"Terima kasih sudah mau mengantar saya ke halte, Asisten Lie." Nindy membungkukkan tubuhnya setelah keluar dari mobil.
Lelaki itu tersenyum menanggapi. "Jangan sungkan, Nona. Setelah ini Anda akan menjadi majikan saya." Nindy terkekeh mendengar kata majikan yang disematkan kepadanya.
Apakah benar setelah ini dia akan menjadi seorang majikan? Ah, mendengarnya saja terasa menggelikan.
Asisten Lie segera berlalu setelah mengucapkan permohonan izin kepada Nindy bersamaan mobil yang melesat kembali ke jalanan.
Nindy menunggu bus jemputan karyawan dengan menyandarkan punggungnya di tiang penyangga. Wajahnya kali ini nampak cerah, sangat berbeda dengan yang biasa ia tunjukkan setiap berangkat bekerja, kusut dan lesu.
Pekerjaan yang menumpuk ketika pagi, tiba-tiba beres dengan sendirinya. Entah dari mana pelayan-pelayan itu berdatangan, mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan sangat cekatan tanpa harus dibimbing. Seolah mereka memang sudah terlatih melakukan semua itu, hingga ketika Nindy terbangun semuanya sudah selesai dengan sangat memuaskan.
"Kau sudah bangun? Ayo sarapanlah!" Lelaki itu bahkan menawarkan Nindy sarapan pagi.
Di atas meja makan sudah tertata sandwich dengan berbagai isian di dalamnya. Telur rebus, lettuce, sosis sapi, daging fillet, bawang bombay, ketimun ditambah dengan saus cabe, mustard dan mayonnaise.
Nindy nampak mengerutkan dahi. Dia melangkah mendekat ke arah Yang Pou Han. Mengulurkan tangan, Nindy menyentuh kening lelaki itu dengan heran. "Apakah kau sedang sakit?"
Tidak biasanya lelaki itu bersikap manis, apalagi mempersiapkan sarapan pagi untuknya. Nindy sudah terbiasa dengan teriakan Yang Pou Han meminta dan menyuruh ini itu kepada Nindy. Namun, pagi ini semua terasa berbeda. Dengan senyuman manis, dia menawarkan Nindy sarapan pagi.
Ada yang tidak beres di sini.
"Aku baik-baik saja. Sekarang sarapanlah, setelah itu bersiap berangkat bekerja!"
Nindy semakin curiga. Sikap manis yang aneh dan tidak biasa membuat gadis itu menjadi terheran. Dia menggeleng kemudian, "Jangan bersikap manis. Kau terlihat menggelikan."
Perkataan Nindy ditanggapi dengan kekehan oleh Yang Pou Han.
Memang sulit menghadapi gadis itu. Baik salah, jahat juga salah.
Dia memilih duduk di seberang. Memindahkan sandwich lezat itu ke atas piringnya. Menusuk dengan garpu, memotong sedikit dengan pisau, lalu menyuapkan ke dalam mulut. Heemm, enaaak.
"Pulang dari The MOG, asisten Lie menjemputmu. Kau tidak perlu menunggu bus karyawan. Oh ya, aku sudah memberikan izin kerja separuh waktu. Jadi, asisten Lie menjemputmu sekitar setengah dua siang. Kau berkemaslah sebelum dia datang." Yang terus saja berceloteh tanpa jeda.
"Apa? Mengapa?" tanya Nindy setelah berhasil menelan makanannya masuk ke dalam tenggorokan.
"Fitting baju pengantin. Aku tidak ingin mempelaiku terlihat jelek nantinya. Meskipun kita tidak menikah karena cinta, tetapi tetap saja ini menyangkut harga diriku. Kau harus mempersiapkan dirimu dengan baik," ucapnya seraya menyapukan sapu tangan di bibir. "Meskipun aku yakin, apa pun yang kau kenakan, hasilnya tetap sama." Dia melanjutkan.
Nindy mendengkus, mengambil potongan sandwich itu dengan tangan, lalu melahapnya dengan mulut terbuka lebar. "Dasar, pandai sekali membuat hati terpuruk!"
Yang Pou Han melihat itu hanya tersenyum sembari menyandarkan punggungnya di kursi. "Tidak perlu membuatku kesal. Tanpa makan dengan serampangan, kau sudah jelek. Jadi jangan membuat dirimu semakin jelek."
Nindy hanya mampu memutar bola mata. Baru saja lelaki itu bersikap manis, dan hanya dalam waktu beberapa menit, sifat aslinya sudah keluar dengan sendirinya.
"Ya, setidaknya orang jelek ini mampu menjadi istrimu. Bukankah orang jelek ini sangat hebat?" ucap Nindy dengan mengedipkan sebelah matanya.
Lelaki itu menggelengkan kepala. "Bukan hebat. Kau hanya beruntung."
