NovelToon NovelToon
Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Romansa / Mantan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nanie Famuzi

Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda


Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.

Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .

Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.

Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .

Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 10

Getaran ponsel di atas meja memecah keheningan ruang kerja itu. Jodi tersentak kecil, lamunan tentang berkas Miranda buyar seketika. Ia menoleh, menatap benda kecil yang terus bergetar di sisi map pasien.

Perlahan, ia meraihnya. Layar ponsel menyala, menyoroti wajahnya yang tampak letih.

Di sana, satu nama muncul jelas di layar ponselnya. Alina.

Ada pesan masuk.

Jodi menatapnya lama sebelum akhirnya mengusap layar, membuka isi pesan itu.

Sejenak, senyum samar terbit di sudut bibirnya, bukan senyum lega, lebih seperti refleks yang muncul di antara lelah dan rindu. Ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, memijit pelipis dan alisnya perlahan, mencoba meredakan tekanan di kepala yang sejak pagi tak kunjung reda.

Namun, di balik senyum tipis itu, ada sesuatu yang lain, perasaan campur aduk yang tak bisa ia beri nama.

“Mas, kamu lebih suka yang mana? Merah… atau hitam?”

Pesan itu muncul di layar ponsel Jodi, diikuti sebuah foto yang membuat napasnya tertahan sesaat.

Alin mengirimkan potret dirinya, berdiri di depan cermin, dengan senyum tipis dan tatapan yang sulit diartikan. Dua warna yang kontras membingkai lekuk tubuhnya, merah yang berani, hitam yang menggoda.

Jodi terpaku. Untuk sesaat, ruang kerjanya terasa menyempit. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, jemarinya bahkan sempat ragu untuk menyentuh layar.

Tanpa sadar, ia menelan salivanya sendiri, mencoba menenangkan diri. Tapi matanya tetap tak beranjak dari foto itu, dari sosok istrinya.

“Astaga Alin, bisa-bisanya kamu… aaarrrrgh …. apa dia tidak tahu kalau seperti ini aku jadi ingin memakannya?” gumamnya pelan.

Jodi segera menegakkan tubuhnya, menatap layar ponsel lebih lama dari yang seharusnya. Ujung jarinya sempat ragu, ingin membalas tapi juga sadar di mana ia berada, di ruang kerja, dengan berkas pasien terbuka di hadapannya.

Ia menarik napas panjang, mencoba menekan gejolak yang tiba-tiba menyeruak. Tapi bayangan tubuh Alin dalam dua warna itu sudah terpatri di pikirannya.

Ponselnya kembali bergetar.

 “Mas kenapa gak jawab… yang mana yang bikin Mas pengen cepat pulang?”

Kali ini, Jodi tersenyum kecil, menyerah pada rasa yang seharusnya ia tahan.

Jarinya menari di atas layar.

 “Keduanya. Tapi kalau kamu yang pakai, warna apa pun bisa bikin mas gila, Lin.”

Pesan terkirim. Dan detik itu juga, entah kenapa, Jodi merasa ada sesuatu yang mulai melampaui batas, antara cinta, hasrat, dan sesuatu yang tak lagi bisa ia kendalikan sepenuhnya..

......................

Sementara itu, di luar rumah sakit, Damar berdiri di samping mobilnya. Tangan kirinya dimasukkan ke saku celananya , matanya terus tertuju ke arah taman kecil di dalam area rumah sakit. Biasanya, di bangku tua di bawah pohon flamboyan itu, selalu ada sosok perempuan yang duduk diam, menatap kosong ke arah langit, seolah sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat.

Namun hari ini… bangku itu kosong.

Alis Damar berkerut. Ada rasa aneh menggelayuti dadanya,campuran cemas dan rindu yang tak beralasan. Ia sudah berhari-hari datang ke tempat itu, hanya untuk sekadar melihatnya dari jauh.

Ia tahu, seharusnya tidak begini. Seharusnya ia masuk, dan mungkin menyapanya. Tapi setiap kali langkahnya hampir melangkah ke dalam gerbang, sesuatu menahannya.

Akhirnya, seperti biasa, Damar hanya berdiri di sana.

Memandang taman yang kini kosong.

Dan hatinya terasa ikut kosong juga.

Namun rasa penasaran perlahan mengalahkan kegelisahan di dada Damar.

Ia menarik napas panjang, menatap sekali lagi ke arah bangku kosong di taman itu, lalu melangkah mendekati pos jaga di dekat gerbang utama.

Penjaga paruh baya di dalam pos itu tampak sedang menyesap kopi, menatap layar ponsel dengan malas. Damar berdiri di depan kaca kecil, mengetuk pelan.

