Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Dia Mengingatku
Baru saja Damar melangkah masuk ke ruang rapat, matanya langsung menangkap sosok yang akhir-akhir ini selalu mengusik pikirannya. Wanita itu ada di sana. Duduk dengan tenang, namun sibuk bercengkerama akrab bersama seorang pria di sampingnya.
Pemandangan itu membuat dada Damar terasa sesak, rasa kesal perlahan menguasai pikirannya.
Beberapa manajer yang sudah hadir segera berdiri dan memberi hormat padanya. Mengikuti yang lain, Stasia dan Max pun ikut berdiri meski tanpa tahu siapa sebenarnya pria itu.
“Apakah dia CEO kita?” bisik Max dengan suara rendah.
Tak ada jawaban. Saat menoleh, Max justru melihat Stasia terpaku, berdiri termenung menatap pria yang baru saja masuk. Tatapannya kosong namun penuh gejolak yang sulit dimengerti.
“Si… kamu kenapa?” tanya Max, sedikit menarik ujung kemeja Stasia agar ia segera duduk.
Tersentak, Stasia buru-buru duduk dengan gugup. Ia berusaha menetralkan diri, lalu menoleh sambil tersenyum tipis untuk menandakan dirinya baik-baik saja.
“Ehem…” Damar berdehem keras, suaranya cukup membuat semua orang menoleh. Sorot matanya tak lepas dari Max yang duduk terlalu dekat dengan Stasia. “Bisa kita mulai rapatnya?”
Suasana hening sejenak. Hingga akhirnya Pak Bambang, manajer pengembangan, mencoba mencairkan suasana. “Kita bisa mulai rapatnya, Pak.”
Rapat pun berlangsung sesuai agenda. Semua berjalan lancar, presentasi demi presentasi tersampaikan dengan baik. Namun bagi Stasia, rapat itu terasa panjang dan penuh tekanan. Sejak awal ia hanya bisa bergumam dalam hati.
“Tuhan… kenapa harus dia yang jadi CEO di sini? Jadi ini alasannya, kenapa selama ini sosok CEO Starlight begitu misterius, jarang menampakkan diri. Semoga dia tidak menyadari siapa aku…”
Stasia sedikit lega melihat Damar benar-benar menjaga profesionalitas. Ia tidak menunjukkan reaksi berlebihan, seolah mereka hanyalah atasan dan karyawan biasa.
Namun yang Stasia tidak tahu, sejak awal Damar telah mengenalinya—dan sengaja menutupinya.
“Baiklah, karena semua proyek telah kita bahas, berdasarkan hasil pemaparan, maka proyek pengembangan di masing-masing negara bisa kita jalankan sesuai kesepakatan.” Damar berbicara tegas, matanya menyapu seluruh peserta rapat.
“Namun, khusus untuk cabang Paris…” suaranya sedikit menekankan, membuat semua orang kembali menoleh penuh perhatian, “…karena ini adalah cabang luar negeri pertama kita sekaligus yang paling besar, saya ingin Nona Stasia Miller melaporkan langsung kepada saya setiap kali ada perkembangan—selain kepada manajer pengembangan.”
Stasia yang semula bersikap tenang mendadak membeku. Matanya membesar, jantungnya berdegup tak karuan. Ia mengumpat dalam hati.
“Kenapa harus laporan langsung ke CEO? Bukankah kesepakatan awal hanya dengan manajer pengembangan? Gila… ini akan menyulitkanku!”
Menyadari Stasia tak segera menjawab, suasana ruang rapat terasa sedikit canggung. Manajer pengembangan cepat-cepat menyelamatkan keadaan.
“Baik, Pak. Nanti saya akan pastikan Nona Stasia melapor kepada Anda secara langsung.”
“Bagus.” Damar menutup kalimatnya dengan senyum tipis dan tawa kecil yang terdengar seperti ejekan halus.
Stasia menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Rapat selesai, Stasia keluar bersama para manajer lainnya. Di sampingnya, Max berjalan santai, berusaha mengajaknya mengobrol.
“Kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali,” tanya Max pelan.
“Tidak, aku tidak apa-apa,” jawab Stasia singkat.
“Ayo makan siang di kantin. Aku yang traktir, sebagai salam perkenalan,” ajak Max sambil tersenyum.
“Ehem…” suara deheman terdengar dari belakang mereka.
Max dan Stasia berhenti, lalu menoleh. Tepat di belakang mereka berdiri Damar, wajahnya dingin tanpa ekspresi.
“Pak Damar…” Max dan Stasia spontan menunduk sedikit, memberi hormat.
