Dylan menerima gaji pertamanya, senyum mengembang di sudut bibir. Rasa puas membuncah di relung hatinya. Walaupun gaji yang ia terima, tidaklah besar. Lebih mahal lagi, harga sepatu kets ADIDAS miliknya.
"Alhamduliah .... " ucapnya bersyukur. Dylan melihat semua karyawan menyunggingkan senyum.
"Alhamdulillah! Bisa buat keperluan sebulan dan menabung. Aku ingin membelikan sesuatu untuk istriku." Ucap Ari sumringah.
"Memang istrimu ultah ya?" tanya Dylan kepo.
"Iya ... sebulan yang lalu! Kamu tahu?Selama dia menikah denganku. Aku tidak pernah memberi apa pun! Karena baru kali ini aku punya kerjaan tetap." Ari menerawang mengenang istrinya.
"Ooo, istrimu pasti wanita yang baik ya? Secara ... zaman sekarang? Bukankah wanita kebanyakan matre?" Parmin menimpali.
"Istriku, luar biasa ... walaupun hidup denganku susah. Dia tak pernah mengeluh! Aku berniat akan membelikan cincin kawin … Aku duluan ya" pamit Ari menaiki sepeda ontelnya.
"Beruntungnya nasibmu kawan!" batin Dylan. Ia sendiri masih bingung ingin menggunakan duitnya buat apa.
Di ATM-nya, uang untuk tujuh turunan dan tujuh tanjakan pun tidak akan pernah habis. Sayangnya ... semua itu sudah di cabut oleh papanya.
Seharusnya ia mewarisi semua kekayaan orang tuanya. Tapi apa mau di kata di sinilah ia sekarang.
Ia hanya memandangi isi amplopnya.
"Apa yang akan aku lakukan dengan uang ini?" tanya hatinya.
"Min ... hm, uangmu … Maksudku, kamu gunakan buat apa gajimu?" Dylan benar-benar bingung harus bagaimana?
Uang yang begitu sedikitnya dan ia juga tidak tahu bagaimana caranya, menggunakan uang secara benar.
Karena selama hidupnya, ia selalu mendapatkan apa pun, segalanya sudah tersedia.
Bila ia ingin membeli sesuatu, ia tinggal menggesek ATM-nya. Papanya selalu mengisi semua ATM-nya.
ia sendiri memiliki penghasilan dari game yang ia buat.
Ia tak pernah pusing berpikir harus bagaimana cara memperoleh uang? dan cara mendapatkannya. Ia hanya tahu mempergunakan uang pemberian papanya. Dan uang di ATM-nya tak pernah habis. Seberapa banyak pun ia menggunakanya.
"Papa … maafkan, aku. Baru kusadari betapa besarnya perjuanganmu." Batin Dylan, mengingat wajah papanya.
"Istiku, sedang mengandung anak pertamaku. Buat biaya persalinan, kamu tahukan di sini tidak ada puskesmas? Hanya ada bidan, dan Dukun Beranak. Aku ingin istriku melahirkan, di kampung halamanku saja." Ucap Parmin tersenyum
"Wah, hebat kamu! Udah mau jadi Bapak ya? Selamat ya!." Ucap Dylan tulus.
"Iya, sama-sama! Makanya kamu cepat nyusul. Kamu mau tuh, karatan!." Balas Parmin menunjuk ke bagian tertentu tubuh Dylan.
"Dasar kunyukk … Hahaha" Dylan tertawa.
Akhirnya Dylan memasukkan uang hasil jerih payahnya, ke kantong belakang jeansnya.
Sepanjang perjalanan pulang, ia masih berpikir bagaimana cara menggunakan uangnya.
"Mungkin ... Pertama yang aku lakukan, aku akan memberi Mak Upik uang untuk makan dan kostku. Terus ... Aku akan pergi ke kota membeli hadiah buat Mak Upik dan Lili. Sisanya aku tabung, untuk masa depanku dan membelikan sesuatu buat Mama dan Papa. Karena aku tidak tahu, apakah Papa bersedia memaafkanku? Dan memanggilku kembali pulang." Batin Dylan perih
Dylan melihat Lili mengayuh sepedanya, karena boncengannya kosong Dylan menggonceng dua orang siswa SD yang masih kecil.