"Apa? Beruntung? Kau terlalu tinggi untuk menilai diri sendiri, Yang."
Dia menaikkan sebelah alisnya, menopang dagu dengan kedua tangan yang disatukan. "Levelku memang tinggi. Semua orang tahu itu," ucap Yang Pou Han menyombongkan diri.
"Yeaah, aku tahu itu." Wajah Nindy terlihat lesu, "Setidaknya mengalahlah pada wanita jika sedang berdebat," imbuh Nindy kemudian.
"Baiklah, aku akan sedikit mengalah kepadamu jika kita sudah resmi menjadi suami istri."
Nindy sempat menghentikan makannya lantaran jawaban yang terlontar dari mulut Yang Pou Han. Jawaban sederhana, tetapi bisa membuat hatinya menghangat.
Lamunan Nindy berakhir ketika suara klakson bus karyawan terdengar nyaring di telinga. Dia mengerjapkan kelopak matanya dua kali, mengurangi rasa terkejut oleh suara klakson yang nyaring itu.
Nindy segera menaiki bus karyawan sesaat setelah pintu bus terbuka. Seperti kebiasaannya, Nindy memilih tempat duduk yang dekat dengan kaca jendela, lalu merobohkan tubuhnya untuk duduk dengan nyaman di sana.
Ada yang berbeda nampaknya, tetapi Nindy tak menggubris. Pandangan mata semua penumpang hampir mengarah kepada Nindy. Tatapan aneh, kesal bercampur cemburu menjadi satu, tetapi Nindy seolah abai dengan sikap permusuhan yang ditunjukkan teman-temannya. Gadis itu memilih memejamkan mata sembari mendengarkan lagu dari earpiece yang ia putar dari ponselnya.
*********
"Jadi kamu yang bernama Nindy?" Wanita berambut wavy dengan warna caramel itu nampak bersedekap dada sembari memandang Nindy dengan tatapan sinis.
Dia mengenakan tank top berleher lebar, dipadukan dengan celana jeans belel merk ternama. Rambut wavy-nya dibiarkan terurai dengan sedikit berkilauan di bawah terik matahari.
Gadis itu mengangguk ramah. Menjadi petugas di tempat wisata harus selalu menampilkan senyum ramah kepada pengunjung, bukan? Apa pun jenis pengunjungnya, ada yang baik, ketus ataupun menyebalkan Nindy harus siap dan tetap tersenyum ramah.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Nindy menepikan ember berisi ikan-ikan kecil segar yang akan digunakan sebagai pakan hewan air agar tidak menghalangi si nona cantik di depannya.
"Ouuwweh, kau bau!" ucap wanita itu dengan mengibaskan tangannya di depan hidung.
Nindy hanya bisa tersenyum seraya meminta maaf. Sangat wajar seorang wanita cantik tidak tahan bau amis ikan. Jika dilihat dari penampilan yang super glamor, Nindy menduga jika wanita itu adalah dari kalangan elite.
"Apakah Nona ada perlu dengan saya?"
Wanita itu mengangguk, tetapi enggan menatap wajah Nindy. "Ikut aku! Aku ingin bicara denganmu."
"Dengan saya. Emm, masalah apa, ya? Apakah kita saling mengenal? Saya sedang bekerja, Nona. Tidak mungkin saya meninggalkan pekerjaan saya hanya untuk berbicara masalah pribadi di tempat lain. Nona bisa mengatakannya di sini. Saya akan mendengarkannya."
Nampak dia mendengkus, "Baiklah, jika itu yang kau mau. Aku juga tidak ingin berbasa-basi lagi dengan perempuan sepertimu." Menghela napas panjang, wanita cantik itu melanjutkan perkataannya. "Aku ingin kau meninggalkan Yang Pou Han. Pergi dari kehidupannya dan jangan pernah menunjukkan batang hidungmu lagi di depannya!" ucapnya dengan bersedekap dada.
Bukannya kesal, Nindy justru bersikap tenang. "Ooh, masalah itu. Itu tidak mungkin, Nona. Saya tidak berani melakukannya. Atau mungkin Nona bisa membantu saya untuk meminta tuan Yang melepaskan saya. Saya akan sangat berterima kasih sekali nantinya."
Mungkin itu kesempatan bagi Nindy untuk lepas dari lelaki itu. Dia masih memiliki perjanjian tertulis selama satu bulan, tidak mungkin dia berani pergi begitu saja dengan mengabaikan kewajibannya yang satu bulan itu.
"Berani sekali kau menyuruhku!" bentak wanita itu dengan mata melotot.
