Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Rianti bekerja di perusahaan milik Bramantya, mantan suami adiknya. Menjelang pernikahannya dengan Prabu, ia mengalami tragedi ketika Bramantya yang mabuk dan memperkosanya. Saat Rianti terluka dan hendak melanjutkan hidup, ia justru dikhianati Prabu yang menikah dengan mantan kekasihnya. Di tengah kehancuran itu, Bramantya muncul dan menikahi Rianti, membuat sang adik marah besar. Pernikahan penuh luka dan rahasia pun tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Matahari menerangi ruang perawatan dimana mereka berdua masih tertidur pulas.
Beberapa menit kemudian Rianti membuka matanya dan melihat suaminya yang masih tertidur pulas
Disaat yang bersamaan, perawat datang untuk memeriksa keadaan Rianti.
"Selamat pagi, Mbak. Saya periksa dulu tekanan darahnya." ucap perawat yang kemudian mengukur tekanan darah Rianti.
Perawat tampak terkejut melihat angka yang muncul di alat pengukur tekanan darah.
“Tekanannya 90 per 60, Mbak Rianti. Agak rendah, ya, Mbak harus banyak makan dan jangan banyak pikiran dulu. Kalau tidak, nanti bisa pusing atau pingsan lagi.”ucap sang perawat dengan nada lembut namun tegas.
Rianti menganggukkan kepalanya sambil melihat suaminya yang baru bangun.
Bramantya langsung bangkit dari tempat tidur saat melihat ada perawat yang memeriksa keadaan Rianti.
"Bagaimana keadaan istri saya pagi ini?" tanya Bramantya.
"Tekanan darahnya sangat rendah sekali, Pak. Saya meminta Mbak Rianti untuk makan yang banyak." jawab perawat.
Belum sempat Bramantya bertanya lebih lanjut, pintu kamar kembali terbuka.
Seorang perawat berbeda masuk sambil membawa sebuah nampan besar berisi semangkuk bubur ayam hangat, telur rebus, segelas susu, dan beberapa potong roti.
“Maaf mengganggu, ini sarapan untuk Mbak Rianti,” ucap perawat itu dengan senyum ramah.
Rianti menatap bubur itu tanpa semangat, tapi Bramantya langsung sigap menghampiri dan mengambil nampannya.
“Terima kasih, Mbak. Saya yang bantu.” ujar Bramantya sambil menaruh nampan itu di meja kecil di samping tempat tidur.
Namun sebelum sempat mengambil sendok, suara dering ponsel tiba-tiba memecah suasana.
Bramantya merogoh saku celananya dan melihat layar ponsel yang menyala dimana Mama Dewi yang sedang menghubungi mereka.
Wajah Rianti langsung pucat.
“Angkat, Bram,” ucapnya pelan.
Bramantya mengangguk lalu menggeser tombol hijau dan menaruh ponselnya di mode speaker.
“Halo, Bram? Di mana kalian? Kenapa dari kemarin nggak ada kabar?” suara Mama terdengar tegas dan penuh kekhawatiran.
Rianti menelan ludah pelan lalu menjawab dengan suara pelan namun jelas,
“Ma, aku di rumah sakit.” ucap Rianti yang mengambil ponsel suaminya.
“APA? KENAPA KAMU DI RUMAH SAKIT? BRAMANTYA, KAMU NGAPA—”
“Ma, ma, sabar dulu! Aku cuma terpeleset di kamar mandi. Kepalaku kebentur. Nggak parah, cuma perlu istirahat.”
Mama terdengar mendengus dari seberang, suara napasnya masih cepat karena marah.
“TERPELESET? Itu alasan paling klise sedunia, Rianti! Kamu pikir Mama nggak kenal kamu?!”
“Ma…” suara Rianti mulai melemah, matanya berkaca-kaca.
Namun sebelum sempat ia menjelaskan lagi, panggilan langsung diputus.
Tut…
Rianti dan Bramantya saling berpandangan saat Mama mematikan ponselnya
“Dia marah, ya?” ujar Rianti lirih.
Bramantya menghela napas panjang. Ia meraih jemari istrinya dan menggenggamnya erat.
