NovelToon NovelToon
Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Perjodohan / Romantis / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:302
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Negosiasi

Dewi mengangkat kepala, matanya sedikit bengkak.

“Ada apa?” suaranya datar.

Gunawan duduk di bangku seberang, menjaga jarak.

“Soal tadi siang... aku minta maaf.”

Dewi menghentikan gerakannya. “Sudah berapa kali kau minta maaf hari ini?”

“Sampai kau percaya,” jawab Gunawan, suaranya tulus.

“Aku beneran nggak sengaja. Aku cuma... takut.”

“Takut apa?”

“Takut... Arya itu beneran ngerebut kamu,” kata Gunawan, akhirnya. Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa ia saring. Ia langsung menyesalinya. Ini bukan bagian dari sandiwara.

Dewi menatapnya, ekspresinya sulit ditebak.

“Kau pikir aku semudah itu digoyahkan?”

Gunawan menggeleng cepat.

“Bukan gitu. Aku tahu kamu kuat. Tapi... aku nggak suka cara dia lihat kamu. Cara dia ngomong sama kamu.” Ia menunduk.

“Aku nggak bisa lihat kamu diganggu gitu.”

Ada keheningan panjang. Angin malam berembus, membawa aroma sisa masakan dan debu.

“Aku juga nggak suka kalau hidupku diatur-atur, Gunawan,” kata Dewi, suaranya lebih lembut dari yang Gunawan duga.

“Baik sama dia, maupun sama kamu. Aku sudah bilang, aku benci dikendalikan.”

Gunawan mengangkat kepala.

“Aku tahu. Itu salahku. Aku melanggar janji.” Ia menghela napas.

“Aku... aku cuma bingung harus gimana. Pak RT, Bu Ida, Love Brigade, mereka semua terus ngawasin kita. Terus bikin kencan wajib aneh-aneh. Terus muncul si Arya itu. Aku nggak tahu harus ngadepinnya gimana tanpa bikin kamu marah.”

Dewi menatap Gunawan lagi. Kali ini, ada sedikit pengertian di matanya.

“Aku juga sama. Capek. Rasanya kayak boneka pameran.”

“Nah itu dia,” Gunawan menyahut cepat.

“Kita butuh keseimbangan. Antara sandiwara ini sama... ruang pribadi kita.”

Dewi mengerutkan kening.

“Maksudmu?”

“Maksudku, kita nggak bisa terus-terusan jadi tontonan mereka,” jelas Gunawan.

“Kita harus bisa menolak, atau setidaknya mengurangi, intervensi mereka. Kita butuh waktu buat... ‘mengenal lebih pribadi’.”

“Mengenal lebih pribadi?” Dewi mengulang, nadanya skeptis.

“Kedengarannya kayak alasan buat pacaran beneran.”

Gunawan tersenyum tipis.

“Kan itu yang mereka mau lihat, Wi. Kita bilang aja kita butuh waktu lebih intim, lebih personal, buat membangun fondasi pernikahan yang kuat. Biar nggak cuma pamer di depan umum.”

Dewi berpikir sejenak.

“Tapi mereka pasti curiga. Apalagi si Bu Ida.”

“Kita bikin aja alasan yang meyakinkan,” kata Gunawan.

“Bilang aja kita mau lebih fokus ke persiapan mental dan batin. Biar pernikahan kita nanti benar-benar dari hati, bukan cuma karena paksaan.” Ia menatap Dewi.

“Gimana? Lumayan kan, bisa bernapas sedikit?”

Dewi menghela napas panjang.

“Ide yang lumayan gila. Tapi... aku suka bagian ‘bernapas sedikit’ itu.” Ia tersenyum tipis, senyum tulus pertama yang Gunawan lihat sejak futsal.

“Oke. Aku setuju. Jadi, gimana caranya kita bilang ke mereka?”

Gunawan tersenyum lega.

“Besok pagi, pas kita mau mulai jualan barang antik. Kita hadapi mereka.”

*

Keesokan paginya, lapak pasar loak sudah ramai. Aroma barang bekas, kopi, dan debu bercampur jadi satu. Gerobak Gunawan dan Dewi diparkir berdampingan, namun kali ini bukan untuk menjual rujak atau seblak. Di atas meja lipat yang mereka pinjam, berjejer beberapa barang antik peninggalan lapak: sebuah patung kayu ukiran dewa kemakmuran yang sudah kusam, piringan hitam tua, mesin tik jadul, dan sebuah vas keramik biru-putih yang terlihat rapuh.

