"Fan, kayaknya kamu harus ke Jakarta kali ini deh. Buat ngajarin sepupu kamu terlebih dahulu, minimal seminggu aja deh!" saran Raka.
Fania menimbang-nimbang ucapan Raka yang akhirnya ia setujui. Tidak ada salahnya untuk mengajari sepupunya tentang bisnis. Walaupun melalui didikan Raka, itu tidak cukup. Terlebih sepupunya baru terjun dalam dunia bisnis.
Fania hanya ingin kembali untuk mengurus perusahaannya. Bukan untuk mengingat tentang masa lalunya yang begitu ingin ia kubur dalam-dalam. Fania sendiri sudah enggan dengan Reza yang pernah menghancurkan perasaannya begitu saja. Kini, setidaknya ia memiliki Raka yang akan melindunginya.
"Tenang aja kalau soal urusan, Reza. Aku akan jagain kamu sama calon bayi kamu, Fan,"
"Ih apaan sih. Aku juga percaya kalau kamu jagain aku, iya kan?"
"Iya, aku akan bayar hutang aku sama Fandi. By the way, jadi kapan berangkatnya, hmm perutnya udah tambah besar ya?"
"Iya, Ka. Aku nggak sabar pengin dia lahir."
"Kalau dia lahir, aku bakalan ada di sisi kamu, Fan. Aku janji bakalan jagain,"
Fania tertegun dengan ucapan Raka. Ia juga percaya bahwa Raka akan selalu di sisinya. Meski mereka adalah sepasang mantan kekasih. Tetapi Raka tidak pernah melanggar janjinya seperti yang dikatakan oleh Reza dulu. Kini, ia akan berusaha untuk tetap menjaga calon bayinya tanpa bantuan dari mantan suaminya. Meski Reza merupakan ayah dari bayi yang ia kandung. Akan tetapi meskipun begitu, Fania telah berjanji pada dirinya tidak akan pernah memberitahukan siapa ayah dari bayinya tersebut dan akan berusaha untuk membesarkan anaknya sendirian kelak. Memerankan dua peran sekaligus meski itu sangatlah sulit untuk dilakukan.
"Ya sudah, ayo buruan berangkat."
"Berangkat ke mana?"
"Jakarta!"
"Aku belum siap-siap,"
"Masih ada waktu dua jam lagi, aku sudah pesan tiketnya. Karena aku yakin bahwa kamu nggak bakalan nolak itu, Fan,"
"Terus?"
"Siapin barang yang bakalan kamu bawa sekarang!"
Fania membelalakan matanya seketika saat Raka sudah menyiapkan itu semua. Ia segera masuk ke dalam kamarnya untuk menyiapkan barang bawaannya. Baru saja Fania memasukkan beberapa pakaian, Raka menyingkirkan dirinya dan diambil alih oleh Raka.
"Duduk saja, nggak usah capek-capek. Biar aku saja yang selesaikan ini semua, ngomong-ngomong kamu keluarin dari lemari apa aja yang bakalan kamu bawa!"
"Ka, nggak usah!"
Fania merasa malu karena ia hendak memasukkan beberapa pakaian dalamnya. Tetapi Raka sangat nekat untuk membantunya memasukkan barang ke dalam koper.
"Ka!"
"Hmmm?"
"Bisa nggak kalau itu aku masukin sendiri?"
"Itu apa?"
"Itu tuh!" Fania menunjuk ke arah belakang Raka. Pria itu langsung menyingkir setelah melihat pakaian dalam Fania terpampang di belakangnya.
"Sorry, Fan!"
"Nggak apa-apa,"
Fania langsung memasukkan barangnya. Sementara itu Raka menunggu di depan pintu. Ia sangat bersyukur bahwa Raka selalu mengunjunginya setiap seminggu sekali. Meski itu terbilang berlebihan. Tetapi pria itu sangat tidak suka jika Fania mulai protes.
