Beberapa minggu setelah berhenti bekerja sesuai dengan permintaan suaminya. Fania kini sibuk mengurus rumah tangganya. Mengurus segala kebutuhan Reza selama bekerja.
Namun, beberapa kali juga ia diabaikan begitu saja oleh suaminya. Dianggap seolah tak ada.
Pagi tadi Reza berangkat dan melupakan rutinitasnya sendiri. Yaitu mencium kening dan bibir Fania sebelum berangkat bekerja. Hal itu tak ia dapatkan lagi. Bahkan Reza semakin jarang menyentuhnya tak seperti biasanya. Kali ini ia berbeda.
Fania masih berhubungan baik dengan Raka. Meski sempat dilarang. Tetapi tak mungkin baginya menjauhi Raka walaupun mereka berdua adalah mantan kekasih.
Tempat curhat satu-satunya adalah Raka, memberinya solusi atas segala permasalahan yang menimpa. Kevin juga teman baiknya. Tetapi tidak mungkin ia bercerita pada Kevin mengingat kedekatan Reza dengan pria itu.
Bertemu di sebuah kafe di Jakarta pusat. Fania melirik jam tangannya, sudah setengah jam ia menunggu kedatangan Raka.
Nampak dari kejauhan. Seorang pria berlari terengah-engah menghampiri Fania. Dan itu adalah Raka.
"Sorry telat, udah lama nunggu?"
"Nggak apa-apa. Duduk dulu, aku pesanin minuman!"
Raka duduk di seberangnya. Nampak keringat terus keluar dari pori-pori pria itu.
"Fan, udah izin kan ke suami kamu kalau kita ketemu?"
Fania menggeleng. "Nggak perlu izin lagi. Dia nggak peduli,"
"Kok gitu?"
"Nggak tahu. Dia berubah beberapa minggu ini,"
"Fan, kamu nggak ada masalah kan sama dia?"
"Nggak kok. Cuman emang dia berubah aja gitu. Lebih sering mengabaikan aku dibandingkan dengan ngobrol sama aku. Dia selalu menghindar,"
"Terus tujuan kita ketemu?"
"Aku mau minta tolong diantar ke dokter, Ka,"
"Fan, kamu sakit?"
"Nggak. Cuman mual beberapa hari. Tapi nggak bisa keluar,"
"Kamu hamil?"
"Nggak deh kayaknya. Aku nggak pernah ngapa-ngapain sama Mas Reza,"
"Sudah berapa lama?"
"Sebulan lebih, dia cuek melulu. Ka, salah nggak kalau aku bilang pengin punya anak? Terus semenjak tes kehamilan terakhir, Reza cuek sama aku,"
"Oke nanti kita ke dokter langsung buat mastiin,"
"Semoga aja nggak hamil,"
"Lho kamu kan pengin punya anak. Kok bilang semoga nggak hamil?"
"Aku nggak mau hamil kalau Mas Reza sifatnya dingin seperti ini. Nggak ada perempuan yang mau hamil seorang diri. Nggak ada perempuan yang mau lewati masa kehamilannya sendiri sementara suaminya tak acuh dengan keadaan istrinya. Itu pasti sakit banget, Ka,"
Raka mengangguk. Fania benar-benar tidak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Mengingat tingkah Reza yang semakin hari semakin saja berulah. Lebih sibuk dengan ponselnya dan juga tersenyum-senyum sendiri saat membaca chat. Tak mempedulikan Fania yang merasa sakit hati dengan tingkahnya itu.
Saat tidur pun. Reza pasti kembali ke kamarnya larut malam. Sibuk menelepon dengan seseorang yang Fania sendiri tidak tahu siapa.
"Fan, nggak usah sedih. Aku ada buat kamu,"
"Ka, thanks ya. Aku udah sakitin kamu, tapi kamu masih mau berteman baik sama aku."
"Gimanapun juga kamu kan orang kesayangan Fandi, aku bakalan jaga kamu sebagai tanda maaf aku sama dia, kamu nggak benci kan sama aku?"
"Nggak, aku nggak benci sama sekali. Justru kamu sudah baik banget bantuin aku,"
"Ya sudah ayo kita ke dokter!"
"Minumnya?"
"Nggak usah. Aku bayar aja deh, nggak usah minum, kita berangkat sekarang!"
