"Za, lo kenapa berdebar?"
Reza menggeleng.
"Lo ngagetin gue, gimana jantung gue enggak hampir copot."
"Za, setelah gue tinggalin Raka. Lo mau kan jadi kakak gue. Bukan sekadar sahabat, lo jaga gue seperti Abang gue?"
Reza mengeratkan pelukannya.
"Gue selalu sayang sama lo, jagain lo. Gue enggak mau lihat lo menderita. Gue sayang lo sama seperti Fandi sayang sama lo. Lo bandel, tapi lo itu buat gue lega dengan ucapan lo." Reza mengecup kening Fania.
"A-apa gue enggak salah dengar?"
"Gue janji akan jagain lo."
Raut wajah Fania sudah seperti kepiting rebus dibuatnya. Untuk pertama kalinya Reza bisa bersikap seperti kakaknya sendiri. Padahal setiap hari, mereka harus bertengkar hanya karena hal-hal kecil yang membuat Fania kesal oleh tingkah Reza.
"Sarapan yuk. Gue udah masak buat lo." Ajak Fania.
Reza melangkahkan kakinya mengikuti Fania.
Mereka berdua menyantap sarapan mereka.
"Za, gue boleh tanya enggak ke lo?"
"Tanya apaan?" Reza, terus menyantap makanannya tanpa berhenti bahkan ketika mulutnya penuh oleh sarapan, ia masih menanggapi ucapan, Fania.
"Lo kenapa mabuk? Kenapa lo ngerasa bersalah banget sama Abang gue?"
Reza berhenti dan meletakkan sendoknya.
"Gue enggak ngomong aneh-aneh kan?"
"Lo enggak ngomong aneh, semalam waktu Kevin antarin lo pulang. Gue yang jaga lo, cuman lo itu ngerasa bersalah banget sama Fandi. Kenapa?" tanya Fania. Berharap semoga Reza jujur padanya tentang kisah Fandi selama ini yang tidak ia ketahui.
"Lo udah kayak adik gue, jadi kalau gue gagal. Gue ngerasa bersalah sama Abang lo. Gue ngelarang lo dekat sama Raka waktu itu karena ada alasannya. Terserah lo dekat sama siapa aja, yang penting Raka blacklist dari hati lo."
Fania mengangguk paham. Meski jawaban yang ia terima tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Akan tetapi, Fania masih bisa bersyukur karena Reza masih begitu peduli dengannya. Setelah kepergian Fandi, orang tuanya memilih tinggal di Australia dan tidak kembali lagi. Mengingat perihnya mempertahankan Fandi hingga akhirnya laki-laki itu pergi untuk selamanya.
Reza menarik napas panjang. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Fania.
Sarapan selesai. Reza mengajak Fania untuk pergi.
"Udah selesai?"
"Udah. Ohya gue beresin ini terus gue balik deh."
"Lo enggak kerja?"
"Gue tahu lo mabuk, Za. Tapi enggak harus kehilangan ingatan juga. Ini hari minggu, lo mau kerja apaan?" tanya Fania yang sambil meledek Reza.
"Gue ganti pakaian. Damn."
Fania terkekeh melihat Reza yang langsung memutar arah ketika ia mengatakan hal tersebut.
Fania membereskan bekas sisa makanan mereka. Setelah selesai mencuci piring ia menuju ruang tamu dan menyalakan televisi ditempat Reza.
Reza datang dan langsung tidur dipangkuan Fania. Perempuan itu tengah duduk di sofa sambil menikmati acara televisi.
"Pijitin gue, serius gue pusing."
"Ngapain lo tidur di paha gue?"
"Lo enggak dengar? Gue kan bilang kalau gue lagi pusing dan minta lo pijitin kepala gue dikit doang." Reza menarik kedua tangan Fania mengarah kepalanya.
Perempuan itu berdecak kesal. Namun, tetap melakukan perintah Reza.
