Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum di tengah ujian
Hari ulangan penentu sebelum ujian akhir akhirnya tiba. Suasana kelas terasa tegang, setiap siswa menunduk serius menatap soal lembar di hadapan mereka.
Calista duduk dengan konsentrasi, pena di tangannya menari cepat di atas kertas, seakan semua materi yang ia pelajari mengalir lancar dari pikirannya.
Di sisi lain, Xavier tampak berbeda dari biasanya. Pandangannya tajam, penuh keyakinan. Tak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. Ia menulis dengan tenang, seolah membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu menghadapi ujian ini tanpa lagi dibayang-bayangi masa lalu yang selalu meremehkannya.
Sesekali Calista melirik ke arahnya, melihat betapa serius Xavier mengerjakan soal. Hatinya hangat, sebuah senyum kecil terukir di bibirnya. "Kamu pasti bisa, Vier," ucapnya dalam hati sebelum kembali fokus pada tugasnya.
Tiga puluh menit berlalu.
Ting!
"Ulangan telah selesai. Kevin, kumpulkan semua hasil ulangan teman-temanmu," ucap Ibu Mawar dengan tegas.
"Baik, Bu." Kevin segera berdiri, mengumpulkan lembar jawaban satu per satu, lalu meletakkannya di meja guru. "Terima kasih, Nak. Setelah jam istirahat, Ibu akan umumkan hasilnya," ujar Ibu Mawar sebelum meninggalkan kelas.
"Semoga kamu lulus," kata Calista pelan pada Xavier.
Xavier hanya mengangguk, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.
Senyum itu membuat Calista terpana sejenak. "Xavier... senyum," batinnya, buru-buru mengalihkan pandangan karena ia tahu tak akan kuat menatap senyuman manis itu terlalu lama.
Ting! Sebuah pesan masuk di ponsel Xavier. Ia membacanya cepat, lalu bertukar kode pandangan dengan Alvaro. Tak lama, keduanya bangkit meninggalkan kelas.
"Calista, kantin yuk," ajak Citra menoleh ke belakang.
Calista sempat melirik ke samping, mendapati bangku Xavier sudah kosong. Ia menghela napas pelan, entah lega atau justru kecewa.
"Calista, kantin yuk," ulang Citra kembali tersenyum.
Calista mengangguk, lalu ikut berdiri. Ini pertama kalinya ia menerima ajakan ke kantin.
"Kayaknya lo baru pertama kali ke kantin deh," celetuk Citra sambil berjalan.
Calista tersenyum tipis. "Iya... di sana ada buah, nggak?"
"Ada dong! Masa sekolah elit nggak jual buah sih," jawab Citra terkekeh. "Makanan sehat juga ada."
Calista menghela napas lega. Bukan karena ia tak mampu mencoba makanan lain, tapi menjaga kondisi tubuhnya tetap fit sampai ujian adalah hal yang tak bisa ia abaikan.
♡♡○♡♡
Kring! Kring!
Bel tanda masuk kelas berbunyi, para murid segera kembali ke bangku masing-masing dengan wajah tegang, menanti pengumuman hasil ulangan.
Calista melangkah masuk bersama Citra. Pandangannya sekilas menangkap Xavier yang kali ini sudah lebih dulu duduk rapi di bangkunya—tidak seperti biasanya. Hatinya sedikit lega melihat cowok itu tampak siap.
Beberapa menit kemudian, Ibu Mawar datang sambil membawa sebuah map dan senyum khasnya yang selalu menenangkan sekaligus membuat penasaran.
"Baiklah, anak-anak," ucapnya sambil membuka selembar kertas. "Langsung saja Ibu umumkan siapa yang berhak ikut ujian minggu depan."
Seluruh kelas menahan napas.
"Yang tidak lulus adalah... " Ibu Mawar menghentikan sejenak, membuat suasana makin tegang. "Yang tidak hadir hari ini."
Kelas mendadak hening.
"Maksud Ibu..." salah satu murid bersuara pelan.
"Ya, yang tidak hadir otomatis tidak lulus."
"Tapi, Bu... kita semua hadir," sahut yang lain.
Ibu Mawar tersenyum. "Itu artinya, kalian semua lulus."
"Yeay!" seluruh kelas sorak gembira.
Tepat setelah itu, Ibu Mawar menatap Xavier. "Dan khusus untuk Xavier... nilai ulangannya sempurna. Ibu bangga sekali padamu. Beri tepuk tangan!"
Prok, prok, prok... riuh tepuk tangan bergema di kelas.
Calista menoleh dengan senyum antusias. "Apa aku bilang, kamu hebat, Vier." matanya berbinar melihat keberhasilan Xavier.
Xavier ikut tersenyum bangga, lalu menatap Calista. "Thanks, ya."
Calista mengangguk sambil tersenyum puas. "Iya. Kamu harus tambah semangat belajarnya."
"Siap!" sahut Xavier sambil memberi hormat kecil, membuat Calista tak bisa menahan tawa.