“Bukan cuma marah. Dia pasti langsung ke sini.”
Rianti menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Astaga, mati aku…”
Bramantya tersenyum miring lalu menggeser nampan bubur mendekat.
“Kalau kamu masih mau hidup, makan dulu sebelum Mama datang.”
Rianti menatap bubur yang berwarna putih dan siap untuk memakannya.
“Apa perlu aku makan sambil sembunyi di bawah tempat tidur?”
“Kalau kamu sembunyi, Mama bakal gigit aku duluan,” jawab Bramantya datar.
Rianti tertawa terbahak-bahak, lalu langsung menutup mulutnya karena takut dimarahi perawat.
Kemudian Bramantya kembali menyuapi istrinya yang masih tertawa kecil.
Tak berselang lama, terdengar suara pintu terbuka cukup keras.
Klik—
Rianti dan Bramantya sontak menoleh. Seorang wanita paruh baya dengan wajah tegang dan langkah cepat masuk ke ruangan.
Tanpa basa-basi, Mama langsung bersuara lantang.
“RIANTI!”
Rianti refleks menarik selimutnya hingga ke dada, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah. Bramantya spontan berdiri dan sedikit menunduk.
Namun Mama tidak menggubris Bramantya, tatapannya langsung menusuk ke arah putrinya.
“Anak satu ini! Kamu pikir Mama ini patung pajangan di rumah? Kamu masuk rumah sakit nggak bilang-bilang?! Aku sampai nyaris jantungan di jalan!”
“Ma…”
“Jangan ‘Ma-Ma’ dulu!” potong Mama dan langsung mendekat ke sisi tempat tidur dan meletakkan tasnya dengan suara gedebuk.
“Terus kamu bilang terpeleset di kamar mandi? Hah?! Mau Mama percaya cerita sinetron murahan itu?!”
“Ma, aku beneran terpeleset…”
“TERPELESET, KATANYA! Kamu itu dari kecil kalau jatuh pasti nangis duluan! Ini malah diam-diam masuk rumah sakit!”
Rianti menunduk pasrah. Bramantya masih berdiri di samping, tak tahu harus ikut bicara atau tidak.
Setelah puas mengomel, Mama menoleh pelan ke arah Bramantya dengan tatapan tajam.
“Dan kamu, Bram.”
“I-iya, Tante."
“Kenapa kamu baru bilang sekarang? Kamu suaminya, kan? Bukannya tugas kamu jaga anak Mama ini baik-baik? Gimana bisa sampai kepalanya kepentok?!”
Maafkan saya, Ma. Saya nggak jaga dia baik-baik.” ucap Bramantya.
“Ya jelas salah kamu!”
“Ma…” Rianti akhirnya bersuara, menarik tangan Mamanya.
“Apa?”
Rianti menatap Mamanya dengan mata memelas.
“Mama, tolong sabar dulu. Aku udah pusing, tekanan darahku juga rendah. Kalo Mama marah-marah terus, nanti aku pingsan lagi.”
Mama terdiam seketika saat melihat wajah putrinya.
Tatapannya bergeser ke arah wajah Rianti yang pucat.
Lalu ia menghela napas panjang, dan pelan-pelan duduk di tepi ranjang.
Suara Mama melembut, meski masih terdengar kesal.
“Ya sudah kamu makan dulu sana. Jangan cuma ngelawak sama suami kamu.”
Rianti tersenyum lega, Bramantya buru-buru mengambil sendok dan menyuapi Rianti lagi.
Mama mendengus sambil menyilangkan tangannya .
“Huh. Disuapin segala. Padahal dulu waktu di rumah, Mama suruh makan sendiri aja ngelawan.”
Rianti dan Bramantya menahan tawanya saat melihat Mamanya yang sedang marah.
Mama masih mengerucutkan bibirnya, tapi matanya kini melunak, jelas-jelas lega melihat anaknya baik-baik saja.
Setelah selesai makan, Mama meminta Bramantya membelikan madu dan susu kedelai.
"Rianti, suka susu kedelai dan belikan madu kurma." pinta Mama.
