Dylan merebahkan tubuhnya di pembaringan, luka di tangannya sudah berubah menjadi gelembung-gelembung mengandung air. Suara ketukan membuat dirinya tersentak. Dylan bangkit menuju pintu membuka sedikit celah.
Bila di rumahnya sendiri ia akan marah pada si pengganggu, karena sudah mengganggu tidurnya tapi tidak di sini Dylan harus sadar diri.
"Ayo makan!" hanya dua kata terucap dari mulut Lili yang seksi.
Dylan hanya mengikutinya mereka
bertiga duduk di atas tikar pandan, menyantap makan malam dengan tenang. Selesai makan Mak Upik melanjutkan anyaman tikarnya, Lili memeriksa buku-buku pelajaran muridnya, Dylan duduk merenung menatap gelapnya malam.
Sepi ... sangat sepi jauh dari peradapan.
Tidak ada suara hingar- bingarnya kendaraan, tidak ada suara ponsel, tidak ada suara televisi.
Yang ada hanya suara sahutan jangkrik,
suara-suara burung malam yang mendayu-dayu menambah angkernya suasana. Dylan teringat film-film horror Suzana, ia menatap pekatnya pohon-pohon tinggi yang menyeramkan. Ia mulai berhalusinasi, "Akh, seram sekali sih! Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. Bayangin saja aku tidak bisa memakai gadget atau menonton tv, lama-lama aku bisa mati di sini," batin Dylan berbicara.
Tiba-tiba sebuah tawa melengking menggema, seluruh tubuh Dylan merinding, "Apa kubilang, teman si Bokir sudah datangg! Mama ... matilah aku!" batin Dylan. Ia melesat masuk ke rumah, tanpa sengaja menabrak Lili hingga keduanya jatuh terduduk.
"Aduhhh, kamu! kalau jalan pakai mata dong!?" Lili memegang keningnya yang mulai benjol.
"Maaf Li, suara tawa itu ... menyeramkan sekali!" ucap Dylan ia juga mengusap jidatnya, "Mengapa si jutek tidak takut? Jangan-jangan ... dia ini temannya si kunkun kali" Dylan tidak habis pikir mengapa orang-orang tidak takut.
"Kamu tahu itu suara apa? Itu suara hantu perempuan, ia melihat seorang pemuda di depan rumah. Makanya ia memanggilmu" Lili Menakuti Dylan dengan suara sedikit horor.
"Iihh, sialan nih anak!" batin Dylan, bulu kuduknya sedikit meremang.
"Yang benar saja! Kamu jangan membual, mana ada juga hantu zaman sekarang? Ngaco kamu!" Dylan berdiri berpura-pura berani, ia mengulurkan tangan kanannya kepada Lili.
"Ga usah! Aku bisa bangun sendiri." Jawab Lili ketus seperti biasa.
Lili melangkah menuruni tangga, mengeluarkan sepeda ontelnya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Dylan keheranan.
"Mau ngejar ... kuntilanak yang nakutin kamu. Kamu mau ikut?" Jawab Lili sekenanya tetap dengan mode suara horor.
"Ga, akh! Kamu saja." Dylan melihat Lili mengayuh sepedanya.
"Ini anak seriusan perginya, ntar kenapa-kenapa gimana? Hadeh buat susah aja! " batin Dylan tidak tenang.
"Woi ....!" Dylan setengah berlari menuruni tangga, mengejar Lili.
Lili menghentikan kayuhannya.
"Ada apa? Kamu mau ikutan? Ntar kamu ketakutan lagi? pakai acara pingsan aku yang repot tahu!" omel Lili. Ingin rasanya Dylan membungkam bibir mungilnya dengan sebuah ci*uman, "What .... ?? Yang benar saja! Amit ... Amit" batinnya mulai omes.
Dylan hanya diam mengambil alih mengayuh sepeda, dengan bermodalkan sebuah senter sebagai cahaya penerangan.
"Memang, kamu mau ke mana sih? Malam-malam begini lagi?" tanya Dylan penasaran.
"Kamu kepo banget sih?." Jawab Lili.
Kening Dylan mengerut kata-kata kepo membuat Dylan rindu akan kehidupan beradapnya, bukan berarti di dusun ini tidak beradap, malah lebih-lebih menjunjung tinggi adat dan agamanya hanya saja Dylan rindu celoteh teman-teman sekampusnya.
"Stop, stop!" Lili selalu saja memukul-mukul punggung Dylan, bila sudah sampai ketujuannya.
Mereka berhenti di sebuah warung, Dylan melihat Lili membeli anti nyamuk, salep obat dan sesuatu seperti pembalut wanita. Dylan merogoh sakunya, ia lupa membawa dompet. Untung saja ada terselip di kantong celana belakangnya uang seratus ribu.
