"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Terakhir
Malam itu langit cerah bertabur bintang. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Di tengah area pantai, api unggun besar menyala, menciptakan lingkaran hangat tempat para karyawan duduk lesehan. Gelak tawa terdengar di sana-sini, suasananya jauh lebih santai dibandingkan dengan hari sebelumnya.
Riri duduk bersama Rico dan Tami di lingkaran api unggun. Ia mengenakan jaket tipis dan celana panjang, rambutnya diikat santai. Dari kejauhan, ia melihat Bastian sedang berbincang dengan para manager. Tapi sesekali mata mereka saling bertemu tanpa sengaja. Begitu tatapan itu terjadi, jantung Riri berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Eh, Ri… jangan ngelamun lo, Kita mau main game seru lagi nih,” bisik Tami sambil menyikut pelan.
“Apa lagi?” Riri mengernyit.
“Truth or dare lagi lah” jawab Rico dengan mata berbinar. “Kalau lo nolak, berarti lo otomatis dapat dare berat.”
“Ya ampun, Ric… main ini mulu, emang gak ada game lain?" keluh Riri.
“Justru itu, supaya malam terakhir gak kaku, kita main game ini lagi,” Tami terkekeh.
Permainan pun dimulai. Beberapa staf sudah saling melakukan dare yang aneh. Mulai dari push-up sambil nyanyi sampai nembak temen sendiri buat lucu-lucuan. Suasana makin pecah ketika tiba giliran Bastian.
“Pak Bastian, truth or dare?” tanya panitia dengan suara menggoda.
Semua mata tertuju padanya.
Bastian menyandarkan punggung dengan tenang, lalu berkata, “Truth.”
“Wahhh… Pak Bas main aman kayaknya,” celetuk Rico.
Panitia tersenyum nakal. “Pertanyaan sederhana, Pak. Apa Bapak sedang dekat dengan seseorang akhir-akhir ini?”
Suasana mendadak hening… lalu pecah jadi heboh.
“Woooooo!!!”
Bastian tersenyum samar. “Dekat… mungkin iya, mungkin juga tidak,” jawabnya santai. Tatapannya sekilas mengarah ke Riri — cukup singkat, tapi cukup bikin Riri langsung salah tingkah dan pura-pura sibuk minum air kelapa.
“Waduh, jawaban Pak Bastian bikin penasaran,” bisik Tami ke Riri.
“Diam deh Tam!” Riri menutup mukanya dengan tangan, pipinya memanas.
---
“Sekarang… Giliran Riri!” seru panitia.
“Ha? Aku lagi?” Riri menunjuk dirinya sendiri dengan mata membesar.
“Iya. Truth or dare?”
Rico langsung berbisik, “Pilih truth aja, dare biasanya disuruh bikin malu.”
Riri menggigit bibir, “Truth.”
“Pertanyaan…” panitia sengaja berhenti sejenak, membuat semua tegang. “Siapa orang yang paling bikin kamu terpesona sejak awal masuk kantor?”
“Wahhh!!” Semua orang bersorak.
Riri langsung terbatuk, “Ha? Pertanyaan apa itu?!”
“Jawab atau dapat dare!” seru panitia.
Riri melirik ke arah Bastian tanpa sadar — refleks. Tapi gerakan kecil itu tidak luput dari mata Tami dan Rico, yang langsung cekikikan seperti detektif menemukan bukti.
“Aku… eee…”
“Waktunya 5… 4… 3…”
“Udah deh dare aja!” seru Riri panik.
“Oke kalau gitu!” kata panitia semangat. “Darenya… kamu harus berdansa dengan orang yang duduk paling jauh dari kamu selama satu lagu penuh.”
Semua langsung menoleh. Dan… yang duduk paling jauh dari Riri?
Bastian.
Riri terpaku. “Serius?”
“Yap! Aturan gak bisa diganti!” jawab panitia sambil ngakak.
Bastian tertawa kecil, berdiri dari tempat duduknya, lalu berjalan mendekati Riri dengan langkah tenang. Semua orang mulai bersorak heboh seperti nonton drama.
“Mau dansa sama saya?” tanya Bastian sambil mengulurkan tangan. Tatapannya tenang… tapi hangat.
Riri menatap tangannya sebentar, lalu pelan-pelan menggenggamnya. “Ini cuma dare ya, Pak…” gumamnya gugup.
