Adzan berkumandang di masjid, Ucok masih tertidur.
Tok tok tok!
"Cok, Ucok bangun Nak! sudah subuh!" Mak Upik membangunkan Dylan.
Dylan merasa mamanyalah yang membangunkannya, ia benar-benar rindu mamanya. Dylan menunaikan kewajinannya sebagai Muslim.
Dylan berusaha agar ia tidak menjadi beban di keluarga barunya ini.
Ia membantu mencucikan piring, karena ia pernah melihat Bibi Siti mencuci piring di rumah ia juga menyapu rumah, membuka semua jendela, mengangkatkan air bersih ke dalam rumah untuk memasak.
Dylan merasa sedikit geli setiap bersentuhan dengan air gambut warnanya sepekat air teh, akan tetapi mau bagaimana lagi? begitulah saat ini hukuman yang harus ia jalani.
Dylan dan Lili hanya diam menyelesaikam semua pekerjaan tanpa suara mereka memahami satu dengan yang lain. Namun, mereka sedikit malu-malu ataupun Lili kebayakan bersikap jutek
Mak Upik selalu tersenyum melihat keheningan yang tercipta di antara mereka.
Jam 06.30 WIB keduanya berangkat bekerja dengan berboncengan seperti kemarin, Dylan meneruskan dengan sedikit berjalan kaki menenteng bekalnya.
Dylan menggunakan pakaian rapi walaupun, celana denimnya sobek-sobek namun, semuanya barang-barang branded.
"Pagi Pak!" Sapa Dylan pada Pak Satpam
"Pagi Bang, mau ke mana?" tanya satpam yang kemarin pagi, memperhatikan Dylan.
"Hari ini, saya mulai bekerja Bang." Jawab Dylan sekenanya.
"Bekerja di bagian apa, Bang?" tanya satpam yang masih terus memperhatikan Dylan.
"Bagian penanaman sepertinya, Bang." Jawab Dylan lagi.
Ia juga tidak tahu bagaimana pekerjaan itu.
"Selamat bekerja, Bang!" akhirnya Dylan meninggalkan Pak Satpam
Pukul 07.30 WIB, semua karyawan sesuai dengan divisi pekerjaannya berbaris seperti anak sekolahan. Mereka dengan patuh menjalankan acara baris berbaris, mendengarkan arahan yang diberikan sang mandor.
Setengah jam kemudian, Dylan dan sepuluh orang pria kemungkinan seumuran dengannya mulai menjalankan aktivitas pekerjaannya. Dylan mulai menggali tanah membuat lubang, sesuai dengan ukuran yang sudah ditentukan. Menandai lubang tersebut dengan satu meter tongkat bambu yang sengaja di tancapkan. Dylan menggali lubang selanjutnya begitu seterusnya, ia berjalan dengan memanggul cangkul dan membawa seikat bambu yang sudah di potong semeter sebagai pancang kayu.
Dengan jarak dua meter di samping kanan dan kirinya temannya juga melakukan hal yang sama, hanya saja mereka lebih lincah di bandingkan Dylan.
Dylan tertinggal lima lubang galian, tangannya sudah terasa perih. Ia melihat kedua telapak tangannya yang putih mulus kulitnya sudah lecet namun, Dylan terus menahan perihnya.
Pukul 11.30 WIB, waktunya istirahat. Semua pekerja tertawa dan berlarian menuju kepohon sawit yang lebih tinggi, untuk membuka bekal yang mereka bawa.
Tidak terkecuali Dylan, ada sedikit lega di hatinya ia membuka bekalnya, sebungkus nasi putih, sambal ikan sungai, yang ia sendiri tidak tahu apa namanya tapi sangat enak dan gulai sayur pakis. Mak Upik bilang, "Gulai paku," Dylan tertawa mendengar ucapan Mak Upik tadi pagi, Lili hanya cemberut.
"Mari makan Bang!," ajak Dylan kepada semua orang yang hadir.
"Tidak usah terlalu formal, aku Parmin," jawab pria hitam manis di sebelahnya.
"Ucok namaku Min." Balas Dylan.
"Aku Iwan," jawab iwan sebagai mandor lapangan mereka.
"Aku Ari," jawab pria yang sedikit pendek dari mereka semua, sambil makan mereka berkenalan satu dengan yang lain.
"Cok, sudah berapa anggotamu?" tanya Parmin sambil menghisap rokok kreteknya.
"Maksudnya anggota Min?" Dylan tidak mengerti, "Hahaha ... kelihatan sekali! belum pengalaman itu. Maksud Parmin, anak-anak Cok." Balas Ari sambil membasuh tangannya .