Anak-anak tertawa senang mendapat tumpangan. Mereka berlonjak kegirangan saat Dylan menurunkan mereka di depan rumah masing-masing.
"Terima kasih, Om!" Ucap mereka.
"Iya, sama-sama." balas Dylan.
Lili dan Dylan tiba di rumah. Mak Upik menjemur helaian pandan yang sudah di buang durinya, dan direbus.
"Assalamualaikum, Mak." Ucap keduanya.
"Waalaikumsalam." Jawab Mak Upik tersenyum.
"Kalian pasangan serasi." Batin Mak Upik
Seperti biasa Dylan dan Lili mengerjakan semua pekerjaan rumah. Setelah makan malam mereka bertiga duduk di ruang tengah.
"Mak, ini uang makan dan sewa tempat tinggal, Ucok." Dylan memberikan dua puluh lembar uang seratus ribuan.
"Ini sudah cukup, tabunglah! Untuk pernikahanmu kelak atau untuk ... kamu kirim kepada orang tuamu." Jawab Mak Upik, lagi-lagi ia hanya mengambil tiga lembar dan mengembalikan sisanya ke tangan Dylan.
"Andaikan Mak Upik tahu ... Siapa sebenarnya Papaku? " batin Dylan.
"Ucok ... kehadiranmu dan Lili di rumah ini, sudah menambah kebahagiaan emak. Kalian sudah banyak membantu emak, jadi jangan berpikir kalian harus membayarnya." Jawab Mak Upik
Lili memeluk Mak Upik, begitu juga Dylan.
"Terima kasih, Mak!" Jawab keduanya.
"Mak, pernah janji denganku. Ingin menunjukkan foto pernikahan Emak dan Abah." Tuntut Dylan.
"Benarkah?" tanya Lili, selama ini Lili tidak pernah bertanya soal kehidupan Mak Upik.
"Tunggu sebentar!" Mak Upik ke kamarnya dan kembali membawa album tua.
Bersama mereka melihat kenangan Mak Upik. Mak Upik terlihat sangat cantik sewaktu muda, begitu juga Abah sangat tampan dengan pakaian adat Melayu.
Lembar demi lembar foto kenangan mengenai kehidupan Mak Upik, foto bayi anak pertama Mak Upik, foto bayi anak kedua dan foto anak ketiganya.
"Sekarang ... di mana anak-anak, Emak?" tanya Lili. Dylan memandang heran kepada Lili.
"Bukankah ... salah satu dari anak-anak Emak, adalah orang tua kamu?!" tanya Dylan.
"Bukan ... Lili sama seperti kamu! Dia perantau juga. Anak-anak emak ... Semuanya meninggal, karena penyakit malaria. Dulu sulit mencari obatnya. Apa lagi rumah sakit tidak ada di sini." Jawab Mak Upik.
"Ooo .... " hanya kata itu yang terucap dari keduanya. Dan langsung memeluk Mak Upik
"Anggaplah, kami anak-anak Emak." Jawab keduanya.
"Siapakah sebenarnya, Lili?" batin Dylan bertanya.
Malam berganti pagi Dylan dan Lili sudah berjanji ingin ke kota.
Sudah berulang kali Lili mengganti bajunya. Namun, selalu saja tidak pernah cocok menurutnya.
"Yang ini terlalu ... terbuka, yang ini terlalu ... cerah, yang ini ... aduuuhh, mengapa begitu sulit sih? Seperti mau kencan saja." ucap Lili.
" Apaa ... Kencan?!" Lili terkejut dengan pikirannya sendiri.
Akhirnya, ia memilih celana panjang jeans, kemeja dengan lengan tiga per empat, dan sepatu kets. Melingkarkan jam tangan di lengan kirinya dan menyelempangkan tasnya.
"Begini saja!" Batin Lili. Ia menjalin rambutnya dan menggulungnya indah.
"Rambut ini sudah terlalu panjang, di kota nanti. Aku akan memotongnya." Ucap Lili.
"Apa yang akan engkau potong?" Dylan muncul diambang pintu.
