Dan sampailah waktu menunggu telah usai. Nindy melihat Sean dan Salwa sudah beranjak dari meja makan. Gadis itu juga turut berdiri, menghampiri sepasang suami istri itu.
Mungkin ini adalah kesempatan langka bisa makan seatap dengan seorang Sean Paderson. Hal itu membuat pikiran Nindy bekerja untuk sedikit mengambil keuntungan.
Ya, memiliki kenalan orang yang berpengaruh, tidak ada salahnya meminta sedikit pertolongan. Terkesan tidak tahu diuntung memang, tetapi Nindy sangat membutuhkan itu demi kelangsungan hidupnya.
Tepat pada saat Sean ingin memutar badan, di mana ia hendak mengajak Salwa pergi, Nindy dengan segala keberaniannya menahan lelaki itu. "Tuan, apakah saya boleh meminta satu bantuan?
Salwa menoleh, sedikit terkejut Nindy ingin meminta bantuan kepada Sean. Kendati sebelumnya ia sudah menawarkan bantuan, tetapi dengan tegas Nindy menolaknya.
Sean dengan wajah dingin yang sama menatap gadis itu. Wajah datar dan kaku yang ditampilkan Sean berhasil membuat Nindy kesusahan untuk mengatakan kalimat selanjutnya. Namun, dia harus melakukannya karena ia yakin untuk saat ini, hanya Seanlah yang mampu membantunya.
"Tuan mengenal Yang Pou Han, 'kan? Saya ingin sekali mengubah kesepakatan yang sudah dia buat tanpa persetujuan dari saya. Saya ingin kesepakatan yang adil dan tidak selalu merugikan saya. Apakah Tuan bisa membantu saya untuk meminta tuan Yang mengubah kesepakatan itu?"
Salwa dan Sean saling melempar pandang, nampak bingung dengan perkataan yang terlontar dari mulut Nindy. Sejenak mereka terdiam, hingga pada akhirnya Salwa ikut bersuara. "Kau mengenal Yang Pou Han?"
Menghirup napas sekali, Nindy kemudian mengangguk. "Iya, tolong bantu saya!"
**********
Di dalam ruangan itu terdapat empat orang yang duduk dalam diam. Tiada seorang pun yang memulai percakapan untuk sekedar mengusir kesunyian.
Yang Pou Han bersedekap dada dengan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, melirik ke arah si raja pengumbar kemesraan di mana pun tanpa jeda.
Siapa lagi jika bukan Sean dan Salwa. Dua orang itu duduk di sofa panjang, dengan saling berdekatan. Tangannya nampak tak lepas menggenggam jemari sang istri dengan tangan yang lain merangkul bahu wanita itu.
Seperti sedang melindungi sang istri dari predator lain yang sedang berada dalam satu ruangan dengannya. Sementara yang dihimpit, nampak tak mempermasalahkan perilaku suaminya yang berlebihan itu. Dia hanya tersenyum sembari meletakkan kepalanya dengan nyaman di dada lelaki itu.
Sungguh membuat kesal.
Apa kabar dengan Nindy?
Gadis itu hanya menunduk, dengan sesekali meremat jemarinya yang saling terpaut. Menyusun kata demi kata yang akan ia ucapkan kepada si tuan pemarah.
Ini kesempatannya untuk tidak ditindas terus. Dia memiliki seseorang yang menjamin keselamatannya ketika berhadapan dengan si tuan pemarah. Salwa, dia berjanji membantu Nindy untuk berbicara dengan Yang Pou Han tanpa harus menerima hukuman yang tidak masuk akal lagi.
"Saya ingin mengubah perjanjian itu. Saya tidak mau bekerja dua bulan penuh tanpa gaji. Itu sangat merugikan saya." Akhirnya Nindy berhasil membuka suara.
"Jadi kalian datang kemari hanya untuk membahas hal itu?" Yang nampak mendengkus sesaat setelah mengatakannya.
Sean menoleh, tanpa melepas tangannya dari jemari Salwa. "Jika bukan permintaan istriku, aku juga tidak akan mau datang ke tempatmu. Lebih baik waktu berhargaku kugunakan untuk hal lain yang lebih menyenangkan. Jadi, segera selesaikan urusan kalian!" tukas Sean yang nampak sudah tidak sabar lagi.
"Tolonglah Nindy. Jangan terlalu keras kepadanya, Yang!" Salwa juga ikut menimpali dengan menunjukkan wajah memohon kepada Yang Pou Han.
Yang menatap wanita itu. Sudah lama sekali dia tidak mendengar suaranya, tetapi saat tatapan Yang baru saja mengarah kepada Salwa, Sean segera menghardiknya. "Jangan bicara kepadanya! Dia bisa kesenangan jika kau ajak bicara."