"Bu, tambah mie instannya tiga bungkus!" Dylan memberikan uangnya.
"Bedain saja hitungnya, Bu." Ujar Lili.
"Maaf, Bu Guru tidak ada uang pecah." Jawab si penjual.
"Hitung semua saja, Bu!" Dylan malas ribut-ribut. Akhirnya mereka pulang.
"Cok, aku hutang berapa uangmu?" tanya Lili di boncengan.
"Tidak ada!" balas Dylan, karena ia tidak pernah menghitungnya bila ia ingin membelikan sesuatu apa lagi kepada Lili.
"Tidak boleh begitu! Hutang tetap hutang, dodol!." Lili menjawab sesukanya.
"Kalau kamu mau membayarnya, cukup masak saja ketiga mie instan itu. Buat kita bertiga, setuju?" Dylan memberikan solusi. Lili berpikir sejenak, "Baiklah" ucap Lili.
Sesampainya di rumah, Lili memasak mie instan ketiganya tertawa bersenda gurau memakannya, Dylan mulai sedikit terhibur.
"Mak .... " Tanya Dylan memperhatikan anyaman tikar Mak Upik
"Ada apa, Cok?" Mak upik menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari anyamannya.
"Sudah berapa lama Emak tinggal di sini?" tanya Dylan memperhatikan seraut wajah Mak Upik.
"Seumur hidup emak kenapa, Cok?" Mak Upik terus menganyam tikarnya.
"Emak, tidak pernah berniat untuk pindahkah?" kembali Dylan bertanya karena ia merasa heran ada orang betah tinggal di tempat Jin buang soft*ks
"Tidak, emak asli penduduk sini, begitu juga dengan almarhum suami emak. Emak sangat mencintai tempat yang penuh kenangan bersama Abah." Mak Upik menghentikan anyamannya. Memilin-milin daun sirih dengan berbagai campuran, melipatnya dan memasukkan ke mulutnya.
Mak Upik wanita renta yang masih sehat bugar umurnya mungkin sekitar 70-an lebih, seorang janda yang ditinggal mati suami dan ketiga orang anaknya.
Para penduduk setempat sangat mengenal Mak Upik, karena sifat dermawannya. Mak Upik menolong siapa pun yang membutuhkan pertolongannya.
"Abah ... Asli orang sini juga, Mak?" Dylan mulai kepo.
"Iya ... Abah pria yang sangat tampan, baik juga penyayang." Mak Upik tersenyum memperlihatkan giginya yang masih utuh. Walaupun cairan merah di sudut-sudut bibirnya.
"Apakah kamu belum pernah jatuh cinta, Cok?" tanya Mak Upik menatap retina Dylan. Ia tersipu malu, Ia hanya menggelengkan kepalanya.
"Kelak ... bila engkau jatuh cinta pada seorang wanita. Engkau akan mencintai segala kekurangan maupun kelebihannya, begitu juga dengan semua hal yang ditinggalkanya. Walaupun ... Dia sudah tiada lagi." Ucap Mak Upik.
Dylan hanya tercenung dia tidak tahu harus menjawab apa, karena ia hanya terkenal badung yang belum pernah jatuh cinta. Ia hanya mencintai satu wanita yaitu mamanya tapi dengan lawan jenis ia belum tahu bagaimana rasanya.
"Apa kamu tidak betah di sini, Cok?" Tanya Mak Upik lagi.
"Aku tidak tahu, Mak. Rasanya aku ingin kabur saja! Tapi, ya ... Begitulah Mak." Jawab Dylan ia masih ragu untuk berterus terang yang sebenarnya.
"Kampung ini, kampung keramat ... ditinggalkan teringat, ditinggali melarat hehehe .... " Mak Upik tertawa, membuang ludahnya ke dalam bambu yang sengaja dibuat. Mak Upik melanjutkan anyaman tikarnya. Dylan sudah melihat tumpukan anyaman tikar yang sudah jadi, tapi ia malu untuk bertanya buat apa semua tikar itu?.
"Berikan, tanganmu !" pinta Lili tiba- tiba,
Dylan hanya memandang Mengerutkan keningnya. Lili dengan beraninya menarik tangan Dylan, membuka telapak tangannya yang penuh luka, mengoleskan sejenis salep.
Terasa dingin..
Rasa perih dan panas diakibatkan luka-luka itu pun segera menghilang.
Lili terus mengoles luka di kedua telapak tangan Dylan.
Dengan diam-diam, Dylan memperhatikan wajah Lili yang sempurna.