“Stasia, ke ruangan saya sebentar,” ucap Damar datar.
“B-baik, Pak,” jawab Stasia gugup.
Damar berjalan lebih dulu dengan langkah tegap. Stasia mengekor di belakang, sempat menoleh pada Max, memberi isyarat maaf karena tidak bisa menemaninya makan siang.
Lift terbuka. Begitu masuk, Stasia baru sadar mereka hanya berdua. Suasana hening, udara seakan membeku. Jantungnya berdebar keras, apalagi saat ia melirik ke samping—menemukan wajah Damar yang tetap dingin, menatap lurus ke depan.
“Ya Tuhan… Damar yang sekarang lebih dingin dari Damar sebelas tahun lalu. Dia tetap tampan, bahkan semakin matang. Tapi dengan tatapan sedingin ini… rasanya aku seperti ditenggelamkan di air gletser,” gerutunya dalam hati.
Lift terbuka. Damar melangkah keluar tanpa menoleh, Stasia buru-buru mengikuti hingga masuk ke dalam ruangannya.
“Permisi, Pak…” ucap Stasia dengan suara pelan sambil menunduk.
Damar tidak segera mempersilahkannya duduk. Ia justru membuka ponsel, mengetik sesuatu dengan tenang, seakan Stasia tak ada di sana. Setelah beberapa detik, barulah ia duduk di kursinya, menatap Stasia yang masih berdiri mematung.
“Duduklah. Mau sampai kapan kamu berdiri seperti itu?” ucapnya datar.
Stasia langsung duduk di kursi depan Damar. Tangannya meremas ujung rok kerjanya, gugup luar biasa.
Tak ada percakapan. Hanya tatapan Damar yang menusuk, membuat Stasia semakin salah tingkah.
Tiba-tiba ponsel di meja Damar berbunyi. Ia membaca pesan sejenak, lalu membuka sesuatu di layar komputernya. Sudut bibirnya terangkat tipis saat melihat dokumen yang muncul—sebuah berkas CV atas nama Stasia Miller.
Sebuah tulisan 'Single' membuat senyum tipis terbit di bibir Damar.
Sementara Stasia tetap menunduk, jantungnya berdebar semakin cepat.
“...Ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Damar akhirnya, suaranya berat dan dalam.
Stasia terdiam. Bahkan alasan kenapa ia dipanggil pun masih misteri baginya. Ia memberanikan diri mengangkat wajah.
“Apakah ada yang salah dari presentasi saya tadi, Pak?”
Tatapannya bertemu dengan sosok pria dewasa di depannya. Wajah yang dulu membuatnya merasa aman dan nyaman, kini justru membuatnya gentar.
Damar mendengus pelan. “Apa tidak ada hal lain yang ingin kamu bicarakan… selain soal rapat tadi, Nona… Stacy.”
Mata Stasia membesar. Ia tercekat. Nama panggilan itu—nama panggilan yang tersemat selama ia sekolah dan telah lama tidak lagi di dengarnya.
“Ya Tuhan… dia mengingatku,” lirih hati Stasia.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuat atensi Damar teralihkan.
Stasia, yang sejak tadi merasa terhimpit oleh tatapan dingin Damar, diam-diam menghela napas lega. Setidaknya, ada jeda sesaat dari ketegangan ini. Ia masih bingung harus bersikap bagaimana. Ia tahu, tidak mungkin menampilkan sisi lamanya—Stacy yang dulu didepan Damar adalah sosok cewek gila yang selalu mengganggu hari tenangnya. Namun Stasia sadar bahwa sekarang bukan waktunya. Damar adalah atasannya, dan pekerjaan ini terlalu penting untuk kelangsungan hidupnya… dan Ares.
“Masuk,” ucap Damar, datar namun berwibawa.
Pintu terbuka. Seorang wanita melangkah masuk dengan anggun. Ia membawa sebuah paper bag di tangannya.
“Dam, kamu sibuk?” suaranya lembut, penuh wibawa.
Stasia refleks menoleh. Begitu mendengar suara itu, darahnya serasa berhenti mengalir. Pandangannya langsung membeku pada sosok wanita tersebut.
Ya Tuhan… dia…
Wanita itu pun berhenti melangkah. Matanya membesar, wajahnya tampak terkejut, hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Stacy… kan?” tanyanya dengan suara bergetar, ragu namun penuh perasaan.
Jantung Stasia seakan meloncat ke tenggorokan. Ia tak bisa menjawab. Hanya bibirnya yang terbuka sedikit, tapi tak ada kata yang keluar.
Sementara itu, Damar melirik sekilas ke arah Stasia, ekspresinya sulit dibaca.