Beberapa hari setelah menggantungkan kalimat kepada Kevin. Reza pulang ke rumahnya. Ia tidak ke apartemen. Sebab Fania beberapa hari ini tinggal di rumahnya. Mengingat bahwa tidak ada lagi yang di miliki oleh perempuan itu selain dirinya. Kedua orang tua mereka begitu dekat hingga membuat Reza juga selalu dekat dengan Fania. Namun, tidak melibatkan perasaan.
"Fania mana ma?"
"Di kamar sama adik kamu. Reza mama boleh bilang sesuatu?"
Deg
Jantung Reza terasa mencelos keluar, sebab ia takut jika apa yang dilihat oleh adiknya kini menjadi sebuah pelaporan untuk dirinya.
"A-apa ma?"
"Ngapain kamu yang gugup, mama yang justru gugup mau bilang ini. Karena ini amanat."
Reza mengela napas lega.
"Oke ma, apapun itu Reza akan jalanin. Karena seperti yang mama bilang, itu amanat," Reza menekankan pada kalimat amanat.
"Nikahi Fania."
Reza mendengar ucapan itu sudah benar-benar terasa jantungnya sudah keluar. Ia benar-benar tidak bisa lagi mencerna dengan baik apa yang dikatakan oleh sang mama.
"Reza, mama enggak suka kamu puasin diri kamu sebelum kamu menikah. Reza, mama sudah tahu apa yang kalian lakukan malam waktu kalian pulang dari rumah ini. Shita sudah cerita semuanya. Jujur perempuan yang mama setuju menjalin hubungan sama kamu kini sudah mama blacklist dari mantu idaman mama. Reza, apa yang kamu cari dari kenikmatan sesaat? Bukannya kamu bisa dapatin yang jauh lebih nikmat ketika kamu menikah?"
Benar-benar kali ini Reza lemas. Apa yang ia takutnya justru dibahas oleh mama. Shita menceritakan hal itu kepada mamanya.
"Iya ma, Reza turutin apa kata mama. Tapi Reza enggak jamin soal perasaan untuk Fania ma."
"Terserah, kalian akan tinggal di rumah yang sudah disiapkan oleh papa. Sebelum meninggal, kami sudah bicarakan ini Reza. Jadi apapun alasannya kamu enggak bisa nolak, hal ini sudah diketahui oleh Fania dan dia sendiri mengatakan iya, maka dari itu kamu enggak boleh nolak. Toh kamu sendiri yang bilang itu amanat,"
"Iya ma, Reza turutin deh. Ya ampun ma, gimana ceritanya sih? Jujur Reza enggak ada perasaan apa-apa sama Fania," jelas Reza.
"Oh jadi kalau nikmatin tubuh perempuan-perempuan yang kamu bawa ke apartemen kamu harus punya peraaan dulu?"
Skakmat
Reza tak bergeming, dari mana mamanya tahu bahwa selama ini ia seriingkali membawa perempuan ke apartemennya? Mengingat bahwa sama sekali mama tidak pernah berkunjung ke apartemennya. Kecuali, Shita.
"Ma udah deh. Reza kan udah setuju sama permintaan mama,"
"Atau mama bilang aja ya ke papa, kalau anaknya nolak akan dibuang." Ancam mama.
"Reza nolak, apartemen, mobil, segala fasilitas akan papa cabut," sambung papa dari belakang.
Reza turun dari sofa layaknya anak kecil yang merengek menggerak-gerakkan kakinya.
"Iya pa, Reza udah nurut malah diancam. Reza segera nikahin Fania, eh kalau bisa minggu depan,"
"Bagus, anak yang berbakti," papa meletikkan jarinya.
"Serius? Berarti nikah marathon? Mama harus persiapkan segalanya. Ya udah, mama hubungi teman-teman mama dulu, kamu libur kerja seminggu ini. Bantu mama siapain semuanya,"
Reza tak percaya bahwa ia berkata akan menikah seminggu lagi. Ia menjambak rambutnya.
"Kamu sih, padahal mama sama papa itu mau nikahkan kalian dua bulan lagi,"
"Haaah? Papa kok enggak bilang sih?" Reza frustrasi.
Ia meninggalkan papa seorang diri yang tertawa meledeknya dan ketika beranjak pergi. Di seberang sana, mama sibuk menelepon entah dengan siapa. Reza dengan langkah yang begitu lunglai melangkahi satu persatu anak tangga.
"Nesya gimana?" gumamnya. Ia lagi-lagi tidak bisa berpikir jernih. Tapi, ia sendiri juga tidak yakin bahwa Fania tidak mungkin memiliki perasaan lebih padanya.
Ia melangkahkan kakinya menuju kamar perempuan itu yang tengah asyik bersama dengan adiknya.
"Kalian sibuk?"
Sontak keduanya menoleh ke arah Reza. Shita yang mendengar hal itu langsung bangkit dari tempat tidur.
"Kalian ngobrol gih, Shita balik ke kamar."
Reza mengangguk. Ketika Shita mendekat, "Ingat, jangan di awh awh kak Fania, belum waktunya." Ledek Shita.
Pletak,
"Awh, kakak sakit tahu, aku bilangin ke mama," Shita mengaduh ketika jidatnya dijitak oleh Reza.
"Za, lo kok tega banget sama adik sendiri?"
"Biarin, ini anak mulutnya kayak ember. Sekalian mau gue jahit mulutnya."
"Kakak" rengek Shita.
"Apa? Mau lagi? Ngomong lagi sama mama sana kakak enggak takut!"
Fania bangkit dari tempat tidurnya.
"Za, udah dong. Kasihan tahu,"
"Enggak usah belain adik kayak Shita, mulutnya tuh enggak ada rem kalau ngomong," kali ini Reza benar-benar kesal dengan adiknya yang membocorkan rahasia tentang dirinya bersama dengan Nesya waktu di apartemen.