Raka beranjak dari tempat duduknya untuk menuju ke kasir. Fania di sana hanya terdiam seribu bahasa. Antara rasa sakit yang tak bisa dijelaskan dan juga cintanya yang bertepuk sebelah tangan pada Reza.
"Ayo!"
Fania mengangkat kepalanya saat Raka mengajaknya pergi. Mereka berdua masuk ke dalam mobil Raka.
"Fan, apa pun yang terjadi nanti. Aku akan ada buat kamu, jangan takut!"
Fania mengangguk. Ia meremas ujung bajunya dan menggenggam erat tas yang ia bawa. Air matanya terasa ingin keluar.
"Nggak apa-apa nangis aja. Jangan ditahan, nggak baik!"
Fania menolehkan wajahnya dan mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Pergi dari sisi Reza kalau kamu nggak kuat, aku bisa nemenin kamu,"
"Reza pilihan orang tua aku, Ka,"
"Tapi apa harus dengan cara seperti ini?"
"Akan aku pikirkan nanti, Ka."
Raka terdiam dan fokus menyetir. Sementara itu Fania tetap diam dan memikirkan bagaimana caranya untuk lepas dari Reza. Saat berbicara, ia diabaikan oleh Reza.
Tiba di sebuah klinik ibu dan anak. Fania menoleh ke arah Raka. "Kenapa kemari?"
"Perasaan aku aja. Tapi coba kita pastikan apakah benar kamu hamil atau nggaknya,"
"Tapi aku takut,"
"Jangan takut. Kalau memang kamu hamil, terus Reza nggak mau ngakuin anaknya, aku yang akan tanggung jawab, aku akan rawat kamu."
Fania merasa sangat miris saat orang lain lebih peduli terhadap dirinya dibandingkan suaminya sendiri. Mereka berdua pun turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam klinik. Beberapa kali ia mengembuskan napas kasar dan Raka tak melepaskan genggamannya karena ia begitu gugup.
Setelah keluar dari ruang pemeriksaan, di ruang dokter itu Raka tetap menemani.
"Anda suaminya?"
"Iya dok, saya suaminya,"
"Selamat pak, istri anda hamil. Usia kandungannya memasuki minggu ke-5,"
Fania menutup matanya perih. Tengan Raka tak berhenti menggenggamnya.
"Kalau begitu terima kasih, kami pamit ya dok,"
"Jaga istrinya baik-baik ya, pak!"
"Baik dok. Akan saya jaga sebaik mungkin."
Apa yang ditakutkan oleh Fania terjadi juga. Hasil test pack waktu itu tidak seperti yang ia bayangkan.
"Bagaimana caranya aku ngomong sama Mas Reza?"
"Tunggu waktu yang tepat. Dekati dia,"
"Iya, terima kasih. Kalau gitu aku mau pulang dulu, Ka. Terima kasih sudah nemenin,"
"Sama-sama. Aku antar?"
"Nggak usah. Nanti Mas Reza curiga. Aku pulang dulu, daaah."
Dengan langkah gontai Fania keluar. Disusul oleh Raka yang berusaha memberhentikan taksi untuk Fania.
Dalam perjalanan pulang. Hatinya begitu terasa sakit. Ia mengelus perutnya yang masih datar.
Tiba di rumah. Reza sudah pulang seperti biasanya.
"Kamu dari mana saja?"
"Aku, aku tadi-"
"Sudahlah. Aku muak, Fania."
Ia menahan air matanya yang hendak keluar. Tetapi dengan usaha yang begitu keras ia menahan air matanya agar tidak keluar.
Sebelum pergi ia sudah menyiapkan makan malam.
"Mas, kita makan malam sekarang ya!"
"Nggak usah, aku ada janji di luar sama klien,"
"Aku sudah masak,"
"Makan sendiri saja. Aku mau pergi,"
Reza benar-benar sudah keterlaluan mengabaikan istrinya. Ia sudah berpakaian rapi dan meninggalkan Fania begitu saja.
"Kenapa harus seperti ini?" Sepeninggalnya Reza, air mata Fania terjatuh begitu saja.
Selesai makan, ia menuju kamarnya untuk membersihkan tempat tidurnya. Seperti biasa ia menemukan pakaian Reza berserakan. Dengan hati yang masih terasa perih, ia tetap membereskan itu semua.
