Asila Angelica, merutuki kebodohannya setelah berurusan dengan pemuda asing yang ditemuinya malam itu. Siapa sangka, niatnya ingin menolong malah membuatnya terjebak dalam cinta satu malam hingga membuatnya mengandung bayi kembar.
Akankah Asila mencari pemuda itu dan meminta pertanggungjawabannya? Atau sebaliknya, dia putuskan untuk merawat bayinya secara diam-diam tanpa status?
Penasaran dengan kisahnya? Yuk, simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Akhirnya Menikah
"Saya nikahkan putri kami Asila Anggraeni binti Wijaya dengan Ananda Edgar Pratama binti Arga Pratama dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar dua puluh lima juta rupiah dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Asila Anggraeni Wijaya binti Bapak Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi?"
"Sah!!"
"Alhamdulillah."
Lantunan ijab qobul menggema di ruangan kantor urusan agama. Setelah melewati hari-hari tersulitnya akhirnya Edgar dengan Asila melangsungkan pernikahannya di kantor pengadilan agama. Tak banyak orang yang diundangnya, hanya beberapa keluarga inti yang dijadikan saksi dipernikahannya.
Edgar lega setelah berhasil menikahi Asila secara sah di mata hukum. Kini tanggungjawabnya bertambah, bukan hanya sebagai pimpinan perusahaan, tapi sudah menjadi suami sekaligus ayah untuk anak-anaknya.
"Akhirnya kita sah sayang. Mulai hari ini kita sudah menjadi pasangan suami istri. Bagaimana perasaanmu? Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?"
Asila mengangguk dengan mengulas senyumnya. Apalagi yang harus dipikirkan selain menikah, orang tuanya juga mendesak untuk segera melepas masa lajangnya. Kini statusnya sudah resmi menjadi nyonya Pratama, tentu ia memiliki hak sebagai istri sah keluarga Pratama. Surat nikah yang dimilikinya begitu kuat di mata hukum, tidak akan ada yang berani meremehkannya lagi.
"Tentu saja aku bahagia, aku sudah memiliki surat nikah yang sah, tentunya aku memiliki kekuasaan untuk tetap bertahan sebagai nyonya Pratama. Bukan begitu?"
Edgar terkekeh dengan mengangguk. "Tentu saja, sekarang aku pasrahkan hidupku untuk kau urus. Dulu aku bisa mengurus diriku sendiri tapi sekarang aku ingin tergantung padamu."
Pernikahan yang selama ini hanya sebatas khayalan kini sudah menjadi kenyataan. Pengorbanannya untuk mendapatkan kepercayaan Asila cukup besar, bahkan ia harus benar-benar meyakinkan wanita itu agar tidak membuatnya kecewa.
Setelah selesai ijab qobul, mereka kembali pulang. Sengaja mereka tidak memberitahu si kembar mengenai pernikahannya, dan kini si kembar tetap aktif di sekolah.
"Udah siang, sebentar lagi anak-anak sudah waktunya pulang. Kita jemput mereka yuk?"
"Hm..., iya boleh, tapi sebaiknya kita pulang dulu dan mengganti pakaian. Nggak nyaman pakai baju kayak gini ke sekolah mereka, bisa jadi candaan orang nanti."
"Siapa yang masih berani menggunjingmu. Kalau sampai terdengar di telingaku bakal kubuat hidupnya susah."
Asila berdecak. "Ck, kau itu...! Ternyata Dylan pewaris sifatmu."
***
Setibanya di rumah mereka disambut hangat oleh keluarga Wijaya. Kakak laki-laki Asila yang tinggal di luar kota juga datang bersama keluarga kecilnya. Mereka sengaja datang tanpa sepengetahuannya, dan itu membuat Asila terkejut.
"Loh, bang Sandi? Sejak kapan Bang Sandi datang? Kok nggak kasih tahu aku? Kok Mama nggak kasih tahu kalau Bang Sandi mau datang?"
Sudah bertahun-tahun Asila tak lagi bertemu dengan kakak tertuanya. Bahkan sebelum dia minggat, Sandi sudah jarang pulang. Sandi sudah menetap tinggal di luar kota dan memiliki bisnis kuliner. Cukup sulit untuk bisa meluangkan waktunya bertemu dengan keluarganya.
"Surprise...! Aku sengaja datang untuk menemuimu dek, selamat untuk pernikahanmu ya? Semoga langgeng selamanya."
Sandi merentangkan tangannya dan memeluk Asila untuk melepaskan kerinduan. Asila adik kecilnya itu kini sudah tumbuh dewasa dan sudah tidak lagi bermanja-manja padanya. Dulu sewaktu masih tinggal bersama, Asila tidak pernah jauh-jauh darinya, dibandingkan dengan Teddy Asila lebih dekat dengannya.
"Terimakasih Abang sudah meluangkan waktunya buat pulang. Aku seneng banget akhirnya bisa bertemu denganmu. Oh ya Bang, perkenalkan ini suamiku, Edgar Pratama."
Sandi melepaskan pelukannya dan beralih menoleh pada sosok pria muda yang mengenakan pakaian formal. Dia mengulas senyuman tipis. "Edgar Pratama, seperti tidak asing nama itu."
"Tentu saja tidak asing, dia kan pemegang saham Pratama Grup. Suamiku ini seorang CEO Pratama Grup bang!"