Bramantya menganggukkan kepalanya dan ia lekas membelikan apa yang diinginkan oleh Mama untuk Rianti.
Setelah Bramantya keluar membeli madu dan susu kedelai, suasana kamar menjadi lebih tenang.
Mama duduk sambil mengelus pelan tangan Rianti.
“Sekarang ceritakan semuanya ke Mama,” ucap Mama pelan tapi tegas.
“Aku kan sudah bilang, Ma. Aku jatuh di kamar mandi.”
“Rianti, jangan bikin Mama naik darah lagi.”
“Hmm, jatuhnya tuh gini lho, Ma, kepalaku bruk, pantatku gedebuk, terus aku jatuh”
“RIANTI!”
Rianti langsung tertawa terbahak, disusul Mama yang mendecak kesal namun menahan senyum.
Namun suasana mendadak berubah ketika pintu kembali terbuka.
Kali ini muncul dua sosok yang tak diduga-duga oleh Rianti.
“Lho, tamu macam apa lagi ini?”
Linda berjalan cepat menghampiri sambil memegang tangan Rianti.
“Kak! Aku dengar kalau Kakak di rumah sakit dari Linda—eh maksudku dari orang rumah. Kamu nggak apa-apa, kan? Kalau Kakak mau, aku bisa bantu balikan sama Mas Prabu!”
Prabu menundukkan kepalanya dengan wajahnya yang sedikit menegang.
Mama langsung berdiri, tangannya terlipat di dada.
“Balikan apanya? Rianti itu istri orang!”
“Ya tapi Kak Rianti kan dulu sama Mas Prabu. Jadi masih ada peluang lah!”
Rianti menatap wajah Linda cukup lama lalu tersenyum sinis.
“Linda, kamu sadar nggak kalimat kamu barusan mirip banget kayak selingkuhan yang masih denial?”
“Kak! Aku kan cuma pengen Kakak bahagia!”
“Bahagia nyolong suami orang?” celetuk Mama dingin.
“Tante, saya ingin...,"
“Diam kamu!” tegur Mama cepat.
Rianti bersandar santai sambil melipat tangannya.
“Linda, kalau kamu masih mau nunggu Bramantya, situ bisa duduk antri di ruang tunggu ya. Siapa tahu Tuhan kasihan.”
“Kak! Jangan gitu dong! Aku serius! Aku cinta sama Mas Bram..." ucap Linda
Pintu terbuka keras dan Bramantya muncul sambil membawa tas belanjaan.
Wajahnya langsung berubah dingin begitu melihat Prabu dan Linda berdiri di samping tempat tidur Rianti.
Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal.
“Keluar.”
“Bram, aku cuma ingin bicara dengan Rianti."
“Aku gak peduli,” potong Bramantya, suaranya tajam. Ia melangkah maju, berdiri di antara mereka dan Rianti.
“Ini kamar istriku. Bukan tempat reuni masa lalu.”
Linda hendak bicara, tapi Mama lebih dulu menyambar tasnya dan berdiri tegak.
“Kalian pergi sebelum saya lempar infus ke kepala kalian satu-satu.”
“Kak Rianti tuh nggak layak buat Mas Bram! Aku lebih.....”
“LINDA!!” seru Mama.
Rianti bersandar santai sambil tersenyum puas.
Prabu menarik napas panjang dan akhirnya menarik lengan Linda.
“Ayo, Linda. Jangan buat semuanya makin buruk.”
“Tapi, Bram".
“Keluar,” ulang Bramantya dengan suara lebih rendah namun mengancam.
Akhirnya keduanya keluar, Linda masih menoleh berkali-kali sambil manyun.
Begitu pintu tertutup, Bramantya meletakkan belanjaan, lalu menatap Rianti.
“Kenapa kamu ketawa?”
Rianti sudah terbahak-bahak sambil menunjuk pintu.
“Mukanya Linda pas diusir seperti priceless.”
Mama menghela napas panjang, lalu duduk kembali sambil bergumam:
“Hidup kalian ini sudah kayak sinetron tapi nggak ada jeda iklannya…”