Salwa merasa tidak enak, hingga ia tersenyum dengan menyipitkan matanya. Namun, dalam sekejab dia segera menghilangkan senyum yang hampir terbentuk itu. "Jangan tersenyum!"
"Iya, Mas. Tahu."
Yang Pou Han langsung berdecih, melihat sikap kekanak-kanakan Sean itu. Mengalihkan pandangan ke arah Nindy, bibir Yang membuka suara. "Kalian berdua pulang saja. Biar aku bicara empat mata dengannya."
Seketika mata Nindy membulat, nampak terkesiap dengan apa yang diucapkan oleh Yang Pou Han. "Tidak! Biarkan mereka di sini. Jika tidak, kau pasti hanya akan menambah hukumanku dan tidak mau membebaskanku," ucap Nindy, menunjukkan penolakan terhadap ide Yang Pou Han.
Yang menaikkan kakinya sebelah, dengan kaki kanan di bawah menopang kaki satunya. Sembari bersedekap, menatap Nindy dengan tajam. "Kau ingin aku menceritakan tindakan bodohmu itu di depan mereka?"
"A ... ku ...." Nindy nampak menghela napas, menatap Sean, Salwa dan juga Yang Pou Han secara bergantian. Kendati ingin menolak, tetapi dia juga tidak ingin Salwa dan Sean mengetahui tindakannya yang sudah menyusup dan berjualan makanan secara ilegal di tempat wisata itu. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengalah. "Baiklah, tetapi aku ingin semuanya adil dan tidak hanya menguntungkanmu saja."
"Aku selalu berbuat adil. Aku tidak pernah merugikan siapa pun. Kecuali, jika dia memang patut untuk dirugikan." Yang berkata dengan menunjukkan tatapan yang tak bisa didefinisikan.
Nindy menelan ludah, membayangkan akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, dia sudah mengantongi nomor Salwa. Setidaknya dengan berbekal itu, Nindy merasa sedikit lebih aman dari hukuman tidak masuk akal yang biasa diberikan Yang Pou Han kepadanya.
"Baguslah. Jika kalian bisa menyelesaikan masalah kalian sendiri. Jadi aku tidak perlu lama-lama berada di sini." Sean beranjak dari duduknya, mengajak Salwa untuk segera pergi dari kediaman Yang Pou Han.
Bersamaan dengan itu, Salwa menatap Sean dengan penuh kekhawatiran. Bagaimanapun Salwa sangat mengenal Yang Pou Han. Dia pernah tinggal bersama lelaki itu. Dia takut jika Nindy mengalami nasib yang tidak baik ketika ditinggal berdua bersama lelaki itu.
Tatapan penuh isyarat itu terbaca oleh Sean. Dia mengangguk, mengusapkan tangan ke kepala Salwa. Sejenak mereka saling memandang, lalu tanpa menoleh Sean berkata, "Jangan kau apa-apakan gadis itu. Jika ada sesuatu yang kau lakukan kepadanya, maka kau akan berhadapan denganku." Perkataan Sean terdengar penuh penekanan dan sarat akan ancaman.
Yang terkekeh, menaikkan sebelah alisnya sembari tersenyum miring. "Dia bukan tipeku. Aku sama sekali tidak tertarik dengan wanita seperti dia."
"Apa pun itu. Aku hanya tidak ingin Salwa terlalu mencemaskan wanita ini." Tepat setelah mengucapkan itu, Sean mengajak Salwa pergi.
Dan tinggallah dua orang berbeda kasta itu. Nindy menunduk, gugup. Antara bingung harus memulai dari mana, juga tatapan mengintimidasi Yang Pou Han yang ditujukan kepadanya.
"Jadi kau mengenal Salwa?"
"I-ya, kami berteman," jawab Nindy dengan sedikit terbata.
"Cukup menarik. Kau bisa berteman dengan wanita sepertinya. Seharusnya kau banyak belajar darinya, bagaimana menjadi wanita yang memiliki daya tarik kuat, bukan hanya meminta belas kasihan kepadanya supaya dia membantumu."
Nindy mencengkram ujung pakaiannya, tersinggung dengan kalimat yang terucap dari bibir Yang Pou Han. Mengapa lelaki kaya yang ia temui semua bermulut pedas? Suka menghina dan merendahkan kaum yang lebih lemah.
"Aku cukup bangga dengan apa yang sudah ada pada diriku. Aku tidak perlu berubah menjadi orang lain. Kau tidak perlu mencampuri apa yang harus dan akan aku pelajari, Tuan Yang." Tampak menahan geram Nindy mengucapkannya. Berusaha sesabar mungkin agar masalah yang dia hadapi segera selesai.