"Terserah." Shita pergi dari kamar tersebut dan menggerutu ketika menuruni anak tangga.
Mereka hanya berdua di kamar sekarang. Lampu ia matikan.
"Lho, kok dimatiin?"
"Fan gue mau serius ngomong,"
"Ngomong aja. Tapi bentar sejak kapan lo serius ngomong sama gue?"
Mereka duduk di bawah ranjang yang bersandar. Keduanya saling membelakangi, Fania duduk diseberang ranjang begitu pun dengan Reza.
"Fan, lo mau sampai kapan begini. Lo udah enggak punya siapa-siapa. Gue enggak jamin bisa jagain lo,"
"Lo sendiri mau sampai kapan hura-hura seperti ini tanpa tujuan hidup yang jelas?"
"Nanti kalau ada yang serius sama gue. Lo sendiri kapan mau nentuin masa depan lo. Nyari suami kek!"
"Gue masih gini-gini aja, Za. Gue nunggu suami yaitu orang yang tepat bisa bertanggung jawab sama gue dan ada waktu buat keluarga."
"Kalau seandainya lo udah nikah, terus suami lo punya masa lalu yang buruk gimana?"
"Gue terima. Karena bukan kuasa kita untuk menghakimi masa lalu orang lain. Setiap orang punya masa lalu yang buruk. Mereka punya potensi untuk jadi lebih baik lagi. Hidup itu bukan dari dilihat dari masa lalunya, akan tetapi dilihat dari masa yang sekarang ketika ia berusaha untuk menjadi lebih baik lagi ."
Reza menatap perempuan yang berdiri dibelakangnya. Di usia yang sudah terbilang dewasa dia justru lebih sering senang-senang dengan beberapa perempuan. Kecuali perempuan yang sedang bersamanya kini. Bukan munafik, ia hanya ingin menjaga adik almarhum sahabatnya itu. Untuk jatuh cinta, rasanya dia tidak akan pernah jatuh cinta pada perempuan itu. Sebab ia akan merasa bahwa Semesta tidak adil.
"Fan, gue enggak bisa sembunyiin ini dari lo, gue sering main sama perempuan. Sering nikmatin perempuan hanya semalam. Lo tahu kan masa lalu gue? Dan, lo pasti tahu tentang perjodohan ini kan? Kenapa lo itu nerima ini semua sedangkan gue buruk, Fania,"
"Za, lo udah tahu?"
"Udah. Maka dari itu gue ngomong gini ke lo. Tapi Fan, gue belum ada perasaan apa-apa sama lo, intinya gue mau coba. Gue ngerasa semesta itu enggak adil kalau kita nikah. Lo perempuan baik-baik. Sedangkan gue laki-laki bejat begini."
Reza tertunduk dan malu. Yakin bahwa Fania belum pernah dijamah oleh laki-laki manapun seperti dirinya yang selalu menjamah perempuan berbeda-berbeda dengan kelakuannya yang selalu One Night Stand selama ini. Tidak lagi setelah kedatangan Nesya sebab perempuan itu selalu memenuhi kebutuhan libidonya.
"Za, maaf gue hancurin hidup lo karena nerima perjodohan ini. Setelah menikah, enggak apa-apa kok lo masih jalin hubungan sama Nesya, gue cuman mau nurutin apa yang dikatakan orang tua gue, itu aja,"
"Fan, kita menikah seminggu lagi. Maaf aku percepat. Tapi sebelum itu kita latihan untuk terbiasa, kita memang terbiasa tapi selama ini kita hanya sahabat. Kamu mulai sekarang panggil aku Mas Reza. Soal aku sama Nesya kamu jangan khawatir. Aku akan bilang ke dia,"
Reza merasa geli. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa ia sendiri merasa ada yang aneh dari panggilan itu. Dan lagi panggilan 'lo' sudah tidak berlaku lagi.
"Za? Kenapa buru-buru?"
"Karena aku akan belajar untuk menyayangi istriku,"
"Za, maaf,"
"Fania enggak salah, ini demi orang tua kita berdua. Fania harus belajar ya buat turutin kata Mas dari sekarang," Reza tersenyum. Berat rasanya ia mengatakan hal itu keapda Fania. Tetapi, mau tidak mau ia harus belajar melupakan masa lalunya dan hura-hura.
"Baik, Mas Reza."
Reza tersenyum mendengar ucapan itu ia pun bangkit dari duduknya dan keluar dari kamar perempuan itu.
"Selamat tidur,"
Mama melihat raut wajah Reza yang tersenyum ketika keluar dari kamar Fania. Mama pun ikut tersenyum melihat raut wajah anaknya dari kejauhan. Tidak salah pilih, mama pun kembali lagi ke ruang tamu menemui Shita dan juga suaminya.
"Shita, kakak kamu akan menikah seminggu lagi. Jadi jangan sampai kamu cerita hal yang tidak-tidak kepada Fania."
Shita menolah. Mulutnya ember tetapi tidak pernah mengatakan hal itu kepada Fania. Ia juga sudah tahu tentang perjodohan itu.
"Ma, walaupun Shita ember. Shita enggak akan cerita,"
Mama tersenyum.
"Bentar lagi papa punya cucu, yuhuuuu," papa joget-joget mengingat betapa lancangnya Reza mengatakan ingin menikah seminggu lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 232 Episodes
Comments
Meiliani Pelangi
semangat upnya thor!
2022-05-16
0
Anita Sampel
asyikk
2019-10-12
1
Fadilah Choirusofa
🤣🤣🤣🤣 ada yg kesenengan mau dapet cucu...padahal khan masih lama Eyang Kunggg
2019-08-09
6