"Ooo ... anak, aku masih lajang." Jawab Dylan.
"Memang berapa umurmu?" tanya Sukardi, "Dua puluh lima lebih begitulah," balas Dylan sambil meminum air langsung dari botol minumnya.
Mereka beristirahat ada yang mencoba tidur, ada yang sholat, ada yang berbincang- bincang.
Dylan mengamati sekelilingnya tanah gambut yang di pijak sedikit bergoyang,
Air yang sewarna teh, panas yang menyengat juga hamparan luas perkebunan.
Dylan melihat kedua belah telapak tangannya yang sudah merah dan perih, ia menautkan kedua tangannya ia merasa malu bila harus mengeluh. Hanya karena luka sedikit, "Aku sudah tidak kuat lagi," batinnya mengeluh. Ia mencoba untuk ngobrol, "Ari ... Mengapa harus di buat parit-parit panjang seperti itu?" Dylan penasaran.
"Oo ... Itu, di sinikan daerah gambut, rawan banjir dan kebakaran. Jadi, di buat parit ... Agar banjir gampang surutnya dan tidak meluap, begitu juga bila ada kebakaran," jawab Ari sambil berbaring di atas bumi.
"Sebenarnya ... Apakah di sini tidak ada air bersih? maksudku, dari mana kalian mendapatkan asupan air bersih?" Dylan malu bertanya pada Lili Ataupun emak.
"Kami menampungnya dari hujan. Makanya ... Di sini, air bersih sedikit langka." Jawab Ari lagi.
"Kamu asli orang medan ya, Cok?" Ari bertanya dan menjawab sendiri.
Dylan tersenyum, sembari menganggukkan kepalanya. Walaupun, separuhnya tidak salah, opungnya dari pihak papanya masih tinggal di Pulau Samosir Danau Toba.
"Marga apa dikau?" Ari memiliki aksen melayu yang sangat kental.
"Munthe" untuk yang ini Dylan benar-benar jujur.
"Cok, baru kali ini dikau bekerjakah?" Ari bertanya ekor matanya melihat lecet di tangan Dylan, Dylan mengepalkan tangannya, menganggukkan kepalanya ada sedikit rasa malu.
"Aku juga seperti itu dulu, kamu rendam saja pakai daun senduduk ini ...." Ari memetik daun tumbuhan liar dan memberikan pada Dylan.
Dylan memasukkannya ke dalam kotak bekalnya, "Terima kasih" jawab Dylan penuh syukur.
Pukul 13.30 WIB, mereka melanjutkan pekerjaannya tangan Dylan bukan hanya perih tapi sudah mengeluarkan sedikit darah dari lecet-lecetnya. Ia meringis menahan sakit ia malu untuk mengeluh,
"Mama ...." hati Dylan terus menyebut mamanya, wanita yang akan segera datang dan mengobati setiap luka di tubuhnya tapi untuk kali ini, wanita itu tidak akan pernah datang, papanya pasti akan melarangnya. Dengan sebuncah emosi yang menumpuk serta perih yang ia rasakan, Dylan menyelesaikan pekerjaannya.
Pukul 16.30 WIB waktunya pulang, semua wajah terlihat bahagia dan sumringah tidak terkecuali Dylan.
Ia memanggul cangkulnya, karena tonggak bambunya sudah habis tertancap pada lubang-lubang yang ia gali.
Sejenak, ia memandang ke belakang, menikmati hasil kerjanya untuk pertama kalinya. Ada rasa puas, "Ternyata ... aku bisa juga!"
Semua pekerja kembali ke kantor untuk sekedar mengisi kembali daftar absen, tidak terkecuali Dylan.
Ia memparaf namanya yang tertulis Ucok Munthe, semua pekerja mengendarai sepeda atau sepeda motor butut. Dylan tidak tahu harus bagaimana ia melangkahkan kakinya?
Ia masih mendengar suara para murid.
"Mungkinkah ... Lili belum pulang dari sekolah?" ada sedikit kebahagiaan di hati Dylan. Paling tidak ia tidak akan terlalu lelah berjalan. Dylan menunggu Lili di gerbang sekolah di bawah pohon jalutung yang sedang berbunga putih wangi, helaiannya hampir mirip dengan bunga endelweis.
Dylan melihat Lili menyalami satu per satu muridnya, Lili menuntun sepeda ontelnya ke luar gerbang sekolah kedua retina mereka saling beradu pandang dan masing-masing menundukkan kepala.
"Sudah lama menunggu, Cok?" tanya Lili dengan wajah datarnya.
