Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#9
Happy Reading...
.
.
.
Sudah lima hari Naira belum sadarkan diri dan selama itu juga Raka menjaganya. Bukan karena peduli tapi ia hanya ingin memastikan bahwa Naira masih hidup.
Cahaya putih dari lampu rumah sakit menembus kelopak mata Naira. Ia mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat seolah baru saja menempuh perjalanan panjang dari tempat yang jauh. Semua terasa asing baginya. Bau antiseptik yang menusuk. Suara mesin monitor yang berdetak pelan, dan dinginnya udara yang menempel di kulit. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa menatap langit-langit kamar rawatnya membiarkan pikirannya berusaha mengenali di mana dirinya berada.
Lalu perlahan ia memiringkan kepala. Naira baru menyadari ada seseorang duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Seorang pria bertubuh tegap, wajahnya terlihat lelah dengan lingkar mata yang menunjukkan kurang tidur. Tatapan matanya menatapnya lekat, seolah sudah lama menunggu momen ini.
Raka membuka matanya perlahan.
Begitu tatapan mata mereka bertemu, dada Raka berdetak cepat. Ia berdiri begitu cepat hingga kursinya bergeser yang menimbulkan bunyi sedikit keras. “Kamu sudah sadar…” suaranya parau, tertahan antara lega dan gugup. Ia melangkah mendekat, nyaris tidak percaya bahwa perempuan itu akhirnya membuka kedua matanya.
Naira mencoba bicara, tapi suaranya hampir tak terdengar. “Aku… di mana ini?” gumamnya pelan.
“Kamu di rumah sakit,” jawab Raka cepat, nada suaranya terdengar terlalu tegas untuk situasi seperti ini. Ia mendekat, menatap wajahnya lebih dekat. “Kamu mengalami kecelakaan. Tapi kamu sudah aman sekarang.”
Naira mencoba memutar kepalanya, menatap ke sekeliling ruangan. Matanya menelusuri setiap sudut, tapi tidak ada yang bisa ia ingat. Rasanya seperti berada di dunia yang bukan miliknya. Ia mencoba mengangkat tangannya, meraba perban di pelipis dan luka di lengannya. “Kecelakaan?” ia mengulang, suaranya ragu. “Aku… tidak ingat…”
Raka menelan ludah. Sesuatu dalam dirinya bergetar. Ia merasakan sedikit kelegaan di dadanya bukan rasa sedih, bukan juga rasa kasihan, melainkan sesuatu yang lebih dingin… sesuatu yang membuat jari-jarinya mengepal di kedua sisinya.
Ia memaksa wajahnya terlihat lembut, menunduk sedikit. “Kamu masih lemah. Jangan terlalu banyak bicara dulu,” katanya pelan, mencoba mengatur napas yang terasa sesak. “Apa ada yang sakit?”
Naira memejamkan mata sesaat, mencoba merasakan tubuhnya. “Kepalaku…terasa berat.” Ia mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu, tapi otaknya kosong. Lalu perlahan kedua matanya kembali menatap pria di hadapannya.
“Kamu... Siapa?”
Pertanyaan itu meluncur pelan tapi dapat membuat Raka membeku. Waktu seperti berhenti sesaat. Ia menatap Naira yang menatapnya balik dengan mata polos. Seolah dunia benar-benar memberi kesempatan baru, kesempatan untuk memainkan peran yang berbeda.
“Aku?” Raka tersenyum kaku. Tenggorokannya tercekat tapi ia menahan diri agar ekspresinya tak terlihat canggung. “Aku…”
Belum sempat ia melanjutkan, pintu kamar terbuka. Seorang perawat masuk membawa berkas dan segera menyadari bahwa pasiennya sudah sadar. “Bu, Anda sudah sadar! Saya panggil dokter sebentar, ya.”
Raka menarik napas panjang, seolah diberi waktu untuk berpikir. Ia melangkah mundur, membiarkan perawat memanggil dokter sambil matanya tak lepas dari wajah Naira. Dalam pikirannya, ribuan kemungkinan berputar cepat.
"Dia tidak ingat. Dia benar-benar tidak tahu siapa dirinya. Apakah ini tandanya takdir memberiku kesempatan lagi?" Batin Raka.
