Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 / THTM
Sudah seminggu berlalu sejak hari itu di kantor.
Dan sejak saat itu pula, hidup Nayara berubah jadi ruang sempit yang menyesakkan.
Pagi, ia berusaha tersenyum di depan Elara, berpura-pura tak terjadi apa-apa.
Siang, ia masih bisa tertawa di sekolah, menutupi wajah lesunya dengan keceriaan palsu.
Tapi malam… begitu ia sendirian, semua ketenangan lenyap.
Ia terjaga lama di tempat tidur, memandangi langit-langit kamar, jantungnya berdetak cepat setiap kali ponselnya bergetar.
Pesan dari Alaric selalu singkat, tapi setiap hurufnya seperti belenggu baru.
“Besok jam lima sore, ke kantor.”
“Jangan telat.”
“Jangan buat aku menjemputmu.”
Kalimat-kalimat sederhana itu cukup untuk membuat seluruh tubuh Nayara gemetar.
Ia tak bisa menolak — bukan karena tak ingin, tapi karena tahu Alaric tidak main-main dengan ancamannya.
Ia bahkan tak berani menatap wajah Elara terlalu lama, takut sahabatnya melihat ada sesuatu yang salah.
Pernah sekali Elara bertanya,
“Nay, kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kayak banyak yang kamu pikirin.”
Dan Nayara cuma tersenyum. Senyum yang kaku, tipis, seperti benang yang bisa putus kapan saja.
“Nggak kok. Cuma capek belajar.”
Itu alasan yang paling aman.
Dan Elara percaya.
Setidaknya, sejauh ini.
Tapi yang membuat Nayara makin tercekik bukan hanya ancaman Alaric, melainkan dirinya sendiri — tubuhnya yang kadang bereaksi aneh tiap kali mengingat pria itu.
Ia benci perasaan itu, benci sensasi yang tiba-tiba muncul tanpa bisa dikendalikan.
Aku jahat banget, pikirnya dalam hati.
Kenapa aku malah ingat hal itu? Kenapa bagian tubuhku yang lain malah... seperti merindukannya?
Ia menutup wajah dengan kedua tangan, berusaha menenangkan napasnya. Tapi semakin ia menolak, semakin pikirannya justru berputar pada sosok pria itu — pada tatapan, suara, bahkan aroma parfumnya.
Aku harus berhenti mikirin dia... harus.
Tapi setiap kali ia mencoba menghapus bayangan itu, suara pesan masuk dari Alaric kembali menggema.
Dan semua keteguhan yang ia bangun runtuh begitu saja.
Di luar kamar, terdengar langkah kaki Elara.
Nayara buru-buru menarik selimut, berpura-pura tidur.
Padahal air matanya belum kering.
Dalam hati ia hanya bisa berdoa, agar suatu hari, semua ini benar-benar bisa berakhir.
Tapi entah mengapa… bagian kecil dalam dirinya tahu, permainan Alaric baru saja dimulai.
———
Sore itu, langit Jakarta tampak mendung.
Awan menggantung berat, seolah tahu apa yang akan terjadi di dalam gedung tinggi itu.
Nayara berdiri di depan cermin kecil di ruang ganti staf, menggenggam tas dengan tangan gemetar.
Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri pagi tadi — tidak akan datang ke sini lagi.
Tapi seperti boneka tanpa benang, kakinya tetap melangkah.
Karena satu hal: takut.
Jika ia tak datang, Alaric akan bicara.
Dan jika Alaric bicara… semua yang ia sembunyikan bisa hancur.
Ibunya, ayahnya, Elara — semua bisa tahu hal yang bahkan Nayara sendiri ingin lupakan.
Ia menghela napas panjang, lalu mengetuk pintu ruangan pria itu.
Tak ada jawaban.
Hening.
Lalu suara berat yang sudah sangat dikenalnya terdengar dari dalam.
“Masuk.”
Langkahnya pelan. Terlalu pelan, hingga karpet di bawah kakinya nyaris tak bersuara.
Begitu pintu tertutup, aroma ruang itu langsung menyerang inderanya — aroma khas parfum Alaric yang hangat tapi berbahaya.
Pria itu sedang duduk di balik meja, kemejanya terbuka di bagian atas, lengan digulung.
Ia tak menatap Nayara dulu.
Hanya bermain dengan pena di jarinya sambil berkata pelan,
“Kau datang.”
“Ka–karena…”
Nayara tak melanjutkan kalimatnya.
Suara yang keluar dari bibirnya begitu lirih, hampir tak terdengar.
Alaric mendongak, menatap langsung ke arah gadis itu.
Tatapan yang membuat seluruh keberanian Nayara menguap.
“Karena apa?” tanya Alaric, suaranya rendah, tenang, tapi penuh tekanan.
“Aku nggak mau semua orang tahu,” jawab Nayara akhirnya, menunduk.
Pria itu berdiri, langkahnya mendekat.
Langkah demi langkah.
Sampai Nayara bisa mendengar detak jam di pergelangan tangannya.
“Lihat?” ujarnya pelan. “Kau paham aturan mainnya.”
Ia berhenti tepat di depan Nayara, mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jarinya, memaksanya menatap mata abu-abu tajam itu.