"Oh....," Sandi manggut-manggut dan berjabat tangan dengan pria yang statusnya sudah menjadi adik iparnya. Tak pernah menyangka, kini ia bisa bertemu secara langsung dengan pemilik Pratama Grup. "Halo pak Edgar, senang bertemu dengan anda."
"Jangan panggil bapak Bang! Nggak enak di dengar. Panggil saja Edgar, sekarang kan kita sudah menjadi saudara," bantah Edgar dengan mengulas senyuman tipis.
"Oke-oke. Aku banyak mendengar tentang perusahaan Pratama Grup, tapi belum mengetahui siapa yang menanganinya, ternyata anda? Sekarang bukan cuma mengenal, tapi sudah menjadi bagian dari keluarga. Selamat untuk pernikahannya ya? Aku minta padamu, tolong jaga adikku dengan baik, bimbing dia agar menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anaknya.
Edgar mengangguk. "Baik bang, itu sudah pasti."
"Ini gimana ceritanya kamu bisa bertemu dengan adikku. Bukannya pimpinan perusahaan itu selalu sibuk dengan pekerjaannya, masih sempat-sempatnya bertemu dengan adikku. Apa kalian dijodohkan?"
Edgar canggung saat Sandi mulai mengorek kepribadiannya. Haruskah ia cerita mengenai masa lalunya? Tapi apakah keluarga Wijaya tidak menjelaskan mengenai hubungannya yang begitu rumit? Tapi apapun itu sudah berlalu, toh sekarang ia sudah resmi menjadi suami dari Asila.
"Sebenarnya sudah lama juga aku mengenal Asila, tapi kami tidak pernah pacaran. Kami memutuskan untuk menikah demi anak-anak, karena kebodohanku Asila harus menanggung penderitaan sendirian. Dia membesarkan anak-anakku sendirian, dan aku tidak pernah tahu kalau dia sudah memiliki anak dari pertemuan kami yang tak disengaja."
Edgar bingung harus memulai dari mana untuk memberikan penjelasan, tapi ia berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menjawabnya.
Kening Sandi mengkerut, ia bingung mendengar penjelasan Edgar. Selama ini ia memang tidak pernah tahu menahu masalah yang dialami oleh keluarganya, terutama adik perempuannya. Ia hanya mendengar kabar mengenai kepergian Asila yang secara tiba-tiba tanpa pamit. Ia sempat panik dan ingin pulang untuk ikut andil dalam melakukan pencarian, tapi ayahnya mencegah karena beliau tahu ia sangat sibuk mengurus bisnisnya sendirian.
"Maksud kamu gimana sih? Kok aku nggak begitu paham? Anak-anaknya Asila itu anak kamu dengan dia kan? Dan itu dihasilkan dari hubungan tanpa status? Apa benar begitu?"
Edgar mengangguk. "Iya benar bang. Aku nggak sengaja membuatnya menderita. Kalau saja aku tahu dia mengandung anakku sudah dari dulu kunikahi, tapi dianya pergi. Aku sendiri cukup kebingungan untuk mencarinya."
Penjelasan Edgar cukup membuatnya kecewa. Ia yakin dulu adiknya tertipu oleh rayuannya hingga dia menyerahkan harga dirinya, setelah itu pria itu menghilang tanpa rasa bersalah.
"Hanya laki-laki brengsek yang tega melakukan semua itu. Laki-laki yang baik itu tidak akan merusak kehormatan seorang wanita. Apapun alasannya kamu sangat bersalah. Kurasa adikku pergi juga karena kamu tak mau bertanggungjawab. Dia malu sama keluarganya sendiri dan bertekad untuk pergi dari kehidupan mereka. Sungguh kamu sangatlah jahat Edgar. Berani berbuat itu harus berani bertanggungjawab! Bukan malah menghilang!"
"Maaf bang, bukannya aku nggak mau bertanggungjawab, tapi setelah kejadian itu dia langsung menghilang, aku sudah berusaha keras untuk mencarinya tapi hasilnya nihil. Awalnya aku berpikir dia hanyalah pelayan bar yang butuh uang dan kesenangan, tapi di sisi lain aku merasa bersalah."
"Apa maksudmu pelayan bar?Asila itu anaknya Pak Wijaya, pemilik Perusahaan Wijaya Grup. Bisa-bisanya kamu mengatakan bahwa adikku itu hanyalah pelayan Bar!"
Suasana cukup menegangkan. Edgar sendiri sudah mulai tak nyaman berada di tempat itu. Baru saja menikah sudah mendapatkan masalah baru. Ia paham kakaknya Asila kecewa dengan kelakuannya, tapi setidaknya ia sudah berani untuk bertanggungjawab.
Suara handphone bergetar dan itu berasal dari dalam saku celana Edgar. Buru-buru pria itu mengeceknya. Alisnya tertaut saat melihat nomer yang tak dikenal. 'ini nomernya siapa? Kok nggak tersimpan di handphoneku.' untuk memastikan siapa yang sudah menghubunginya ia langsung menggeser tombol hijau dan mengangkatnya.
"Halo, ini dengan siapa?"
"Halo Pak, maaf sudah mengganggu waktunya, ini saya dari sekolah TK Bhayangkari, gurunya si kembar Dylan dan Sheila. Saya hanya ingin memberitahukan bahwa putra anda Dylan sedang bertengkar di sekolah, dimohon anda segera datang ke sekolah."