"Ayo!" ajak Fania.
"Hmm, itu Fan. Boleh?"
"Apanya?"
Raka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Fania tersenyum melihat tingkah pria yang kini berada di depan matanya yang terlihat seperti sedang salah tingkah. "Pegang perut?"
Fania mengangguk dan langsung meraih tangan Raka dan mengarahkannya ke perutnya. Pria itu tersenyum dan mengelus perutnya berkali-kali. Sungguh, Fania merasa itu sangat menyedihkan, tatkala hal itu yang harusnya ia dapatkan dari Reza. Justru ia dapatkan dari pria lain.
"Baik-baik di dalam ya dek. Mama nggak boleh sedih, ohya di sini bakalan ada Om yang selalu jagain kamu,"
"Ka!"
"Hmm?"
"Terima kasih ya!"
"Sudahlah. Ngomong-ngomong nanti kita USG ya, kan sudah lima bulan. Pengin aja gitu lihatnya kayak gimana,"
"Raka, kamu yang orang lain aja begitu peduli. Sedangkan dia memiliki Papa kandung, tetapi nggak peduli sama kehadiran dia,"
"Sssst, Mama nggak boleh ngomong gitu. Adek nggak boleh sedih, di sini bakalan ada Om yang selalu sama dia. Selalu jagain Mama. Dan juga di sini Om akan selalu ada, kapan pun Mama butuh,"
Fania terharu sehingga air matany terjatuh tanpa ia sadari. "Kenapa nangis?"
"Nggak apa-apa. Cuman terharu aja sih, ohya kamu nggak niat nikah gitu?"
"Fan, bisa kan nggak usah bahas yang begituan? Kalau bisa ya, sama kamu aja deh,"
Fania terdiam.
"Kenapa diam?"
"Aku kan sudah tolak kamu, belum lagi waktu itu aku sudah sakitin perasaan kamu, Ka,"
"Fania, kamu itu nggak tahu apa-apa. Jadi jangan pernah kamu itu ngerasa bahwa nyakitin aku, nggak pernah ya ada dendam di hati aku walaupun waktu itu aku serius mau jalanin ini semua sama kamu.bahkan aku deketin kamu waktu itu juga bukan niat main-main. Ya walaupun di kantor aku terbilang pria brengsek waktu itu. Tapi kalau soal hubungan sama kamu, aku itu serius banget,"
"Maafin aku ya!"
"Boleh kan?"
"Boleh apa?"
"Jadi Papa untuk anak kamu,"
"Ka. Bukannya ini terlalu cepat?"
"Kita tunggu lahir, seenggaknya dia nggak kesepian nanti,"
"Memangnya kamu terima?"
"Apa alasan aku nggak nerima dia? Apa alasan aku nggak bisa buat kamu bahagia? Dan apakah dalam mencintai harus disertakan dengan seribu alasan? Nggak cukup satu saja alasannya? Yaitu kamu, apa itu nggak bisa yakinin kamu?"
"Tapi ini terlalu cepat, Ka,"
"Aku bisa nunggu," Fania menatap Raka. Tidak ada kebohongan di mata itu. Selama ini Raka selalu membantunya begitu banyak hal. Sedangkan Reza, ia masih belum bisa untuk membuka hati kembali dengan siapa pun. Mengingat bawa Reza pernah menyakiti hatinya begitu dalam sehingga ia sulit untuk menerima hati yang baru untuk singgah mengisi hatinya lagi.
"Kalau aku belum bisa?"
"Aku yang bakalan cintai kamu, Fan. Cepat atau lambat, aku yakin kamu juga akan mencintai aku, sama kayak aku yang selalu cintai kamu. Terlebih saat Fandi udah nggak ada. Ngomong-ngomong kamu selama hamil nggak pernah kunjungi dia?"