Lelaki itu terdiam, kemudian mengangguk. Sebuah seringai licik muncul di bibirnya. Begitu samar hingga nyaris tak terlihat.
"Kau diusir dari kontrakan, bukan?" tanya Yang kemudian, "Tidak memiliki uang, kelaparan dan hampir pustus asa atau lebih tepatnya menyerah dengan kematian. Mengapa hidupmu begitu mengenaskan?" imbuhnya dengan jari telunjuk mengusap dagu.
Nindy membeliak. Bagaimana Yang Pou Han mengetahui apa yang terjadi pada dirinya? Apakah wajahnya nampak begitu menyedihkan, hingga rentetan kejadian pahit dalam hidupnya terlukis dengan jelas hanya dengan melihat wajah.
Tanpa terasa Nindy mengusap wajahnya sendiri, memastikan dia tidak seburuk itu.
Ketika gadis itu ingin menjawab dan menyangkal perkataan Yang Pou Han, suara seseorang yang baru datang membuatnya mengurungkan niat untuk mengutarakan.
Nampaklah asisten Lie Am datang dengan membawa beberapa berkas di tangan. Masih mengenakan pakaian formal seperti biasa, hanya saja meninggalkan jas yang biasa membalut kemeja putihnya.
Dia mengangguk hormat ke arah Yang Pou Han, mengambil posisi berdiri di samping sofa tempat duduk Yang lalu menyerahkan berkas penting kepada atasannya itu.
Yang menerimanya, membaca sekilas dengan beberapa kali membolak-balikkan halaman per halaman, hingga senyum terbit di kedua sudut bibirnya.
Gerakan tangannya begitu cepat ketika menyodorkan berkas itu dengan sedikit membanting di atas meja tepat di depan Nindy. "Baca!"
Ragu Nindy mengambilnya, tetapi rasa penasaran dengan isi dari map berwarna hijau tua itu menggelitik jiwa keingintahuannya.
Perlahan ia raih map itu, membukanya dengan hati-hati seolah ada sesuatu mengerikan yang berada di dalamnya.
Wajah Nindy berubah pasi, ketika halaman per halaman dia buka secara bergantian. Mulutnya ternganga dengan ekspresi terkejut yang tak bisa disembunyikan.
Dia menatap Yang dengan kesal, bercampur rasa geram juga benci. Apa maksud semua ini?
"Apakah kau ingin tahu, bagaimana aku bisa mendapatkan foto-foto itu?" tanyanya dengan menunjukkan wajah menyebalkan.
"Tidak, itu tidak perlu. Apa maumu!"
Kembali kekehan keluar dari bibirnya. Menambah kesan menyebalkan di mata Nindy.
"Aku akan memberimu tempat tinggal, makan dan pekerjaan. Namun, tidak dengan gaji. Anggap saja itu sebagai pengganti biaya hidupmu menumpang dan makan secara gratis."
Tangan Nindy terkepal, menatap tajam ke arah Yang Pou Han, tetapi lelaki itu sama sekali tidak terpengaruh.
"Kau bisa bekerja di The MOG selama satu bulan penuh sebagai hukuman, dan tinggal di sini serta makan di sini secara gratis. Sebagai gantinya, kau harus mengerjakan tugas sebagai asisten rumah tangga."
Terdengar helaan napas berat dari hidung Nindy, mendengar satu kekonyolan yang telah dibuat Yang Pou Han tanpa menunggu persetujuan darinya. "Jika aku tidak mau?"
"Maka semua yang ada di dalam arsip yang kau bawa, akan segera berada di kantor polisi." Seringai itu muncul lagi, dan terlihat penuh kemenangan.
"Kau sangat licik, Yang. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan lelaki licik sepertimu." Tepat setelah itu Nindy melemparkan berkas yang berada di map itu hingga tercecerlah lembaran demi lembaran yang sebelumnya tertata rapi di dalamnya.
Dan lembaran yang ditunjukkan Yang Pou Han kepada Nindy itu adalah foto-foto Nindy ketika ia menyelinap di berbagai tempat rekreasi tanpa membayar tiket sembari berjualan makanan ringan secara ilegal, yang tentunya sangat melanggar hukum.
》Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Sunarty Narty
aduh yang d tunggu gimana nanti kamu bucin ky Sean🤭🤭🤭🤭
2022-10-24
1
Qiza Khumaeroh
Yang kena karma tau rasa lo
2022-04-20
0
Rd Kurniasari
apes nasib mu nak
2022-04-15
0