“Kau masih pura-pura nggak ingat malam itu, hm?”
“Jangan ngomongin itu…”
Suara Nayara bergetar.
Tapi Alaric hanya tersenyum kecil.
Bukan senyum bahagia — tapi senyum seseorang yang tahu dia punya kendali penuh atas orang lain.
“Aku nggak akan ngomong apa-apa,” katanya, nada suaranya seperti bisikan di telinga. “Asal kau tahu tempatmu, dan main sesuai keinginanku.”
Nayara menelan ludah.
“Kalau aku nggak mau?”
Alaric tertawa pelan, lalu mendekat sedikit lagi — cukup dekat hingga napasnya terasa di leher Nayara.
“Maka semua orang akan tahu,” ujarnya, menepuk pelan pipi Nayara sebelum mundur satu langkah.
“Kau yang pilih.”
Nayara menggenggam erat tasnya, menatap lantai.
Rasanya dunia jadi kecil sekali.
Ia ingin marah, tapi takut.
Ingin lari, tapi tak tahu ke mana.
Dan di tengah semua kekacauan itu, satu hal terlintas di kepalanya —
suara Elara tertawa di taman belakang rumah.
Sahabatnya.
Rumah yang tenang.
Masa lalu yang hangat.
Sekarang, semua itu terasa jauh sekali.
Apa aku akan terus begini? pikir Nayara getir.
Atau aku harus mencari cara untuk keluar dari permainan orang ini?
Di belakangnya, suara langkah Alaric terdengar lagi.
Tapi kali ini ia tak mendekat.
Ia hanya berkata dari balik meja, dengan nada yang dingin tapi mantap,
“Kita belum selesai, Nayara. Besok… aku mau kau kembali.”
Dan gadis itu tahu — mulai saat ini, hidupnya benar-benar bukan miliknya lagi.
———
Langit sore berubah gelap saat Nayara keluar dari gedung itu.
Hujan baru saja turun, menyisakan aroma aspal basah yang menusuk hidung.
Tangannya gemetar saat menggenggam tali tas, berusaha menahan napas agar tidak pecah di depan semua orang.
Ia berjalan cepat, tanpa tujuan.
Orang-orang berpayung di sekelilingnya, tapi Nayara tak peduli.
Ia hanya ingin jauh — sejauh mungkin dari ruangan itu, dari tatapan pria itu.
Tapi seaneh apa pun, langkahnya tetap menuju halte yang sama seperti kemarin.
Tubuhnya seolah tahu ke mana harus pulang, bahkan saat pikirannya hancur.
Bus berhenti.
Ia naik dan duduk di kursi paling belakang, memeluk tasnya.
Hujan kembali turun, dan butir air yang menetes di jendela membuat pandangannya kabur.
“Kenapa harus aku…” bisiknya pelan.
Suaranya hilang tenggelam oleh deru mesin.
Bayangan wajah Alaric muncul di pikirannya.
Nada suaranya.
Cara pria itu menatapnya, menyentuh dagunya, seolah ia hanyalah permainan.
Nayara memejamkan mata keras-keras, mencoba menghapus semua itu.
Tapi semakin ia menolak, semakin kuat kenangan itu datang —
desahan, tekanan, napas berat… semuanya menempel di kulitnya seperti luka yang tak bisa dicuci.
Ia menunduk, air mata jatuh satu-satu ke pangkuannya.
“Aku benci dia…”
“Aku benci diriku sendiri.”
Namun di sela tangisnya, ada sesuatu yang lain.
Sebuah perasaan kecil yang tak ia mengerti.
Perasaan yang membuatnya semakin membenci dirinya sendiri — karena tubuhnya ingat sesuatu yang otaknya ingin lupakan.
Bus berhenti.
Ia turun, berjalan menyusuri gang sempit menuju rumah kecilnya.
Lampu-lampu jalan redup, dan suara serangga jadi satu-satunya musik malam.
Begitu sampai di depan pintu, ia berhenti.
Matanya menatap lama rumahnya yang sederhana itu.
Tempat yang dulu jadi pelarian dari dunia luar, kini terasa sempit dan penuh rahasia.
Ia masuk pelan, lalu duduk di lantai ruang tamu, memandangi jendela yang masih berembun.
“Sampai kapan harus seperti ini…” gumamnya lirih.
“Aku nggak kuat.”
Tangannya menutupi wajah, bahunya berguncang.
Tapi di sela tangis itu, sesuatu muncul —
sebuah rasa yang samar, seperti bara kecil di antara abu.
Kalau aku terus diam, dia nggak akan berhenti.
Kalimat itu berputar-putar di kepalanya.
Tak sekeras keyakinan, tapi cukup untuk menyalakan sedikit keberanian.
Ia menggenggam pergelangan tangannya sendiri erat-erat.
“Nayara nggak boleh lemah terus,” ucapnya pelan pada dirinya sendiri.
“Harus ada cara.”
Di luar, petir menyambar.
Dan untuk pertama kalinya, Nayara menatap bayangannya sendiri di kaca — bukan dengan takut, tapi dengan mata yang sedikit lebih tegas.