Melihat foto pernikahannya. Ia tersenyum miris dan mengelus perutnya.
Pukul sebelas malam. Reza pulang.
"Aku pulang."
"Mas mandi dulu, aku sudah siapkan air hangat,"
"Iya."
Fania tersenyum meski sangat singkat. Setidaknya ia bisa mengobati rindunya tidak hanya dibalas dengan hm saja oleh suaminya.
Reza keluar dari kamar mandi. Ponselnya terus saja berbunyi. Bahkan kini Reza mulai memyembunyikan ponselnya tak seperti dulu.
"Halo,"
"........."
"Ya ampun sayang, kamu hamil? Beneran?"
Fania berbalik dan hendak menyahuti perkataan Reza. Ia pikir Reza sudah tahu. "Aku pasti tanggung jawab sayang, pasti. Aku segera menikahi kamu, aku tanggung jawab sayang. Terima kasih,"
Hati Fania begitu sakit mendengar ucapan Reza. Selama ini Reza telah mengkhianatinya. Ia terdiam di ujung ranjang saat Reza mendekatinya.
"Fan?"
"Hm?"
"Aku mau menikah,"
Fania mendongakan kepalanya.
"Kita bercerai, Fania. Karena wanitaku tidak ingin dimadu,"
Fania langsung bangkit dari ranjang. Reza menahan tangannya. "Maaf, aku nggak bisa pertahanin kamu. Karena kamu juga tahu aku ingin punya anak. Sedangkan kamu nggak bisa kasih itu Fania,"
"Sejak kapan semua ini terjadi?"
"Sebelum kita menikah,"
Fania membekap mulutnya. "Kamu khianati pernikahan kita, Mas."
"Maaf, aku nggak bisa terus seperti ini. Perusahaan kamu aku balikin. Tenang saja kamu akan tetap bagian dari perusahaan aku karena kita bercerai. Maaf, aku akan menikahi wanitaku,"
"Lakukan, Za!"
Fania menarik koper yang ada di ujung lemari dan langsung memasukkan semua pakaiannya. Ia meraih ponselnya dan menghubungi Raka.
"Ka, bisa jemput aku di rumah Reza?"
"Iya Fan. Aku segera ke sana,"
"Aku sama Reza sudah pisah. Aku tunggu sekarang,"
Reza membatu di belakang Fania.
"Fania, maaf. Tapi bisakah kamu tinggal di sini?"
"Kamu akan nikah Za, kita juga sudah nggak ada apa-apa lagi,"
"Tapi kenapa harus dijemput Raka?"
"Kenapa harus berkhianat?" Reza terdiam.
"Aku pengin punya anak, Fan."
"Iya. Aku pergi dari sini karena sadar diri, Za,"
"Fan," Reza memegang tangannya.
"Lepasin!"
"Fania,"
"Apalagi? Belum puas kamu Reza? Saat aku berusaha bertahan atas semua sikap kamu selama ini. Tiba-tiba kamu bikang cerai. Kamu pikir semua ini nggak sakit? Kamu minta aku berhenti kerja, aku berhenti. Sekarang apalagi?"
"Fan, tapi kenapa harus sama Raka?"
"Lebih baik bersama dia yang kamu anggap brengsek. Tetapi dia berusaha jadi lebih baik. Dibandingkan kamu yang merasa baik tapi brengsek."
Fania selesai memasukkan semua barang miliknya ke dalam dua koper besar miliknya. Berkas-berkas perusahaan dan juga pakaiannya ia bawa.
"Aku pergi."
Fania keluar dari rumah itu dan sudah ditunggu oleh Raka di sana.
"Bajingan, gini cara lo balas kebaikan istri lo?"
Reza membeku. Salahnya memang mengatakan cerai saat semuanya benar-benar tak bisa dipikirkan dengan matang.
"Ayo pergi, Fan!"
Raka memasukkan koper Fania ke dalam mobilnya dan langsung meninggalkan rumah Reza.
"Nangis, jangan ditahan!"
Air mata Fania pecah saat saat itu juga.
"Kita ke hotel,"
Fania menggeleng.
"Terus?"
"Aku mau ke Lombok. Aku pernah ke sana, Fandi pernah ngajakin aku ke sana, aku punya tempat tinggal di sana,"
"Reza tahu tempat itu?"
"Nggak. Dia nggak tahu karena aku belum sempat cerita sama dia."