♡♡○♡♡
"Calista..."
Calista yang sedang menunggu taksi di halte menoleh. Ia mendapati Xavier berjalan menghampirinya dengan wajah datar khasnya.
"Ada apa, Vier?" tanya Calista penasaran.
"Lo sibuk?" suara Xavier terdengar tenang.
"Enggak, Calista nggak sibuk kok," jawabnya polos.
Xavier mengangguk singkat. "Hmm... karena lo udah bantu gue, gue bakal traktir lo jalan-jalan."
Mata Calista langsung membesar. "Jalan-jalan?" ulangnya tak percaya.
"Iya. Lo mau nggak?"
"Mau, mau! Kapan lagi aku bisa jalan-jalan," sahut Calista cepat, matanya berbinar penuh semangat.
Sudut bibir Xavier terangkat membentuk senyum tipis. "Ya sudah, lo tunggu di sini. Gue ambil motor dulu." setelah berkata begitu, ia berbalik menuju parkiran.
Calista menunduk sejenak, menahan senyum yang tak bisa hilang dari wajahnya. "Xavier ngajak aku jalan-jalan..." bisiknya dengan pipi yang memerah malu.
••
Di dalam mall, suasana siang itu begitu ramai. Lampu-lampu toko berkilauan, musik dari setiap gerai bercampur dengan hiruk-pikuk pengunjung. Calista berjalan di samping Xavier dengan mata berbinar, sesekali berhenti menatap etalase penuh hiasan cantik dan makanan menggoda.
Sementara itu, Xavier dengan gaya cueknya—kedua tangannya di masukkan ke dalam saku. Namun, sesekali ia melirik ke arah Calista. Senyum tipis yang tak bisa ia sembunyikan muncul setiap kali melihat gadis itu tampak bahagia. Baginya, menikmati ekspresi Calista jauh lebih menyenangkan daripada apapun yang ditawarkan mall besar itu.
Calista berlari kecil menuju sebuah toko aksesoris, lalu berhenti di depan rak berisi boneka-boneka lucu. Matanya berbinar penuh antusias. Xavier hanya menggeleng kecil melihat tingkahnya, tetapi sudut bibirnya kembali terangkat membentuk senyum. Mereka melangkah dari satu toko ke toko lain, tawa kecil Calista selalu terdengar, membuat suasana siang itu terasa lebih ringan.
Tak lama, langkah Calista berhenti di depan mesin capit boneka. Wajahnya berbinar penuh semangat.
"Aku mau coba!" serunya riang, lalu segera membeli koin.
Xavier berdiri di sampingnya, setia menunggu. Calista memasukkan koin pertama, lalu mencoba menggerakkan capit itu dengan penuh konsentrasi. Namun hasilnya nihil. Begitu juga percobaan kedua dan ketiga.
"Yah, gagal lagi..." gumamnya dengan penuh wajah kecewa.
Xavier tersenyum tipis, lalu maju dan mengambil koin dari saku. "Sini, gue coba."
Dengan sekali percobaan, capit itu berhasil mengangkat boneka tepat yang diinginkan Calista. Ia mengambilnya, lalu mengulurkannya pada gadis itu. "Buat lo."
Mata Calista melebar, tak percaya. "Serius? Ini untuk Calista?" tanyanya dengan wajah berbinar.
"Iya," jawab Xavier singkat, tapi tulus.
Senyum lebar merekah di wajah Calista. "Terima kasih, Vier!" serunya sambil memeluk boneka itu erat-erat.
Xavier hanya mengangguk kecil, tapi dalam hati ia merasa puas melihat senyum tulus Calista yang seolah bisa menerangi seluruh mall siang itu.
Setelah puas berkeliling dari satu toko ke toko lain, tangan Calista kini dipenuhi kantong belanjaan—mulai dari aksesoris lucu hingga beberapa cemilan sehat yang ia pilih sendiri. Semuanya tak lain adalah pemberian Xavier, yang tampak banyak kata membiarkannya membeli apa saja yang membuat gadis itu tersenyum. Gadis itu berusaha menenteng semuanya sekaligus, namun langkahnya terhenti kikuk.
Xavier yang sedari tadi berjalan di sampingnya hanya melirik sebentar, sebelum akhirnya meraih semua kantong dari tangan Calista tanpa banyak bicara.
"Eh, gak usah, Vier! Ini belanjaan aku, aku bisa bawa sendiri kok," ucap Calista cepat, mencoba menahannya.
Namun Xavier tetap cuek. Dengan mudah ia mengambil semua kantong itu, lalu membawanya dengan satu tangan.
"Udah, gue aja yang bawa. Lo tinggal jalan santai."
Calista hanya terdiam, wajahnya memerah. Senyum kecil tak bisa ia tahan saat menatap punggung Xavier yang kini berjalan sedikit di depannya, menenteng belanjaannya seolah itu bukan apa-apa.
Di matanya, sikap sederhana itu terasa lebih manis daripada hadiah apapun.