"Tidak, aku rasa sekitar dua puluh menit begitulah," jawab Ucok mengambil alih sepeda ontel dari tangan Lili seperti biasa keduanya berboncengan dan saling diam.
"Cok, berhentilah sekejap!" Lili memukul lembut punggung Ucok.
Dylan melihat sekitarnya hanya kebun sayuran, "Apa yang ingin dilakukan gadis ini? Apakah ia ingin memperkosaku? " karena lelah pikiran Dylan semerawut.
"Ayo, bantu aku! Jangan menghayal yang ga, ga ....!" ucap Lili turun dari boncengannya, "Wah! gadis jutek ini, jangan-jangan seorang peramal" batin Dylan. Ia hanya mengikuti Lili memasuki kebun sayur ia melihat Lili memetik sayur-mayur yang ia sama sekali tidak tahu apa namanya, jangankan nama Latinnya nama Indonesianya pun ia tak tahu. Dylan tidak pernah suka makan sayur tapi sejak ia tinggal bersama emak dan Lili, ia memakan apa pun yang dihidangkan, tanpa banyak mengeluh.
"Seperti kambing saja, makan sayur!" kalimat bantahan yang selalu ia lontarkan kepada mamanya.
"Lili ... Apakah si pemilik ladang tidak marah? kita mengambil sayur, cabai dan tomatnya?" Dylan keheranan dan terus mengikuti apa pun yang dilakukan Lili.
"Jika mereka marah ... aku akan memberikan dirimu pada mereka." Lili menjawab sekenanya
"What?? Yang benar saja! Apa kata dunia ...?!" Dylan menghentikan aksinya, memandang wajah Lili Mencari keseriusan di wajah manisnya.
Lili tidak memperdulikan Dylan dan terus memutik cabai, tomat dan sayuran.
"Ayo, cepat lakukan! Jangan berhenti, nanti ketahuan si pemilik." Hardik Lili.
"Ya Allah ... kita mencuri semua ini Lili? yang benar saja!" Dylan menarik tangan Lili. Mereka saling pandang Lili tertawa.
Dylan tertegun melihat tawa indah, keluar dari bibir mungil penuh milik Lili bagaikan lonceng.
"Cok, kamu serius sekali! Tidak mungkinlah ... aku mengajarimu mencuri, ini ladang Mak Upik. Setiap hari Minggu ... kami kemari, menggarab tanah ini." Jawab Lili
Dylan menarik nafas lega dan melepaskan tangannya.
"Syukurlah ... aku kira .... " Dylan melanjutkan pekerjaannya.
"Aku rasa ... sudah cukup. Ayo, kita pulang!" ajak Lili memasukkan sayur-mayur ke plastik kresek.
Dylan hanya mengikut di belakang Lili dan melanjutkan mengayuh sepeda sampai ke rumah.
Mak Upik duduk di teras menganyam tikar. Tersenyum melihat keduanya.
"Kalian singgah ke ladang?" tanya Mak Upik. Lili turun dari boncengan, membawa sayur-mayur dan tas jinjingnya.
Dylan memperhatikan tas yang dipakai Lili, barang branded walaupun tidak terlalu mahal.
"Bagaimana kerjamu, Cok?" tanya Mak Upik, menuangkan secangkir kopi pahit dan mendorong sepiring keladi rebus kepada Dylan. Tanpa mencuci tangannya, Dylan mencomot keladi rebus ia tidak enak hati menolak pemberian wanita bersahaja ini.
"Ini ... enak sekali Mak! Apa nama makanan ini Mak?" Tanya Dylan mengunyah dengan lahapnya.
"Itu ... keladi Cok." Mak Upik memandangi Dylan dengan seribu tanya di hatinya.
"Apakah baru pertama ini ... dikau memakannya?" selidik Mak Upik.
"Iya Mak ... mungkin pernah! Tapi ... mungkin aku lupa, Mak." Dylan berusaha mencari alasan, agar Mak Upik tidak curiga.
"Makanlah, Cok," Mak Upik memberikan semua keladi rebusnya. Memandangi wajah Dylan seperti kelaparan, "Anak ini benar-benar kelaparan .... " batinnya.
Bersambung...
Terima kasih ... buat para pembaca yang sudah sudi, meluangkan waktunya. Author sangat membutuhkan komentar, like dan vote. Untuk penyemangat dan membuat karya lebih baik lagi author.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Auditor
hm gk bisa brkata kata ih 😊
2021-12-17
0
Nm@
"My Brother" hadir, Kak!
2021-11-06
0
Caramelatte
3 like mendarat
2021-09-26
0