"Kamu punya keluarga di sana?"
"Keluarga jauh. Aku punya, di sana. Kalau di sini aku nggak ada siapa-siapa."
"Besok aku antar sampai tujuan. Malam ini kamu istirahat di hotel atau rumah Mama aku,"
"Aku mau ke rumah mama kamu,"
"Oke. Urusan perusahaan kamu gimana?"
"Aku pekerjaan sepupu aku nanti. Aku punya beberapa, meski keluarga jauh. Tapi aku bisa minta mereka."
"Kenapa waktu orang tua kamu meninggal mereka nggak ada?"
"Aku nggak sempat ngasih tahu mereka. Dan lagi mereka keluarga berkecukupan. Aku bisa saja ngasih tiket, tapi waktu itu mendadak kan,"
"Fan, kenapa kamu tegar banget?"
"Apalagi yang harus aku tangisi? Aku akan rawat dia sendirian. Aku punya keluarga,"
"Besok aku antar. Aku antar sampai kamu benar-benar menginjakkan kaki di sana."
"Terima kasih ya. Tapi kayaknya nggak usah. Aku bisa pergi sendirian,"
"Biar aku tahu tempat tinggal kamu. Bisa nyariin kamu juga nanti,"
"Iya sudah. Yang penting kamu nggak sibuk."
*******
Tiba di Lombok. Raka benar-benar asing dengan tempat itu.
"Kita ke rumah aku dulu, abis itu kita ke rumah Ibu,"
"Oh oke. Kamu yakin bisa beradaptasi, Fan?"
"Aku yakin. Rumah aku ada di perumahan sana," Fania menunjuk salah satu perumahan dekat dengan taman dan langsung di bawa menuju ke sana oleh sopir taksi.
"Fan, kamu beneran punya rumah di sini?"
"Iya aku punya. Fandi yang beli. Dia memang niat tinggal di sini kalau nikah,"
"Hm." Raka terdiam.
Mereka berdua turun dari taksi dan Fania langsung membuka kunci pintu rumahnya. Meski tidak ditinggali. Tetapi selalu dirawat karena bagaimana pun juga rumah itu jadi pelariannya saat hidupnya terasa hampa. Sama seperti waktu Fandi meninggal. Fania tinggal berminggu-minggu di tempat itu.
"Rumah kamu nyaman,"
"Terima kasih. Ohya maaf ya nggak ada apa-apa. Jadi kita langsung ke rumah Ibu aja ya. Nanti di sana bisa istirahat,"
"Jauh?"
"Nggak. Jalan kaki juga bisa. Tapi kan ada mobil, kita pakai mobil ini," di depan rumahnya ada satu mobil dan motor. Semua itu seolah telah dipersiapkan oleh Fandi untuk dirinya.
"Aku yang nyetir, Ka."
Raka mengangguk dan maduk ke dalam mobil. Fania yang kemarin sendu kini berbeda. Seolah Raka tak bisa membaca pikiran perempuan tersebut. Tiba di salah satu rumah yang halamannya sangat luas, rumah sederhana bahkan terdapat warung di depan rumah itu. Fania langsung turun.
"Assalamualaikum, Ibu."
Fania menunggu orang-orang keluar dari rumah itu. Satu-satunya keluarga jauh yang masih diingatnya.
"Ya ampun, Fania? Sama siapa kemari? Ayo masuk nak!"
"Raka sini, buruan!" Fania memberikan kode agar Raka turun dari mobil. Pria itu turun menyusul dan mereka di ajak masuk.
"Kenapa baru datang sih?"
"Maaf tahu sendiri kan Fania sibuk,"
"Mama sama Papa apa kabar?"
Fania terdiam sejenak sebelum akhirnya angkat bicara. "Mereka udah nggak ada, Bu. Mereka kecelakaan,"
"Ya ampun, kenapa nggak bilang?"
"Maaf waktu itu aku nggak sempat, Bu. Abang Deno ke mana?"
"Abangmu lagi kerja. Tina juga kerja,"
"Lho bukannya dia masih sekolah, Bu?"
"Nggak. Dia udah lulus, cuman nggak lanjut kuliah aja. Dia nggak mau, sudah di paksa sama Deno, tapi nggak mau,"
"Hmm, ya udah nggak apa-apa. Nanti Fania yang nyuruh Tina kuliah, pasti dia mau kok,"
"Ohya, ini suami kamu?"
