Amira 22 tahun menikah kontrak dengan Ferdi baskara untuk biaya kesembuhan ayah angkatnya.
Amira bar-bar vs Ferdi yang perfeksionis
bagaimana kisah tom and Jery ini berlangsung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
masa lalu amira
“Pak, gimana ini?” tanya Rahayu cemas.
Kita kembali ke dua puluh dua tahun yang lalu…
“Mana anakku?” gertak Yono pada Gerry, seorang mafia.
“Anakmu ada dalam kendaliku,” jawab Gerry dingin.
“Kamu brengsek! Kalau berani, ayo lawan aku! Jangan menculik bayi yang baru lahir,” ucap Yono dengan amarah tertahan.
“Tenang saja, anakmu akan selamat. Aku sudah menyediakan pengasuh. Kamu hanya perlu menyelesaikan masalah ini,” ujar Gerry santai.
“Aku nggak pernah menculik bayi! Lebih baik aku merampok bank!” balas Yono tegas.
“Sudahlah, kamu cukup menculik bayi ini, dan masalahmu selesai,” kata Gerry.
“Aku nggak mau!” Yono membentak.
“Kalau begitu, siap-siaplah menyaksikan mayat anakmu,” jawab Gerry dingin.
“Kamu bajingan!” teriak Yono marah.
“Sudah kukatakan, aku memang bajingan.” Gerry tersenyum miring. “Yang perlu kamu lakukan hanya menukar bayi ini dengan bayi di rumah sakit.”
“Itu bayi siapa?” tanya Yono curiga.
“Kamu tidak usah tahu. Cukup lakukan tugasmu,” jawab Gerry dingin.
“Jadi tidak ada pembunuhan bayi, kan?” Yono memastikan.
“Tenang saja, tidak akan ada pembunuhan bayi,” ucap Gerry enteng.
Yono menghela napas panjang. Ini pekerjaan paling dilematis dalam hidupnya. Bagi Yono, merampok bank dengan pengamanan berlapis jauh lebih mudah daripada menculik bayi. Hatinya berontak. Apalagi, Rahayu baru saja melahirkan, namun bayi mereka malah dicuri Gerry. Yono dan Rahayu benar-benar terpukul.
Tapi jika dia menolak, nyawa bayinya bisa melayang. Nurani dan tanggung jawab sebagai ayah bertarung di dadanya.
“Baiklah. Tapi ingat, kamu harus menjaga bayiku,” ucap Yono dengan rahang mengeras.
“Lakukan saja misi kamu,” sahut Gerry singkat.
Dengan hati gusar, Yono menerima bayi dari Gerry. Dia menimangnya, lalu melangkah berat menuju angkutan umum.
Perjalanan terasa panjang. Setiap detik hatinya berdebar. Sesampainya di rumah sakit yang ditunjukkan Gerry, Yono tercengang.
Penjagaan superketat. Pria-pria berjas hitam berjaga di setiap sudut.
“Gila… ini sih bukan orang sembarangan,” gumam Yono.
Ia menatap selembar kertas misi. Tulisan itu sederhana, tapi menghantui pikirannya.
‘Bayi berada di kamar paling atas. Hanya ada dua bayi. Ambil salah satu dari mereka.’
“Lantai paling atas? Bawa bayi? Gila!” Yono mengumpat pelan.
Namun, ia adalah “Raja Maling.” Menyusup adalah keahliannya.
Yono memeriksa bayi yang digendongnya. Kulit bayi itu membiru. Panik, ia mencubit kecil.
Tangisan lirih terdengar.
“Masih hidup… aku harus cepat,” bisiknya.
Yono melangkah ke gedung kosong di sebelah rumah sakit. Dengan cekatan, ia memanjat, lalu melompat ke atap rumah sakit tanpa menimbulkan suara.
Tanpa ragu, ia menyusup ke lubang ventilasi udara, membobol penutupnya. Gelap dan sempit, tapi di situlah jalan masuknya.
Yono menatap bayi yang ia bawa. Napasnya masih ada, meski lemah. Lega bercampur panik menyesak di dada.
Pelan-pelan, ia mengendap mendekati deretan boks bayi. Matanya membelalak—hanya ada dua.
“Anak kembar rupanya…” pikir Yono, bingung. “Sebelah mana yang harus aku ambil?”
Ia menelan ludah. Sebagai seseorang yang selalu condong pada sisi kiri, nalurinya memilih boks bayi sebelah kiri. Dengan gerakan cepat, ia menukar bayi itu dengan bayi yang ia bawa.
Tiba-tiba—
Ceklek! Suara pintu terbuka.
Yono tersentak. Panik menjalar ke seluruh tubuhnya. Tanpa pikir panjang, ia meloncat ke atas, menyusup ke plafon. Gerakannya begitu ringan, hampir tanpa jejak.
Dari celah sempit, ia menahan napas, menyaksikan dua perawat masuk, memeriksa sekilas, lalu pergi begitu saja.
Yono menurunkan tubuhnya perlahan. Ia menatap bayi di boks dengan hati yang perih.