“Gunawan! Dewi! Sudah siap?!” Suara Bu Ida melengking dari kejauhan.

Ia datang bersama Bu Marni dan Bu Tuti, mata mereka awas mengawasi. Di belakang mereka, Pak RT berjalan dengan langkah mantap.

“Sudah, Bu Ida!” jawab Gunawan, berusaha terdengar semangat. Ia melirik Dewi, yang mengangguk samar, memberi isyarat bahwa ia siap.

“Ini dia! Barang-barang antik warisan lapak!” Pak RT menunjuk ke meja mereka.

“Ingat, kalian harus jual setidaknya satu barang berharga mahal. Ini ujian mental, insting bisnis, dan negosiasi kalian sebagai pasangan!”

Bu Ida menyipitkan mata.

“Nah, sebelum itu, kami mau tanya. Semalam kalian ke mana saja? Kok langsung pulang? Tidak ada laporan kencan lagi dari Love Brigade!”

Gunawan menelan ludah. Ini dia saatnya. Ia melirik Dewi, lalu maju selangkah.

“Bu Ida, Pak RT, dan Ibu-ibu sekalian.” Ia berusaha terdengar tenang dan meyakinkan.

“Kami... kami sudah diskusi semalam.”

Dewi menambahkan,

“Kami merasa, selama ini kencan wajib kami terlalu... terbuka. Terlalu banyak dilihat orang.”

Bu Ida langsung berkacak pinggang.

“Lho, memangnya kenapa?! Itu kan biar semua warga tahu kalau kalian memang serius!”

“Justru itu, Bu Ida,” Gunawan melanjutkan, nadanya diplomatis.

“Kami khawatir, kalau terus-terusan seperti ini, pernikahan kami nanti malah terasa seperti... sandiwara. Hanya untuk pamer.” Ia menatap Dewi, seolah mencari dukungan, dan Dewi membalas tatapannya dengan senyum tipis.

“Kami ingin pernikahan kami nanti benar-benar tulus, dari hati,” kata Dewi.

“Jadi, kami sepakat, kami butuh waktu untuk ‘mengenal lebih pribadi’.”

“Mengenal lebih pribadi?” Bu Marni mengulang, tangannya memegang dagu.

“Betul,” Gunawan mengangguk.

“Kami ingin lebih banyak waktu berdua, tanpa pengawasan ketat. Berdiskusi, memahami karakter masing-masing, dan membangun fondasi yang kuat untuk rumah tangga kami.”

“Ini demi kebaikan pernikahan kami sendiri, Bu,” Dewi menambahkan, suaranya meyakinkan.

“Biar kami bisa benar-benar jatuh cinta, bukan cuma pura-pura.”

Love Brigade saling pandang. Pak RT juga terlihat berpikir. Argumen ini, meskipun sedikit licik, terdengar masuk akal dari sudut pandang mereka yang menginginkan pernikahan yang 'tulus'.

“Jadi, maksudnya kalian mau menolak kencan wajib kami?!” Bu Ida akhirnya menyahut, nada suaranya sedikit curiga.

“Bukan menolak, Bu,” Gunawan cepat-cepat membantah.

“Tapi mungkin... sedikit mengubah formatnya. Kami tetap akan menjalankan kencan wajib, tapi mungkin tidak perlu selalu diikuti oleh Love Brigade. Atau, kami yang akan melaporkan hasilnya setelahnya. Biar kami punya ruang untuk lebih... jujur satu sama lain.”

Dewi mengangguk.

“Ini demi mental kami juga, Bu. Biar kami nggak merasa tertekan.”

Pak RT akhirnya angkat bicara.

“Hmm. Ada benarnya juga. Pernikahan itu kan harus dari hati. Kalau terlalu dipaksa, nanti malah tidak langgeng.” Ia melirik Bu Ida.

“Bagaimana, Bu Ida? Ide ini bisa dipertimbangkan.”

Bu Ida mengerutkan kening.

Membuat Dewi dan Gunawan menahan nafas, kalau sampai permintaan mereka ini tidak di setujui oleh Bu Ida maka semua orang juga akan menolak nya, pikiran-pikiran itu terus membayang di pikiran mereka, sampai satu kalimat yang keluar dari mulut Bu ida membalikkan isi pikiran mereka.....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!