"Aw ...." pekik Lili terkejut. Memegang dadanya, gulungan rambutnya terlepas.
"Kamu kebiasaan, tidak pernah mengetuk pintu, Cok!" Lili membesarkan kedua belah matanya.
Dylan mundur ke belakang dan mengetuk pintu.
Tok tok tok!
Lili hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat tingkah Dylan.
"Apa yang mau kamu potong?" Dylan tidak sabar ingin mengetahuinya.
"Rambutku!" Jawab Lili kembali menggulung rambutnya.
"Jangan, aku suka rambut panjangmu!" tiba-tiba bayangan di pantai mengusik hati Dylan, ada denyut nakal di jantungnya.
"Ayo, berangkat!" Ajak Dylan. Ia merasa sedikit kacau, Lili ke luar kamar. Saat Dylan ingin menutup pintu, ia melihat dompet Lili tertinggal, secepatnya ia mengambil dompet Lili, Ingin ia berikan.
Namun hatinya tergoda untuk melihat KTP Lili. Secepat kilat Dylan membaca nama yang tertera.
"Cut Lili Hairani. Lahir: 23-12-1996. Bukankah hari ini .... ?" batin dylan
Dylan menghampiri Lili, "Nih, ketinggalan." Ucap Dylan.
"Ooo ... terima kasih, aku terburu-buru tadi." Balas Lili menyimpan dompetnya ke dalam tas selempangnya segera, naik di boncengan Dylan.
"Apa yang akan kuberikan padanya? Aku tidak tahu apa yang Lili suka" baru pertama kali di dalam hidup Dylan, ia merasa bingung ingin memberikan apa kepada seseorang.
Mereka menyusuri jalanan yang berdebu, genangan air di sepanjang jalan. Hampir empat jam perjalanan yang mereka tempuh akhirnya, sampailah di sebuah kota kecil.
Kota Pasir Panjang adalah kota kecamatan terletak di pinggir pantai. Berbagai jenis toko tersedia, menjual berbagai jenis pakaian, makanan, mainan dan sangat ramai. Pusat dari beberapa dusun kecil. Suara riuhnya pedagang, pembeli, anak-anak juga suara bus-bus mini, sepeda motor membuat suasana menjadi hidup. "Mengapa aku tidak membawa hand phone-ku? Aku bisa mengisi daya baterainya di warung nasi atau ... di mana pun. Aku bisa memghubungi Mama!" Sesal batin Dylan.
Lili memukul pundak Dylan, "Berhenti, Cok." Dylan menghentikan sepeda motor tua Abah, di kios perlengkapan sekolah.
"Kamu berkelilinglah, beli yang kamu mau! Mungkin ... aku agak lama. Nanti jemput aku disini lagi!" Ujar Lili.
Dylan hanya menganggukkan kepalanya. Ia melajukan sepeda motor berputar mencari kado yang tepat untuk Lili dan Mak Upik.
Hingga ekor matanya melihat toko roti, Dylan memarkirkan sepeda motornya, memilih roti tart dan pilihannya jatuh pada kue tart yang sedikit besar. Dylan membeli Blackforest membungkusnya, agar Lili tidak mengetahuinya.
Ia meninggalkan toko roti dan kembali berputar, ia melihat toko pakaian tradisonal Dylan membelikan baju kurung kesukaan Mak Upik.
Ia berputar kembali, di sini tidak ada toko penjual Bunga, seperti di kota- kota besar.
Ia hanya melihat seorang anak membawa sepelukan bunga Lili Putih.
"Dik, tunggu!" Dylan menghampiri anak perempuan berusia tujuh tahun
"Ada apa, Bang?" Jawabnya
"Untuk siapa bunga itu?" tanya Dylan.
"Tidak ada, hanya untuk bermain." Jawab si anak memandang lili segarnya.
"Boleh nggak, kalau abang beli?" tanya Dylan
"Ambil saja, nih .... " anak kecil itu memberikan sepuluh tangkai bunga lili.
Dylan memberikan uang lima puluhan si anak berlari kegirangan, mencium duit pemberian Dylan.
Ia mengawasi si anak sambil tersenyum.
Dylan membungkus rapi dengan koran.