Fania menunduk dan mengangguk. "Raka, jujur aku hargai semua usaha kamu. Usaha kamu buat selalu ada dan nemenin aku, bahkan kamu begitu baik sama aku. Cuman aku nggak bisa buat nerima kamu, karena bukan berarti aku nggak hargai kamu. Tetapi jauh dalam hati aku, aku nggak bisa terus seperti ini, belum lagi aku masih sangat menutup hati buat siapapun. Nggak mau hal itu terulang lagi. Terlebih aku harus berjuang buat anak aku,"
"Aku ada. Oke kita akan cari rumah atau aku akan cari apartemen di Jakarta khusus buat kamu. Yang di mana Reza nggak bakalan nemuin kamu. Nggak bakal tahu kalau dia punya anak dari kamu. Terlebih, aku nggak bakalan ngasih tahu perihal ini,"
Fania mengelus perutnya. "Raka, ini nggak keterlaluan kan? Aku nggak jahat misahin dia dari Papanya nanti?"
"Kamu nggak salah. Lebih baik memang nggak kenal. Dibandingkan kenal tetapi ia hanya akan menerima kepahitan dan dendam kelak sama Papanya mengingat bahwa Mamanya di sakitin gini,"
"Hmmm, thanks Ka."
"Ayo berangkat!"
***
Fania menghirup napas sepuasnya setelah tiba di bandara Soekarno-Hatta. Ia merasa lega dan sangat rindu dengan suasana kota Jakarta. Tetapi ia lebih rindu lagi suasana yang tidak terlalu ramai ketika berada di Lombok. Lalu lintas yang berlalu lalang begitu tenang tak pernah ada kemacetan separah Jakarta.
"Ayo!"
Fania menoleh ke sampingnya. Yang di mana Raka telah menunggunya dan berdiri di samping taksi. Fania berjalan dengan sangat hati-hati untuk mendekati Raka yang sedang membantu sopir memasukkan barang-barangnya.
Mereka terus berbincang selama di perjalanan. Fania yang sesekali di buat tertawa dengan tingkah konyol Raka yang selama ini tidak pernah ia lihat. Raka yang dari dulu memang selalu romantis, kini pria itu tetap sama menjadi pria yang romantis.
Setibanya di apartemen Raka. Mereka berdua begitu kikuk karena hanya mereka berdua yang berada di apartemen itu. Meski begitu, Fania juga merasakan suasana yang sangat berbeda.
"Raka, kan kita mau ke dokter. Kamu mau lihat dia kan?"
Akhirnya Fania memberanikan diri membuka suara dengan cara mengajak Raka ke dokter untuk melakukan USG.
"Nggak istirahat dulu?"
"Nggak deh,"
"Fan, jangan khawatir ya. Aku cuman mau kamu baik-baik aja di sini. Karena aku nggak mau kamu ketemu lagi sama Reza,"
"Iya, aku ngerti, Ka."
Fania mengangguk paham dengan apa yang di katakan oleh Raka. Justru pria itu yang lebih khawatir perihal kandungannya. Meski memiliki rumah sendiri, benar apa yang dikatakan oleh Raka, bahwa ia harus berada di sisi Raka.
Di dalam perjalanan Fania menatap ke arah luar jendela sambil mengelus perutnya yang membuncit. Ada suatu kekhawatiran tersendiri saat ia nantinya melahirkan. Sedangkan ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi orang terdekatnya seperti orang tua dan juga saudara. Hanya ada saudara sepupu. Namun tentu rasanya sangat berbeda dibandingkan seperti biasanya. Air matanya menetes begitu saja. Saat itu tangan kanannya digenggam erat oleh Raka. "Jangan khawatirkan apa pun. Aku ada buat kamu, Fan. Kamu takut nggak ada yang nemenin kamu ngelahirin kan? Ada aku, jangan pernah kamu merasa sendirian lagi, jangan pernah merasa bahwa kamu nggak punya siapa-siapa."
Fania menatap pria yang tengah berada disampingnya dan melepaskan genggaman Raka. "Fokus nyetir, Ka!"
