Dia.. anak, Kakak, saudara dan kekasih yang keras, tegas dengan tatapannya yang menusuk. Perubahan ekspresi dapat ia mainkan dengan lihai. Marcelline.. pengendali segalanya!
Dan.. terlalu banyak benang merah yang saling menyatu di sini.
Happy reading 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S.Lintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. -
"Huft ternyata aku bisa pulang tanpa bantuan siapa pun. Sekarang tinggal urus tempat tinggal dan sembunyi dari mereka," gumam seorang gadis sambil menggeret koper nya.
Itu adalah Azalea Andersn. Si gadis yang benar-benar nekat dan kembali tanpa persetujuan dari sang Abang. Entah apa yang terjadi kalau sampai Delano mengetahui ini, terutama dia.
"Maaf Bang, tapi Aza beneran kangen sama tanah kelahiran ini. Aza mau tinggal di sini lagi," gumam Azalea menunduk merasa bersalah.
"Dan untuk itu, seharusnya Aza nggak butuh persetujuan siapa-siapa," lanjutnya berdesis tajam, sebelum ia kembali menegapkan kepala dan berjalan dengan yakin tanpa menoleh lagi ke belakang.
Sedangkan Delano sekarang juga sedang berusaha menghubungi Azalea, namun nomor gadis itu tidak aktif.
"Abang harap kamu nggak berbuat nekat, Dek," gumam Delano penuh harap dan kecemasan.
Hendak bertanya pada siapa di sana? Tidak ada! Karena Azalea tidak ingin ada seorang maid atau apa pun itu di mansion. Jadi ia hanya sendirian, berdua kalau Delano sedang libur dan kembali menemaninya.
"Apa ada masalah?" tanya Marcelline sembari duduk meminum teh nya.
Delano berbalik dan menunduk sebentar. "Tidak ada Nona, semua baik," jawabnya tersenyum tenang.
"Tapi wajahmu jelas menunjukkan hal yang berbeda!" Marcelline mengintimidasi bawahannya itu.
"Tidak ada apa-apa, Nona." Delano tetap menjawab kalau semuanya baik-baik saja.
Marcelline sedang tidak ingin ambil pusing sekarang, jadi ia hanya mengangguk saja.
"Ayah, Bunda udah pulang?" tanya Marcelline.
"Sudah sekitar 10 menit yang lalu, Nona," jawab Delano seadanya.
Karena memang Afandi dan Anggi sudah kembali dari acara keluarga Jefferson itu.
"Azri ikut bersama mereka?" tanya Marcelline lagi.
"Kalau dari pergerakan cctv, Tuan Muda tidak terlihat bersama Tuan dan Nyonya lagi beberapa menit setelah Nona keluar dari sana," jelas Delano yang sudah menerima laporan tadi.
"Tuan Muda juga melarang untuk siapa pun yang mengikuti," lanjut Delano lagi saat ada penjelasan yang tertinggal.
Marcelline berdiri dari duduknya. "Pekerjaan mu hari ini selesai," katanya dan keluar dari ruangan.
Marcelline langsung menuju ke kamarnya, setelah itu ia menghubungi Azri. Satu sampai dua kali tidak ada jawaban dari pemuda itu, tapi Marcelline tetap mencoba lagi sampai berhasil.
Marcelline diam, menunggu Azri yang berbicara lebih dulu, tapi malah adiknya itu juga ikut diam saja. Tidak seperti biasanya yang akan menyapa duluan kalau dia diam.
"Azri.?" Marcelline memanggil lembut dengan sebelah alis yang terangkat.
"Hm." Azri menyahut, tapi kali ini ada yang berbeda dengan nada pemuda itu. Nadanya terdengar dingin, nada yang tidak pernah Marcelline dapat dari sang adik.
Raut wajah Marcelline sempat sedih sebentar, sebelum kembali datar. "Di mana?" tanyanya dengan nada yang sama. Dingin.
"Kenapa?"
Bukannya menjawab, Azri malah balik bertanya, membuat Marcelline mengepalkan tangan tapi tetap berusaha tenang dan sabar.
"Kakak yang lebih dulu tanya!" kata Marcelline tegas.
"Apa itu penting?" tanya Azri tanpa merasa takut. Entah dapat keberanian dari mana pemuda itu.
"Lalu.. di mana sekarang sopan santun mu itu, hm?" Marcelline seakan sudah tidak tahan tapi masih berusaha menahan nya. Ini adalah adiknya, jika bukan.. sudah ia hilangkan pita suaranya.
"Di apartemen," kata Azri pada akhirnya menjawab dan memberitahu.
Ternyata Azri masih memiliki rasa takut. Kalau tidak pasti ia masih bersikap angkuh dan tetap tidak sopan pada sang Kakak.
"Dasar bocah," batin Marcelline hampir mendengus.
"Kenapa tidak kembali bersama Ayah dan Bunda?" tanya Marcelline lagi.
"Beberapa hari ke depan aku bakal tinggal di sini. Sendiri. Tanpa siapa pun! Aku harap Kakak ngerti," ujar Azri memberitahu, tapi dengan nada yang terselip seperti sebuah penekanan dan peringatan.
Marcelline menatap ponselnya. Baru saja Azri memutuskan telepon secara sepihak tanpa persetujuan dirinya.
Marcelline bisa keras pada siapa pun, tapi tidak dengan Azri. Itu seperti pengecualian.