“Permisi, Pak,” suaranya terdengar hati-hati. “Saya mau tanya… pasien yang biasa duduk di bangku bawah pohon itu, yang sering sendirian di taman, apa hari ini tidak keluar?”

Penjaga itu menatapnya sebentar, lalu mengerutkan dahi.

“Oh, yang perempuan rambutnya agak panjang itu?” tanyanya.

Damar mengangguk cepat. “Iya, yang itu. Namanya kalau gak salah, Miranda.”

Penjaga itu menurunkan kopinya pelan, ekspresinya berubah sedikit kaku.

“Oh.. neng Mira, ya…” gumamnya pelan. “Setahu saya, sejak semalam dia dipindahkan ke ruang isolasi. Katanya… mendadak mengamuk.”

Damar terpaku. Seketika tenggorokannya terasa kering.

“Isolasi?” ulangnya pelan, nyaris tak terdengar.

Penjaga itu mengangguk pelan, matanya ikut menatap ke arah taman yang kini sunyi.

“Iya, mas. Katanya semalam dia sempat teriak-teriak, bahkan mau nyakitin dirinya sendiri,” ujarnya lirih.

Lalu pandangannya beralih pada Damar, menatapnya lebih lama seolah baru mengenali sesuatu.

“Eh… tunggu dulu,” katanya sambil menyipitkan mata. “Mas ini kan, ya? Yang waktu itu sempat datang, nanyain neng Mira?”

Damar tertegun, tak sempat menyembunyikan kegugupannya. “I-iya, Pak… saya cuma—”

Belum sempat ia melanjutkan, penjaga itu sudah menyahut lagi, nada suaranya seperti menyimpan rasa ingin tahu.

“Waktu itu saya udah bilang ke dokter jaga kalau ada tamu buat neng Mira. Tapi pas saya balik ke depan, Mas-nya udah gak ada.”

Ia menatap Damar penuh arti. “Kenapa waktu itu gak jadi ketemu, Mas? Padahal neng Mira jarang banget ada yang jenguk.”

Kata-kata itu menggantung di udara, membuat dada Damar terasa semakin sesak. Ia menelan ludah, menunduk sedikit, mencari alasan, tapi yang keluar hanya napas berat yang tak jadi kata.

Dan hanya senyum tipis yang bisa Damar lakukan.

“Apa Mas-nya mau nengok neng Mira lagi?” tanya penjaga itu, suaranya lembut namun penuh selidik.

Damar terdiam sejenak. Tangannya refleks mengusap tengkuknya, gerakan gugup yang berusaha menutupi rasa canggung.

“Iya, Pak…” ujarnya akhirnya, suaranya pelan. “Tapi… apa saya boleh? Maksud saya, bolehkah saya melihat Miranda?”

Ada nada ragu di sana, seperti seseorang yang takut pada jawaban yang akan didengarnya sendiri.

“Kalau cuma sekadar melihat, tentu boleh, Mas,” jawab penjaga itu sambil menatap ke arah bangunan utama rumah sakit. “Tapi dari yang saya dengar, neng Mira masih belum stabil… kondisinya agak parah belakangan ini.”

Damar mengangguk pelan. Ada jeda hening sebelum ia kembali bersuara, suaranya nyaris seperti bisikan.

“Maaf, Pak… ini gak perlu diberi tahu ke dokternya, kan? Saya cuma ingin melihatnya… dari jauh saja.”

“Oh, iya boleh,” ujar penjaga itu akhirnya, nada suaranya menurun tapi ramah. “Tapi hanya sebentar ya, Mas… lima menit saja cukup?”

Ia menatap Damar sejenak, pandangan yang seperti ingin memastikan niatnya benar. “Saya nggak mau kena tegur kalau dokter tahu ada yang masuk tanpa izin.”

Damar mengangguk pelan, menelan ludah sebelum menjawab lirih,

“Lima menit pun cukup, Pak… asal saya bisa lihat dia.”

“Baiklah kalau begitu, ikuti saya, Mas,” ucap penjaga itu sambil meraih senter kecil di atas meja pos. Suaranya tenang, tapi langkahnya cepat menembus jalur samping rumah sakit yang agak gelap.

Damar mengikuti di belakang, diam, hanya terdengar suara gesekan sepatu mereka di lantai semen yang dingin.

“Udah lama saya nggak lihat orang sepeduli itu sama Neng Mira,” gumam penjaga itu tanpa menoleh. “Biasanya cuma dokter dan perawat aja yang ke sini. Nggak ada yang benar-benar datang buat dia.”

