya.
"Kamu, orang baru ya?" si wanita muda bin cantik itu memandang sinis ke arah Lili.
"Iya, Mbak" balas Lili dengan tersenyum lembut.
"Sejak kapan Ayahku menikahi Ibumu?"
"Maaf, saya Lili karena saya tidak tahu nama situ, jadi saya panggil Mbak. Kalau keberatan saya minta maaf. Kalau boleh tahu si cantik ini, namanya siapa, ya?" puji Lili.
"Saya Ayu, anak Bapak Rawin ... si Tuan Tanah. Orang paling kaya di Dusun Puak ini. Kamu ingat itu!" jawab Ayu dengan pongahnya.
"Iiissh malas kali sepertinya beli di sini. Takut ... Ketularan miskin. Lagian ga biasa, belanja di tempat beginian." Ayu mengkibas-kibaskan debu di bajunya, hingga semua perhiasan di tangannya mengeluarkan bunyi.
"Dasar tukang pamer!" bisik-bisik para Ibu di belakang Ayu. Akan tetapi Ayu tidak peduli.
"Memang ... biasanya belanja di mana?" tanya Lili dengan polosnya.
"Ya di mol gitulah! Barang-barang blen-blen begitu, ga biasa di warung, macam gini."
"Ooo ... Mungkin maksudnya Mall, barang branded" batin Lili, berusaha memahami maksud si Ayu.
"Bu Guru, ini belanjaannya. Total semuanya Rp. 550.000, Bu." Ucap si penjual, "Terima kasih, bu. Ini ... Uangnya, Bu." Lili memberikan uangnya.
" Mari ... Ibu-Ibu, saya permisi! " pamit Lili.
"Wah, Ibu Guru yang baru! Sudah cantik, baik, ramah, ga sombong sepertinya kaya lagi." Ucap seorang pembeli lainnya.
"Iya ... Kecantikannya tidak ada yang menyamainya." Ucap si penjual.
"Beda ya, kalau orang berpendidikan dan tidak cara bicaranya." Ucap wanita lainnya.
Ayu merasa tersindir hatinya menjadi cemburu dan sakit hati kepada Lili. Ia merasa tersaingi dan tidak memiliki apa-apa, secara Ayu merasa orang paling hebat di Puak.
"Sialan ... wanita itu! Karena dia, orang-orang miskin ini tidak memandangku lagi. Aku akan membuat wanita itu menyesal sudah menginjakkan kakinya di Puak ini. Akulah yang tercantik di Puak ini" batin Ayu marah, ia meninggalkan warung dengan dendam membara.
Bersambung...
Terima kasih buat pembaca yang sudah sudi, meluangkan waktunya. Author sangat membutuhkan komentar, like dan vote. Untuk penyemangat dan membuat karya lebih baik lagi author.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
𝔸𝕝𝕖𝕖𝕟𝕒 𝕄𝕒𝕣𝕊
4 like+rate 5 dan komen sudah mendarat kaka😘😘
2021-10-19
0
Titik pujiningdyah
tiga jempol untuk emak
2021-10-03
0
ARSY ALFAZZA
semangat selalu 💕
2021-08-30
1