Nindy sempat terkejut, tetapi ketika bibirnya ingin mengucap permintamaafan, wanita cantik itu angkat bicara. "Apa menurutmu kau layak menjadi seorang istri pengusaha seperti Yang Pou Han. Lihat dirimu! Bercerminlah! Apa dirumahmu tidak ada cermin? Oh, aku lupa, kau tidak memiliki rumah." Nadanya terdengar mencemooh, tetapi Nindy masih sabar meladeninya.
"Sudahlah, Nona. Tidak baik berteriak di sini. Jangan membuat keributan!" Nindy merasa tidak enak dengan banyaknya pengunjung yang mulai memperhatikan pembicaraan mereka.
"Aku hanya ingin kau sadar, perempuan miskin tidak tahu diri." Dia berteriak lantang, merebut perhatian semua orang yang sedang melewatinya. "Kau pikir aku tidak tahu siapa kau sebenarnya?"
Dia mendekat ke arah Nindy, menunjukkan senyuman mengejek yang kentara di wajahnya. "Jika Yang Pou Han tahu bagaimana asal-usulmu, dia tidak akan sudi hanya untuk melihatmu."
Tanpa terasa, Nindy menjatuhkan ember yang berisi ikan-ikan kecil itu. Dia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Apa yang kau ketahui tentangku, Nona. Siapa kau? Bukankah kita tidak saling mengenal?"
Dia tersenyum miring, menunjukkan tatapan mengejek ke arah Nindy. "Sangat mudah menemukan riwayat seorang parasit sepertimu. Kau menjebak Yang Pou Han agar dia menidurimu, 'kan? Pasti ibumu yang sudah mengajarimu menjadi jal@ng seperti itu.
PLAAK
Nindy tak kuasa mendengar sebutan buruk yang dilemparkan untuk ibunya. Meskipun Nindy tahu bagaimana kelamnya dunia sang ibu, tetap saja wanita itu adalah pahlawan bagi Nindy.
"Berani sekali kau menamparku!" Dengan sekali tebas wanita itu membalas tamparan di pipi Nindy dengan sekuat tenaga, hingga tangannya terasa kebas, dan panas.
Gadis itu membungkuk, mengusap pipinya yang terasa perih, panas dan sakit. Hingga darah segar terasa asin di lidahnya, menandakan tamparan wanita itu telah berhasil merobek sudut bibir Nindy.
"Kau tidak bisa menutupi identitasmu, Wanita murahan. Kau bahkan tidak tahu siapa ayahmu, 'kan? Cih, jangankan dirimu, ibumu saja tidak tahu siapa ayahmu karena terlalu banyak lelaki yang sudah menidurinya."
"Cukup!" Mata Nindy mulai berembun, merasakan sesak di dada.
Selama ini dia menutup rapat luka yang menganga itu dengan sekuat tenaga. Berharap kebahagiaan akan datang menghampiri tanpa memandang siapa dirinya.
Namun, luka tetaplah sebuah luka. Dia tergores terlalu dalam hingga bekas itu tak bisa untuk ditutupi atau disembunyikan. Hingga ketika seseorang telah menorehkan benda tajam kepada luka yang sama, membuat luka lama itu semakin terlihat buruk dan mengerikan.
"Kau pikir Yang Pou Han akan menerima gadis seorang anak pel@cur untuk menjadi istrinya? Jangan bermimpi terlalu tinggi. Dia akan membuangmu jika dia mengetahui kebenaran tentangmu."
Nindy mencengkram ujung bajunya dengan kuat. Semua mata menatap rendah ke arahnya. Tatapan hina dan mencemooh yang ditujukan kepadanya membuat gadis itu tak sanggup untuk sekedar menegakkan kepala.
Dengan menahan tangis, Nindy mendorong kasar tubuh wanita itu hingga terjerembab ke tanah.
"Dasar wanita sialan!" umpat wanita itu merasakan sakit di pantatnya karena pendaratan yang tidak sempurna.
Nindy tak peduli, dia berlari setelahnya. Puluhan orang menggerutu dan memaki kesal karena Nindy menerobos kerumanan massa yang telah menonton kejadian itu dengan seksama.
Dia berlari dan terus berlari, mengabaikan tatapan tajam semua orang yang ditujukan kepadanya.
"Nindy!"
Sayup-sayup ia mendengar suara orang memanggilnya, mungkin karena ia lari di saat sedang bekerja, tetapi ia sudah tidak peduli lagi.
Hatinya terluka. Dia tidak sanggup menatap semua orang kembali. Dia merasa hina dan tidak berharga.
Siapa yang meminta terlahir dari rahim seorang pel@cur? Tidak ada. Dia tidak bisa memilih di rahim siapa dia akan dilahirkan. Apakah itu salahnya?
Apakah dia tidak berhak mendapatkan penghormatan layaknya wanita pada umumnya karena dia tidak tahu siapa ayah kandungnya?