Damar menunduk sedikit, menyembunyikan raut wajahnya yang mulai sendu. “Saya… cuma ingin tahu keadaannya,” jawabnya lirih.

Mereka berhenti di depan lorong sempit yang mengarah ke ruang isolasi. Lampu neon di langit-langit berkelap-kelip pelan, menimbulkan bayangan panjang di dinding.

“Dari sini, Mas bisa lihat lewat kaca pengawas. Tapi jangan terlalu dekat, ya. Kadang pasien suka bereaksi kalau merasa diawasi,” ujar penjaga itu sambil menunjuk jendela kecil di ujung lorong.

Damar mengangguk, lalu melangkah perlahan.. Saat pandangannya sampai di balik kaca, dadanya tiba-tiba mengeras.

Di dalam, Miranda terbaring tenang. Wajahnya pucat, matanya tertutup, dan selang infus masih menempel di tangannya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Damar merasa iba, dan getir pada seseorang. Padahal sebelumnya ia tidak mengenal siapa itu Miranda.

Ia menempelkan telapak tangannya pelan di permukaan kaca, seolah berharap bisa menyentuhnya. “Luka apa yang sudah membuat kamu seperti ini?”

Penjaga itu menoleh dari kejauhan, melihat Damar berdiri diam seperti patung. Ada sesuatu di tatapan laki-laki muda itu.

“Waktunya sudah hampir habis, Mas,” kata penjaga itu lembut.

Tapi Damar tidak beranjak. Ia hanya tersenyum samar, matanya tetap menatap Miranda di balik kaca.

“Sebentar lagi saja, Pak… sebentar saja.” jawabnya, dan entah kenapa tanpa sadar ia menitikan air mata. Seorang Damar Keenan Valeo menangis.

Penjaga itu tertegun melihatnya, seorang pria muda berpenampilan rapi, yang dari luar tampak tenang dan tegar, kini berdiri di depan kaca ruang isolasi dengan air mata jatuh satu per satu di pipinya.

Ia menunduk, seolah malu pada perasaannya sendiri. Tapi hatinya justru semakin perih melihat Miranda yang terbaring tak berdaya. Ada sesuatu pada wajah perempuan itu, entah ketenangan atau kesedihan yang begitu dalam, yang membuat Damar sulit berpaling.

Ia mengusap air matanya cepat, tapi suaranya bergetar saat berbicara pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

“Aku bahkan nggak tahu kenapa bisa sesakit ini, hanya melihatmu seperti itu…”

......................

Setelah beberapa menit bertukar pesan dengan Alin, Jodi meletakkan ponselnya di meja. Ia menghembuskan napas panjang, lalu mulai merapikan berkas-berkas Miranda satu per satu, catatan perawatan, hasil observasi, hingga lembaran sketsa yang dipenuhi coretan emosi tak menentu. Ruang kerjanya senyap, hanya diisi dengung lampu dan desah napasnya sendiri.

Ada sesuatu yang menekan dadanya, getir yang menolak pergi. Ia mengenal kisah Miranda bukan dari kata-kata, tapi dari luka yang tertulis di setiap catatan medis dan tatapan kosong yang penuh ketakutan. Masa kecil yang dipenuhi kekerasan, pernikahan yang seharusnya membawa bahagia justru menjadi awal dari kehancuran. Hidup Miranda seolah dirangkai dari penderitaan yang berulang.

Jodi berhenti sejenak, menatap meja di depannya. Dalam pikirannya, wajah pria yang telah merobek hidup Miranda muncul samar, dan amarah yang selama ini ia redam tiba-tiba menyala. Ada dorongan liar untuk menuntut, untuk membuat orang itu merasakan sedikit saja dari sakit yang pernah dirasakan Miranda. Tapi ia tahu, ia tak bisa. Ia bukan hakim, bukan algojo. Ia hanya dokter yang harus tetap waras di tengah luka orang lain.

Namun di balik diamnya, Jodi tahu satu hal yang tak terbantahkan, Miranda pernah mencintai seorang pria bernama Gala, dengan seluruh jiwanya.

Cinta itu begitu dalam, sampai-sampai ketika ia jatuh, yang tumbuh bukan bahagia… melainkan luka yang tak kunjung sembuh.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Ada luka yang tak berdarah, tapi mengalirkan sepi seumur hidup.”

1
partini
kalau berjodoh ma dokternya kasihan jg Miranda lah dokter suka lobang doang nafsu doang
Nunna Nannie: 🙏🙏
Terimakasih sudah mampir,
total 1 replies
Aal
bagus... saya suka ceritanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!