"Bukan Bu, ini teman. Fania udah cerai,"
"Hah? Terus?"
"Fania menetap di Lombok, Bu. Kan Fania punya rumah, nggak balik lagi,"
"Hm, yang sama kamu ini teman apa demen?" Goda Ibunya.
"Sebenarnya saya mau jadi ayah anak yang dikandung Fania. Cuman dianya nggak mau," celetuk Raka.
"Iiiih Raka,"
"Kamu hamil?" Tanya ibunya. Fania mengangguk.
"Sayang?"
"Fania nggak apa-apa. Maka dari itu Fania mau tinggal di sini. Jadi bisa tetap kunjungi Ibu di sini. Ohya Bapak mana?"
"Bapak biasa ngurus ikannya,"
"Bapak dari dulu nggak berubah pekerjaan."
Fania bersyukur. Meski keluarga jauh. Tetapi masih tetap di terima di keluarga Mamanya.
Ibu Siti enam orang anak. Keempatnya bersekolah. Deno dan Tina sudah lulus. Deno yang lulusan S1 karena beasiswa. Sedangkan Tina lulusan SMA. Terakhir kali ia datang beberapa tahun yang lalu.
"Ya udah istirahat di kamar Tina gih. Kamu pasti capek."
"Ohya ini Raka, teman Fania, dia sahabat baik Fania,"
"Istirahat sana." Nanti Ibu bangunin untuk makan siang.
"Ibu Fania pengin makan Pelecing kangkung sama pelecing Ayam dan ikan bakar,"
"Tenang, nanti ibu masakin untuk calon cucu, pasti dia yang pengin ya?"
Fania tersenyum. "Ibu tahu aja,"
"Sana sayang!"
Fania masuk ke dalam kamar Tina hanya mengambil bantal dan istirahat di depan TV bersama dengan Raka.
"Ka, tidur sini!" Fania menepuk bantal yang ada di sebelahnya. "Jangan malu, sini aja, tidur dulu. Nanti siang kalau mereka pulang kamu nggak bisa istirahat,"
"Adik-adik kamu?"
"Iya. Mereka akan ribut di sini. Makanya selagi ada waktu kamu tidur deh!"
"Fan yang kuat ya! Demi bayi kamu!" Raka mengelus perut Fania.
"Thanks, Ka. Jangan khawatir, kamu tidur makanya. Nanti makan siang. Aku jamin kamu suka deh,"
"Hmm, enak?"
"Pastinya."
"Kamu kerja apa nanti kalau di sini?"
"Karena kebetulan Ibu pintar masak. Bapak usaha ikan, aku buat lesehan, Ka. Tinggal nyari tanah tempat bangun usaha aku,"
"Oke kalau opening kamu harus undang aku. Dan masakannya harus kamu yang masak,"
"Oke, janji deh."
Raka tersenyum dan langsung berbaring di samping Fania.
"Ka, jangan bilang siapa-siapa aku di sini. Aku percaya sama kamu,"
"Iya. Aku nggak bakalan cerita lagian ya, aku mau kamu di sini aman sama anak kamu."
"Thanks, nanti aku kirim adik-adik aku. Minta tolong ajarin ya, Bang Deno akan jadi pimpinan di sana,"
"Kenapa kamu percaya banget?"
"Karena Mama selalu bilang kalau Fania harus percaya sama keluarga sendiri."
"Hmm, ya udah. Aku ajarin nanti. Sebelum berangkat seenggaknya kamu juga ajarin di sini."
"Itu sudah pasti."
Fania memejamkan matanya. Berusaha melupakan sejenak rasa sakit hatinya kepada Reza. Pergi bukan karena menghindar. Tetapi ia tak ingin membenci pria itu. Sebab bagaimana pun juga. Ada darah daging Reza di dalam perutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 232 Episodes
Comments
Ica Snow Kim
FANIA HAMIL, TAPI DI CERAI REZA 😓
2021-03-04
0
MaiiDavi
harusnya lo kasih tau dl fania kalo lo tuh hamil anaknya sireza goblok ituu terus tinggalin 😜
2020-11-21
0
Bila Raja
Aku ikutan nangis membacanya,ngebayangin klu semua itu trjd pada ku
2020-07-21
1