“Maafkan, Nak… Aku tidak tahu apa rencana mereka dengan penukaran bayi ini,” bisiknya lirih.
Dengan langkah cepat, ia meninggalkan rumah sakit. Menyelinap keluar, menumpang kendaraan umum seperti orang biasa.
Sampai akhirnya, Yono tiba di gedung tua—markas Gerry.
Insting Yono menjerit ada yang janggal. Ia tak langsung masuk, melainkan memutari gedung tua itu, lalu naik dari bangunan seberang untuk mengintai dari atas.
“Bayinya mati, Bos,” ucap seorang lelaki di bawah.
“Bodoh! Kenapa bisa mati? Yono bahkan belum sampai sini!” hardik Gerry.
Jantung Yono berdegup kencang. Ia menahan napas di balik kegelapan.
Bajingan… rutuknya dalam hati.
Matanya membelalak saat melihat bayi yang seharusnya aman kini tergeletak kaku, tubuhnya membiru. Jelas sudah meninggal beberapa jam lalu.
“Aku sudah telepon Bos besar,” lanjut Gerry tenang. “Yono, bayi ini, dan bayi yang dia bawa memang harus mati. Kita tinggal tunggu dia datang, habisi semua, lalu misi selesai.”
Deg! Tiba-tiba bayi dalam gendongan Yono menangis keras.
“Wey! Siapa itu?!” pekik salah satu anak buah.
“Jangan diam! Cepat cari! Itu pasti Yono!” bentak Gerry.
Tanpa pikir panjang, Yono melompat ke gedung sebelah. Teriakan terdengar, suara motor trail meraung, mengejar. Peluru berdesing di belakangnya, menghantam batang pohon dan tanah.
Yono berlari lincah menembus hutan, sesekali merunduk, sesekali melompat menghindari tembakan. Keringat bercampur darah di pelipisnya.
“Bajingan!” geramnya, menggertakkan gigi.
Akhirnya ia tiba di ujung hutan. Tebing curam menganga di hadapannya, jauh di bawah hanya kabut dan suara deras sungai.
“Serahkan bayi itu, Yono! Cepat!” teriak Gerry dari belakang, senapan teracung.
Yono menoleh, matanya menyala penuh amarah. “Bajingan kau! Kenapa membunuh bayiku?!”
“Oh, jadi kau sudah tahu segalanya,” Gerry terkekeh dingin. “Bagus. Sekarang pergilah ke neraka!”
Yono menatap bayi di pelukannya. Waktu seolah berhenti. Tak ada pilihan lain.
“Maafkan Ayah, Nak…” bisiknya.
Dengan satu tarikan napas, Yono melompat ke dalam jurang.
..
“Bug!”
Tubuh Yono menghantam keras. Punggungnya sakit, tapi anehnya ia merasa seperti rebah di kasur empuk.
“Hah… aku belum mati,” desahnya lirih, mengerjapkan mata.
Ia segera meraih bayi di pelukannya. Wajahnya pucat, tubuhnya dingin.
“Hah… dingin… tak bernapas,” gumam Yono, suara bergetar. Tanpa sadar air matanya menetes.
Tiba-tiba…
“Auuummmmmm!”
Lolongan panjang menggema di antara pepohonan.
Yono refleks bangkit, tapi tubuhnya membeku saat menyadari di mana ia berada. Ia berbaring… di atas perut seekor srigala betina raksasa yang tengah menyusui anak-anaknya. Bayi-bayi serigala kecil merayap di sekitar bulu lebat itu.
“Ya Tuhan… aku, Yono, raja maling… hari ini jadi santapan srigala,” bisiknya gemetar.
Seekor srigala hitam mendekat. Tubuhnya sebesar sapi, otot-ototnya menonjol, air liurnya menetes. Yono memejamkan mata, pasrah.
Ia merasakan sesuatu: gigi srigala itu menggigit selimut bayi, lalu mengangkatnya.
“Maafkan aku, Nak… aku tak sanggup melihatmu dimakan,” lirih Yono. Walau bayi itu seolah sudah mati, hatinya tetap hancur membayangkan tubuh mungil itu dilahap makhluk buas.
Namun—
“Uweeeeeeeeee!”
Tangisan nyaring bayi pecah, menggetarkan hutan. Yono terperanjat.
“Tidak mungkin… tadi kau sudah… mati?”
Ia membuka mata. Adegan yang tersaji membuatnya ternganga: bayi itu bukan dimakan, melainkan dijilat lembut oleh srigala raksasa.
Srigala betina menggigit kain bayi, lalu menempatkannya dekat puting susunya. Bayi itu spontan mengisap dengan rakus, tangisnya mereda.
Yono tertegun.
“Astaga… jadi begini rupanya,” bisiknya, setengah tak percaya.
Sejak saat itu Yono memberi nama bayi itu amira yang artinya wanita kuat.
---
Kembali ke masa kini.
Yono menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
“amira kamu wanita barbar, karena… Susu yang ngalir di tubuhmu… bukan susu sapi. Itu… susu srigala.”