Siapa yang bisa ia tanyai? Ibunya sudah meninggal ketika dia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Dan dia dititipkan di panti asuhan setelahnya.
Hingga Nindy menyelesaikan pendidikan menengah atas, dia melarikan diri ke negara ini untuk bekerja melalui yayasan penyalur tenaga kerja.
Bukan karena dia ingin mendapatkan banyak uang. Bukan! Nindy hanya ingin menghilang dari stigma negatif orang-orang tentangnya. Ingin menghilangkan pandangan buruk tentang asal-usulnya yang nampak seperti sebuah aib bagi semua orang yang tinggal berdekatan dengannya.
Asal-usulnya memang tidak jelas. Nindy tahu dan sadar akan hal itu, tetapi apakah itu kesalahannya?
Selama ini dia sudah menjaga diri agar tidak sampai terjerumus ke lubang nista seperti ibunya. Namun, apa yang sudah ia dapatkan?
Nindy tetaplah anak dari seorang pel@cur. Kendati dirinya berusaha menjadi anak yang baik, tetap saja status anak dari seorang pel@cur itu akan selalu tersemat dalam dirinya.
Dia masih berlari tak tentu arah, hingga tanpa terasa ia sudah berada terlalu jauh dari area "The Miracle Ocean Garden".
Nindy menghentikan langkahnya, menekuk kaki dan bersimpuh. Telapak tangannya terbuka, lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya itu.
Dia menangis, menumpahkan segala kesedihan yang selama ini dipendamnya. Dia sudah berusaha kuat, tersenyum dan ceria di setiap keadaan. Namun, terkadang rasa lelah dan putus asa datang menghampiri jiwanya yang rapuh.
Dia menekuk kedua kakinya ke depan, memeluk lututnya sendiri seraya membenamkan wajahnya di antara tubuh dan lutut yang ditekuk itu.
"Kau pikir Yang Pou Han akan menerima gadis seorang anak pel@cur untuk menjadi istrinya? Jangan bermimpi terlalu tinggi. Dia akan membuangmu jika dia mengetahui kebenaran tentangmu."
Suara wanita itu terngiang kembali di telinganya. Nindy menutup telinga dengan kedua telapak tangannya, tetapi suara itu masih terus saja berdengung, terdengar berulang-ulang seolah sedang menerornya.
Dia kembali menangis, tak kuasa menahan hinaan yang bertubi-tubi itu. Dia hanyalah manusia biasa. Dia hanya mencoba kuat kendati hatinya rapuh. Hanya menenggelamkan wajah di antara lutut dan tubuhnya saja yang saat ini bisa Nindy lakukan.
Terlalu lama dia dalam posisi seperti itu, membuat Nindy tak menyadari seseorang telah berdiri di depannya.
Hingga suara itu memanggilnya, menyadarkan Nindy dari lamunan dan kesedihannya.
"Hai, bangun! Ayo, pulang!"
Dia menengadah, mengenal suara siapa yang sedang memanggilnya. Suara yang selama ini sangat ia benci dan ia kutuk keberadaannya. Namun, untuk saat ini, Nindy merindukan suara yang tengah memanggilnya itu.
"Yang!" ucapnya dengan suara serak bercampur tangis.
Nindy mengusap bulir bening yang masih lolos di pelupuk mata, dia mengangguk kemudian.
********
"Aauuh! Jangan kasar-kasar, Yang!" Gadis itu nampak kesakitan ketika Yang Pou Han mengoleskan krim di sudut bibirnya yang robek.
"Diamlah! Jika tidak, kurobek lebih lebar lagi!"
Nindy terdiam, ancaman maut itu berhasil membuat gadis itu menurut. Sedikit dia meringis ketika kapas itu mengenai bibirnya yang terluka.
Secara naluri, Yang Pou Han meniup bibir yang terluka itu untuk sekedar menghilangkan rasa perih yang dirasakan Nindy. Hingga ketika hawa sejuk dirasakannya, Nindy menoleh.
Mereka terdiam sejenak, terpaku dengan posisi mereka yang ternyata begitu dekat. Dan mungkin, jika Nindy tak segera menghentikan pergerakan kepalanya ketika menoleh, bibir mereka akan bersentuhan.
Mata Nindy mengerjap kemudian, meraup kesadarannya agar segera kembaki ke permukaan. Dia menunduk, menghindarkan tatapan lelaki di sampingnya itu.
"Terima kasih, Yang." Hanya itu yang keluar dari bibir Nindy tanpa berani menatap Yang Pou Han.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Sunarty Narty
mulut danisha tu yg d robek
2022-10-24
1
Qiza Khumaeroh
ciihhh nenek lampirrr jgan sok tau sndri pst Yang pou han udh tau lah
2022-04-21
0
Zalva LP
yang....yang.....ssssaaaayyyyaaaannnggg🤣
2022-01-01
1