Fania menyandarkan kepalanya. Ia merasa rindu kepada orang tuanya. Terlebih kepada Fandi. "Kangen, Fandi,"
"Iya, aku ngerti. Doain aja, ngomong-ngomong setelah ke dokter, kita ke makam dia, mau?"
Fania mengangguk.
Hingga tiba di depan rumah sakit. Fania masih sibuk dengan lamunannya sendiri. Hingga akhirnya ia tersadar setelah Raka melambaikan tangan di depan matanya.
"Ayo masuk!"
Fania turun dari mobil dan berjalan pelan menuju rumah sakit. Ia melakukan itu juga untuk pertama kalinya. Semenjak perceraiannya, ia lebih fokus untuk mengurus usaha barunya. Hingga untuk ke rumah sakit sekadar USG saja ia tidak sempat.
Mereka telah mendaftarkan diri. Hingga nomor antrean yang begitu banyak, Fania mendapat nomor terakhir.
Saat masuk ke ruang dokter. Ia mulai di baringkan di atas brankar dan mulai melakukan USG. Fania sungguh terharu melihat perkembangan calon bayinya dan begitupun dengan Raka yang tak lepas menggenggam tangannya.
"Jenis kelaminnya, perempuan ya, Pak, Bu!"
Fania merasa sangat terharu. Ia tidak menyangka bisa mengandung seorang bayi. Meski mengandung seorang diri, tetapi bagaimanapun caranya ia akan tetap membesarkan bayinya sendirian. Meski tidak ada Reza.
Seusai memeriksakan kandungan. Fania izin untuk pergi ke toilet rumah sakit. Walaupun Raka meminta izin untuk mengantarkan, tetapi Fania menolak dan akhirnya pergi sendirian ke sana.
Matanya sangat sakit melihat pemandangan sepasang suami istri baru yang berada di depan matanya. Mata mereka bertemu, dan itu Fania langsung menarik sweater yang ia gunakan untuk menutupi perutnya. "Oh jadi gini kelakuan kamu di luar? Kamu aku ceraikan sekarang justru hamil?"
Fania tak menghiraukan apa yang dikatakan oleh Reza. Justru ia tetap melewati suami istri tersebut yang baru saja ingin kembali dari toilet.
"Aku nggak seburuk seperti yang kamu lakukan. Kamu begitu bangganya menghamili perempuan lain di luar pernikahan. Apa itu yang buat kamu merasa sangat baik, Za?"
Fania merasa hatinya terasa nyeri. "Apa yang kamu mau katakan lagi, Za? Ayo katakan!"
"Nggak ada. Cuman nggak habis pikir aku tuh ya. Kamu pasti selingkuh sama Raka? Kamu hamil anak dia? Iya kan? Apa bedanya aku sama kamu, hah? Kamu juga hamil anak pria lain, aku juga nggak salah dong, dan Nesya ini istri aku,"
"Aku sama kamu beda, Za. Anak aku itu suci, nggak hadir dari luar pernikahan,"
"Jadi kamu mau bilang dia anak haram?"
"Bukan anaknya yang haram. Tapi kelakuan orang tuanya yang bejat. Nggak ada anak yang haram, Za. Yang ada itu adalah orang tua bejat, nggak ada anak yang mau terlahir seperti itu, nggak ada anak yang mau lahir dari orang tua yang bejat,"
"Hah," Reza mengangkat tangan kanannya hendak memukul. Tetapi ditahan oleh Fania. Keadaan toilet yang sangat sepi, hanya ada mereka bertiga di sana.
"Kita sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi, Za. Jaga sikap kamu!"
Fania yang berhasil menahan tangan Reza hanya tersenyum miris. Namun saat itu juga Reza mengempaskan tangannya begitu kencang hingga Fania jatuh tersungkur ke lantai. Tak beberapa lama kemudian darah keluar dari daerah kewanitaannya. Kedua orang tersebut langsung pergi begitu saja. Sementara itu Fania meringis kesakitan di sana dan berusaha mencari pertolongan.