Hari mulai gelap, Dylan menjemput Lili di toko perlengkapan sekolah.
Lili sudah berdiri di emperan toko, menanti Dylan dengan tangan kanan memegang plastik kresek berwarna hitam.
"Nah ... Buatmu!." Dylan memberikan bunga lili kepada Lili, ia hanya terperanjat menatap lili segar di tangannya.
"Dari mana kamu dapat bunga ini Cok?" tanya Lili memeluk bunga yang senama denganya.
"Dari seorang anak kecil, melihat bunga itu ... aku teringat padamu." ucap Dylan.
Mereka menyusuri jalan kembali pulang, di tengah perjalanan hujan deras dan sepeda motor mogok akibat banjir.
Mereka berjalan kaki, sambil mendorong sepeda motor. Mereka berhenti di sebuah pos ronda. Banjir menghalangi kendaraan lewat, belum lagi angin kencang yang sudah merobohkan beberapa pohon besar di jalan.
"Cok, sebaiknya kita berteduh dulu, sepertinya ... itu sebuah rumah." Pinta Lili.
Dylan mengikuti saran Lili.
Tok tok tok!
"Permisi, Ibu ... Bapak permisi! " Berulang-ulang Dylan dan Lili mengetuk pintu. Namun tidak ada sahutan ataupun cahaya lampu.
Mereka terus mengetuk pintu rumah, "Sepertinya kosong?" ucapDylan, memandang ke arah Lili.
"Bagaimana ini? Apakah kita pulang saja? " tanya Dylan.
"Kita berteduh saja dulu. Lihatlah ... Hujan dan anginnya menyeramkan." Balas Lili. Mereka berteduh di teras.
Krriuuuukkk ... Suara perut Lili!
"Akh, bodohnya aku jadi pria! Kenapa tadi aku tidak membawanya makan dulu, baru pulang" batin Dylan merutuki kebodohannya. Karena baru kali ini Dylan membawa seorang wanita selain ibunya.
"Apa yang harus aku lakukan? Oooh ... kue!" Dylan meraih bungkusan dan membukanya.
"Selamat ulang tahun, Lili! Maaf ... Aku pikir ... ini sebagai kejutan, bila kita sampai di rumah. Merayakannya bersama Emak." Ucap Dylan merasa bersalah.
"Ucok .... " air mata meluncur dari kedua belah matanya.
"Terima kasih, dari mana kamu tahu?" tanya Lili memotong kue, menyuapinya kepada Dylan dan memakan sepotong untuknya.
"Dari KTP-mu kalau tadi dompetmu tidak tertinggal dan terbuka ... Mungkin aku tidak tahu." Dylan malu mengakuinya, bila ia sengaja mengintip.
"Tidak, apa-apa!" Perasaan Lili mengharu biru antara senang dan sedih.
Ia teringat kepada kedua orang tuanya dan Defri. Sudah hampir empat tahun, ia melewati hari lahirnya tanpa ada yang mengucapkan atau merayakan.
"Ucok ... kamu pria pertama setelah Mami, Papi dan Defri. Kamu terlalu baik Cok" getar hangat merayap di hati Lili.
Mereka memakan kue hingga habis karena lapar.
Dylan melihat Lili menggigil, ia bingung harus bagaimana?
"Lili ... Kemarilah, aku tahu kamu kedinginan. Percayalah padaku!" Dylan menarik tangan Lili mengusap- usapnya berulang-ulang.
"Aku pernah melihatnya di Tv seperti ini." Batin Dylan.
Lili hanya diam ia percaya Ucok tidak akan menyakitinya dan akhirnya Lili tertidur di pangkuan Dylan, Karena lelah akhirnya Dylan pun tertidur.
Bersambung...
Terima kasih buat pembaca yang sudah sudi, meluangkan waktunya. Author sangat membutuhkan komentar, like dan vote. Untuk penyemangat dan membuat karya lebih baik lagi author.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
delissaa
next
2021-09-13
0
Reina
semangat kak.
Reina baca kak bukan sekedar like
2021-08-21
0
🔵◡̈⃝︎☀MENTARY⃟🌻
Kk udh Ry like 13
2021-08-17
0