Sudah bukan hal biasa lagi kalau mereka sering saling mengunjungi satu sama lain seperti biasanya. Andai Reza tidak dalam kondisi mabuk, tentu saja rahasia besar itu tidak akan terungkap. Kini, Fania sadar. Bahwa apa yang dilakukan oleh Reza itu sudah sepantasnya ia turuti. Mengingat bahwa Reza adalah sahabat dekat Fandi, meski usia mereka terbilang berbeda empat tahun.
"Fan, lo kenapa tiba-tiba mau putusin Raka?"
"Enggak apa-apa gue cuman bosan aja."
"Kemarin lo nangis berdarah-darah belain dia. Sekarang lo bilang bosan. Gila lo bisa move on dalam waktu sehari." Ucapnya heran.
Fania tak menjawab apapun. Ia justru tak mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Tak lama kemudian suara dengkuran halus Reza mulai terdengar.
Fania menggantikan pangkuannya dengan bantalan sofa kemudian membersihkan apartemen milik Reza. Mulai dari kamar, serta yang lainnya. Menurutnya itu adalah hal yang wajar, sebab tidak ada kegiatan lain yang menyibukkan dirinya.
"Bang, gue janji akan tetap nurut sama orang yang lo percaya buat jaga gue. Sekarang gue mau balas kebaikan dia. Gue mau dia jadi kakak gue, tanpa harus gantikan lo." Batinnya.
Fania mulai membungkus semua sampah dan siap untuk membuangnya. Ketika ia membuka pintu, seseorang berdiri di depannya.
"Lo siapa? Ngapain lo di kamar Reza?"
"Gue temannya. Kenapa?" jawab Fania sinis.
"Reza mana?"
"Tidur. Dia capek, enggak usah diganggu." Tukas Fania dan langsung keluar untuk membuang sampah.
Sekitar sepuluh menit berlalu. Fania kembali lagi dan melanjutkan pekerjaannya tanpa menghiraukan perempuan yang datang tadi.
"Eh perempuan ******, lo ngapain masuk ke kamar cowok gue?"
"Situ kali yang ******. Main nyelonong ke kamar orang." Jelas Fania.
Dengan sedikit kesal. Lizi menarik rambut Fania hingga tersungkur, dan Fania mencoba untuk melawan. Namun, pada saat ia berusaha untuk bangun untuk melawan perempuan itu justru mendorongnya lagi. Hingga ia terjatuh mengenai ujung sofa.
"Berisik." Teriak Reza. Laki-laki itu bangun dari tidurnya dan melihat yang terjadi. Ia segera berlari menuju Fania yang tergeletak di samping sofa.
"Lizi, kamu ngapain sih pagi-pagi buat ribut?"
"Oh, bagus banget ya. Sekarang kamu mulai bela perempuan ****** ini." Tunjuknya pada Fania.
Fania meringis kesakitan, bibirnya mengeluarkan darah.
Dengan segera Reza menarik perempuan itu dan membawanya keluar. "Jangan pernah kamu datang lagi ke tempat aku. Kita putus." Emosi Reza bergejolak ketika melihat apa yang terjadi pada Fania. Ia pun segera menutup pintu dan menghampiri Fania.
"Lo kenapa sih harus ladenin dia?"
"Gue lagi beres-beres. Dia tiba-tiba nyerang gue dan ngatain gue ******. Waktu gue mau ngelawan gue malah jatuh terus luka gini."
Reza menggiring Fania untuk duduk di sofa dan mengambil kotak obat dan mengobati luka perempuan itu. Beberapa kali ia meringis menahan perih.
"Udah deh, jangan cengeng."
"Perih tahu enggak."
Dengan hati-hati Reza membersihkan luka Fania yang ada di bibirnya. Perempuan itu justru menangis menahan perih karena obat luka itu.
Reza hanya tersenyum. Untuk pertama kalinya ia melihat sahabatnya itu menangis.
"Udah. Sakit tahu." Beberapa kali Fania memukul pundak Reza agar laki-laki itu berhenti.
"Cengeng lo, enggak kayak biasanya." Ledeknya.
"Sakit. Gara-gara pacar lo. Tanggung jawab lo!"