Fania yang merasa sangat tidak lagi menahan rasa sakitnya perlahan penglihatannya kabur. Saat hendak menutup mata, ia mendengar namanya dipanggil berkali-kali dan ia sangat kenal dengan pemilik suara itu. Hingga akhirnya ia tak sadarkan diri.
****
Suara alat medis dan bau obat-obatan yang sangat menyengat membuat Fania tersadar setelah beberapa lama pingsan. Di sampingnya masih ada Raka yang begitu setia menemaninya. Perlahan ia membuka matanya untuk mencari kesadaran. Meski penglihatannya samar-samar. Ia memaksakan diri demi memastikan bahwa calon buah hatinya baik-baik saja.
"Raka, pe-perut aku?" Fania begitu panik saat merasakan perutnya yang begitu datar. Sementara itu Raka terus menggenggam tangannya.
"Raka jawab!" teriak Fania.
Raka memejamkan matanya dan berusaha menenangkan Fania. Tetapi perempuan itu justru histeris, "Dia sudah nggak ada. Kamu keguguran saat jatuh di toilet, kamu kenapa bisa jatuh di lorong toilet?"
"Reza, pelakunya Reza. Tadi aku ketemu dia di sana, dia hampir tampar aku, terus aku tahan, terus dia buat aku jatuh, terus lagi darah keluar saat perut aku sakit, terus—"
"Sudah," Tubuh Fania di dekap erat oleh Raka. "Biar aku yang selesaikan ini semua, istirahat, Fania maaf seharusnya aku bisa jagain kamu dengan baik. Harusnya aku antar kamu walau sekadar ke toilet,"
"Raka, kenapa semuanya terjadi seperti ini? Fandi, Mama, Papa. Mas Reza pergi, dan sekarang dia, harus meninggal di tangan Papanya sendiri, kenapa harus aku yang nerima semua ini, Ka? Kenapa? Kenapa nggak dia aja yang sekali saja ngerasain derita seperti ini? Kenapa harus aku?" Fania memeluk Raka begitu erat, ia sangat merasa sakit saat mendengar kabar kehilangan buah hatinya yang ingin ia jaga. Satu-satunya yang akan menjadi penyemangat hidupnya kelak, justru anak itu tiada sebelum lahir ke dunia.
"Tuhan punya rencana lain di balik semua ini. Barangkali dia memang nggak mau hidup karena melihat tingkah Papanya yang seperti itu, Fania aku tahu kamu merasa sangat terpukul, kamu mau lihat dia?"
Fania justru mengeratkan pelukannya dan air matanya terus keluar membasahi kemeja yang dikenakan oleh Raka. "Kenapa kehilangan selalu saja menimpaku, Raka?" Fania mengeluh dan menangis terisak. Siapa yang tidak sakit, saat anak yang ia harapkan justru pergi begitu saja. Beberapa waktu yang lalu ia hanya melihatnya di layar monitor, kini bayi itu sudah tidak ada di dalam rahimnya. Ia terus memegangi perutnya sambil memeluk Raka. Pria itu terus berusaha untuk menenangkan, akan tetapi Fania sangat sulit untuk tenang perihal hal ini. Karena satu-satunya harapannya adalah bayi tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 232 Episodes
Comments
Gahara Rara
begitu berat beban mu fania
2021-06-19
0
Ica Snow Kim
REZA GILA, DORONG FANIA YG LAGI HAMIL, BERDARAH BUKANNYA DI TOLONGIN MALAH DI TINGGALKAN PERGI 😡🤬😡🤬😡🤬,
SEMOGA REZA CEPAT DAPAT KARMA 🤬🤬🤬🤬🤬
2021-03-05
0
MaiiDavi
kebangetan lo thor kali2 siraka dong lo kasih sianidaa 😂
2020-11-21
0