Beberapa menit kemudian, dokter Hasan datang bersama perawat. Ia memeriksa kondisi Naira dengan senter kecil, memeriksa refleks matanya, dan mencatat beberapa hasil di tablet. Naira menjawab beberapa pertanyaan sederhana. Siapa namanya, di mana ia tinggal, apa yang terakhir ia ingat? tapi semuanya dijawab dengan gelengan kepala.
“Aku… aku tidak tahu,” katanya pelan. “Aku tidak ingat siapa pun. Aku juga tidak tahu kenapa aku ada di sini?”
Raka yang berdiri di sudut ruangan menatap dokter dengan ekspresi berpura-pura khawatir. Ia memainkan peran itu dengan begitu halus, bahkan dokter pun menatapnya dengan rasa simpati.
“Dok, apa maksudnya? Kenapa dia tidak mengingat apa pun?”
Dokter menghela napas, menutup catatan di tangannya. “Pasien mengalami trauma kepala cukup serius. Dari hasil CT scannya memang ada sedikit pembengkakan pada area hippocampus. Bagian otak yang berhubungan dengan memori. Kondisi ini bisa menyebabkan amnesia sementara.” Ia menatap Naira lembut. “Artinya, Ibu bisa lupa sebagian atau seluruh ingatan masa lalunya. Tapi tidak perlu khawatir, biasanya perlahan akan pulih jika tidak ada kerusakan permanen.”
Naira menatap dokter dengan mata berkaca-kaca.
Dokter menepuk bahunya lembut. “Jangan khawatir, semuanya bisa dipulihkan dengan waktu. Untuk sekarang, yang penting Anda istirahat dulu.”
Raka diam. Di dalam kepalanya, suara-suara bercampur kenangan tentang Nayla. Wajahnya yang pucat, tulisan di buku hariannya dan kini wajah Naira yang begitu mirip tapi berbeda. Sungguh, betapa kejamnya takdir… tapi kali ini, seolah kejam itu berpihak padanya.
Ketika dokter dan perawat keluar meninggalkan mereka berdua di ruangan, Raka menatap Naira lagi. Wajah itu terlihat begitu rapuh.
“Jadi… kau tidak ingat apa pun tentang dirimu?” suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.
Naira menggeleng lemah. “Tidak… aku tidak tahu siapa aku. Aku tidak tahu siapa kamu.” Ia berhenti sebentar, lalu menatap mata Raka. “Apakah kita… saling kenal?”
Raka terdiam. Hatinya berdetak cepat, tapi matanya menatap tenang. Ia ingin berkata sesuatu, ingin mengaku dan ingin menjelaskan. Tapi setiap kata yang muncul di kepalanya terasa seperti kesempatan yang akan lenyap jika ia mengatakan yang sebenarnya.
Akhirnya, bibirnya melengkung tipis. “Kita saling kenal,” katanya pelan. “Dan aku janji akan bantu kau pulih. Akan kujelaskan semuanya… nanti, saat kau sudah lebih kuat.”
Naira menatapnya dengan ragu, tapi matanya menunjukkan kepercayaan yang samar. “Terima kasih…” gumamnya lemah. “Aku… hanya ingin tahu siapa aku sebenarnya.”
Raka menunduk, menyembunyikan sesuatu di balik wajah datarnya, senyum yang tidak sepenuhnya tulus tapi juga tidak sepenuhnya jahat. Ia berdiri, melangkah ke jendela yang tertutup tirai putih, menatap hujan tipis di luar.
“Tenanglah, Naira,” katanya dalam hati. Kau akan tahu siapa dirimu.. tapi tentu saja dalam versiku.
Angin malam menembus kaca, dingin tapi menenangkan. Di ruangan itu, Raka tahu segala sesuatu akan berubah sesuai dengan keiinginannya.
Takdir telah memberinya satu kesempatan, dan kali ini ia tidak akan menyia- nyiakannya.
Ia menatap pantulan wajah Naira di jendela. Wanita itu memejamkan mata, kembali tertidur karena efek obat.
Dalam keheningan itu, Raka berbisik, nyaris tanpa suara,
“Selamat datang kembali, Nayla…”
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tersenyum. Bukan senyum bahagia, tapi senyum seseorang yang baru saja menemukan cara untuk membalas seluruh luka masa lalu dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh hati yang telah lama kehilangan arah.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...