"Gue harus tanggung jawab seperti apa?"
"Terserah."
"Ya udah, sini gue cium mana yang sakit."
"Bangke lo, ciuman gue untuk suami gue. Enggak ngasih percuma ke lo."
"Tenang aja. Gue enggak bakalan biarin orang lain cium lo. Kalau ada yang berani nyentuh lo, bilang. Biar gue yang hajar.
Suasana hening sejenak.
"Za, lo enggak nyesel usir cewek lo?"
"Gue putusin. Gue malas lihat perempuan keras kepala begitu. Udah lama mau putus. Jadi karena lo terluka, jadi ada alasan untuk putusin dia."
"Jadi gue cuman jadi orang yang ngasih lo keberuntungan gitu?" tanya Fania kesal.
"Enggak juga kali."
**
Sore menjelang. Kevin datang ke apartemen Reza. ketika ia masuk, ia melihat Reza dan Fania tidur di depan televisi. Posisi itu mengagetkan Kevin, Fania yang tertidur dilengan kiri Reza. Sedangkan Reza memeluk Fania dengan nyaman. Kevin yang melihat itu merogoh saku celananya dan mengambil gambar keduanya.
"Lo serasi brengsek, cuman lo itu enggak mau ngakuin lo sayang Fania bukan sekadar karena dia adik dari Fandi." Ucap Kevin pelan.
Ia pun duduk di sofa. Memerhatikan keduanya yang memang menurut Kevin sudah sangat serasi. Sambil bermain game Kevin masih bersedia menunggu. Ia sedang merasa bosan di rumah. Hingga akhirnya apartemen Reza menjadi pelarian.
"Lo enggak boleh terluka. Gue enggak mau lo kenapa-kenapa, apalagi gue enggak mau lihat lo nangis kayak tadi, gue bakal marah sama diri gue sendiri." Ucap Reza lirih sambil menyibakkan rambut ke belakang telinga perempuan itu. Reza pun mencium kening Fania untuk kedua kalinya dan tersenyum.
"Ekhem."
Reza mendongakkan kepalanya dan jantungnya hampir saja copot. Napas yang tersenggal-senggal karena terkejut ketika baru bangun sudah ada seseorang di tempatnya.
"Brengsek lo. Sumpah ngagetin gue." Reza menarik napasnya pelan.
Ia bangun dari tidurnya dengan hati-hati. Dan menggantikan tangannya dengan bantal yang pakai tadi.
Reza melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya agar terlihat segar.
"Lo ngapain, Vin. Ngagetin gue aja lo." Protesnya ketika mengambil air dari dalam kulkas. Kevin hanya terkekeh.
"Munafik lo, lo kalau sayang sama dia ngomong aja. Lo ngapain modus, cium kening segala. Lo enggak bisa bohongin perasaan lo."
"Gue enggak ada perasaan apa-apa. Gue cuman mau jagain dia."
"Ngeles mulu. Ya udah terserah lo, ohya gue mau ngajak lo keluar malam ini. Lo bisa kan?"
Reza menggeleng.
"Fania sakit, lo lihat deh sana. Lizi salah paham, dia dorong Fania sampai jatuh, dia sedang enggak baik-baik saja."
"Salah paham gimana?"
"Biasa, dia cemburu sama Fania. Terus nuduh Fania ******. Dia jambak rambut Fania, sampai jatuh. Bibirnya juga tadi sempat berdarah."
"Terus lo enggak ada usaha pisahin mereka?"
"Gue tidur, kepala gue pusing. Karena mabuk semalam, tapi gue udah kasih pelajaran ke dia, gue putusin. Kan gue ada tuh alasan untuk putusin dia." Ucapnya sambil terkekeh. Kevin hanya menggeleng melihat kelakuan Reza.
"Za, lo di mana?" suara Fania parau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 232 Episodes
Comments
Iin Farlinda
ih gemes ma reza yang munafik ,gak mau ngakuin perasaanya 😋😋😋
2019-08-02
4