Matanya bulat sedikit sipit di ujungnya, bola mata yang bening, hidung kecil yang mancung mencuat, bibir tebal yang mungil, dagu yang berbelah dan lesung pipi yang menambah manis senyumnya
Dylan melukis wajah Lili di dalam hatinya.
Walaupun Lili termasuk kategori pendek hanya sedada Dylan, tapi tidak mengurangi kecantikan dan kesempurnaanya sebagai wanita.
"Ini, kamu simpan saja! Kalau terluka lagi, obatin sendiri." Ujar Lili wajahnya sedikit merona.
"Terima kasih." Dylan menggenggam salep pemberian Lili.
Ia melihat Lili memasuki kamarnya, begitu juga dengan Mak Upik. Dylan mengunci pintu depan, ia juga merebahkan diri di pembaringannya.
Ia berusaha memejamkan matanya, akan tetapi rasanya sekujur tubuhnya seperti dipukuli, "Aku lelah sekali ... Beginilah rasanya bekerja. Ya Allah ... Kuatkanlah hamba-Mu ini" batinnya.
Dylan membolak-balikkan tubuhnya, berusaha memejamkam retinanya.
Ia mencoba menikmati suara sedih suara burung hantu yang menyayat hati.
Akhirnya Dylan pun tertidur.
Di dalam mimpinya, ia melihat mamanya memeluknya dengan erat, menciumi seluruh wajahnya.
"Sabarlah, Nak! Sabarlah putraku yang baik nan tampan." Ucap mamanya menghilang.
Berganti dengan wajah seorang wanita yang memukul-mukul tubuhnya.
Tok tok tok!
Suara ketukan keras di pintu kamar membangunkan tidur Dylan, ia bangkit membuka sedikit celah di pintunya.
"Sudah siang! Bangunlah, sholat subuh dulu nanti kamu terlambat!" suara datar Lili memerintah Dylan seperti seorang Komandan Tentara. Dylan mematuhi semua perintah Lili.
Kemudian ia mengerjakan sebagian pekerjaan di rumah itu seperti biasanya. Setelah sarapan keduanya berpamitan untuk bekerja, seperti semalam Dylan melanjutkan perjalanannya sesampainya Lili di sekolah.
Pekerjaan yang mereka lakukan juga tetap sama. Saat Dylan dan teman sekelompoknya bekerja, sebuah truk pengangkut bibit sawit memasuki areal penanaman. Akan tetapi mengalami kerusakan.
Berulang kali si supir menyalakan, akan tetapi truk tetap tidak bisa menyala. Dylan merasa kasihan melihat Pak Supir.
Hingga ia berinisiatif ingin menolong.
"Ada apa Pak?" tanya Dylan
"Tidak tahu ini ... apa yang salah." Jawab si supir dengan menyeka keringat yang mulai membanjiri keningnya.
"Boleh saya lihat sebentar, Pak?" pinta Dylan.
"Silakan .... !" Jawab si supir, memilih duduk.
Dylan mulai mengotak-atik truk, hingga akhirnya truk itu jalan.
"Hebat sekali kau anak muda! Siapa namamu?." Tanya si supir
"Ucok, Pak." Jawab Dylan
"Akh, panggil saja aku Bambang. Terima kasih, ya." Ucap Bambang.
"Sama-sama." Jawab Dylan.
"Hebat kau Cok! kenapa kau tidak melamar jadi supir saja?" Tanya Parmin
"Kalau aku jadi supir aku tidak bisa ngobrol dengan kalian." Jawab Dylan
"Akh, betul juga dikau, Cok." Jawab Ari.
Mereka kembali menggali lubang-lubang di tanah dan menancapkan tonggak bambu, Karena dua hari lagi akan diadakan penanaman.
Dylan mulai terbiasa bercanda dengan kelompoknya, berbagi bekal makanan.
Ada yang menawarinya rokok tapi Dylan menolaknya karena ia memang tidak perokok juga berbagi minuman.
Hatinya sedikit terhibur melupakan
sedikit rasa rindunya kepada mamanya,
hanya saja bila malam datang, ia akan kembali merasa sepi. Seperti katak di dalam tempurung.
Bersambung...
Terima kasih buat pembaca yang sudah sudi, meluangkan waktunya. Author sangat membutuhkan komentar, like dan vote. Untuk penyemangat dan membuat karya lebih baik lagi author.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
𝔸𝕝𝕖𝕖𝕟𝕒 𝕄𝕒𝕣𝕊
semangat
2021-09-12
0
delissaa
like fav dan 🌷 udah mendarat cantik Thor semangat ya salam dari BROK3N
2021-08-31
1
RN
like sini kk
2021-08-11
2