“Hmm, iya saya tau ” jawabnya datar, tapi ujung bibirnya terangkat tipis.
Lagu pelan mengalun dari speaker, irama romantis yang bikin suasana makin tidak terkendali. Keduanya berdiri di pinggir api unggun, bergerak pelan mengikuti irama. Riri berusaha fokus pada langkahnya, tapi keberadaan Bastian terlalu dekat… terlalu nyata. Tangannya terasa hangat di genggaman.
“Tenang saja, saya gak akan gigit,” ucap Bastian pelan.
“Pak… saya malu banget,” bisik Riri.
“Anggap saja latihan public speaking,” balasnya dengan nada ringan.
Rico dan Tami dari kejauhan sudah seperti suporter, “Yeeeeey!! Pasangan gathering 2025!!”
Riri ingin menutup wajahnya dengan bantal — tapi tak bisa kabur dari momen ini. Sepersekian detik saat matanya bertemu dengan mata Bastian… waktu seakan melambat.
---
Lagu selesai. Sorak-sorai pun pecah. Riri buru-buru melepas tangannya dan mundur satu langkah sambil menunduk, wajahnya terlihat begitu.
“Terima kasih… dare-nya menyenangkan,” kata Bastian pelan.
“Pak jangan becanda,” gumam Riri.
Bastian hanya tertawa kecil, lalu kembali ke tempat duduknya. Sementara Riri duduk lagi di samping Rico, jantungnya masih belum kembali ke ritme normal.
“Ri…,” bisik Rico pelan. “Kalau lo gak baper abis dansa begitu, gue deh Ri kayaknya yang baper. .”
“Berisik lo, Ric!” balas Riri sambil meninju pelan lengannya.
Malam terakhir gathering pun berjalan hangat, dengan tawa dan sorak-sorai… tapi di antara semua itu, ada chemistry tak terucap yang perlahan makin terasa jelas.
Setelah acara api unggun selesai, semua karyawan bersiap-siap naik bus kembali ke hotel yang menjadi tempat penginapan mereka. Suasana cukup ramai, semua saling bercanda, membawa peralatan, dan berfoto-foto. Riri yang masih sedikit salah tingkah setelah “dare dansa” tadi, memilih menjauh sebentar ke pinggir pantai untuk menenangkan diri.
“Aduh, kenapa jantung gue deg-degan banget sih…” gumamnya sambil melihat ke arah laut yang gelap. “Padahal kan itu cuma dare.”
Sementara itu, Bastian sedang menerima telepon penting dari salah satu klien luar negeri, sehingga ia juga melangkah menjauh dari kerumunan. Begitu teleponnya selesai, ia berbalik—dan mendapati pantai sudah mulai kosong.
“Lho…” Bastian menyipitkan mata. Bus-bus yang tadinya parkir sudah mulai bergerak satu per satu.
---
Saat Riri kembali ke tempat kumpul bersama tadi, tak ada siapa pun. Hanya pasir, sisa api unggun, dan beberapa bekas jejak kaki.
“Ha?! Kok sepi banget?! Tami?! Rico?!” Riri panik, berlari kecil ke arah parkiran.
Yang terlihat hanya satu bus yang mulai menjauh.
“Seriusan?! Mereka ninggalin aku?!”
“Riri?” suara dalam terdengar dari belakang.
Riri menoleh cepat. “Pak Bastian?!”
“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Bastian sambil mendekat, ekspresinya bingung.
“Harusnya saya yang nanya, Pak! Semua orang pada kemana? kenapa mereka pergi?”
Bastian menarik napas panjang, “Saya tadi habis angkat telepon sebentar. Kayaknya mereka pergi tanpa ngecek ulang.”
Riri memegang kepalanya, “Ya ampun… ini berarti kita…”
“…ketinggalan bareng,” lanjut Bastian datar.
Mereka saling pandang sesaat, lalu secara bersamaan berkata.
“Ini gila.”
“Ini gak mungkin.”
Bastian mengeluarkan ponselnya, mencoba menelepon panitia. Sementara Riri mondar-mandir seperti ayam kehilangan induk.
“Gimana, Pak?” tanyanya gelisah.
“Nomor panitia susah dihubungi, mungkin sinyalnya jelek. Kita jalan ke arah jalan raya dulu. Siapa tau ada kendaraan umum yang bisa kita tumpangi buat sampai ke hotel,” jawab Bastian tenang.