Harusnya, dia menjadi kakak iparku. Tapi, malam itu aku merenggut kesuciannya dan aku tak dapat melakukan apapun selain setuju harus menikah dengannya.
Pernikahan kami terjadi karena kesalah fahaman, dan ujian yang datang bertubi-tubi membuat hubungan kami semakin renggang.
Ini lebih rumit dari apa yang kuperkirakan, namun kemudian Takdir memberiku satu benang yang aku berharap bisa menghubungkan ku dengannya!
Aku sudah mati sejak malam itu. Sejak, apa yang paling berharga dalam hidupku direnggut paksa oleh tunanganku sendiri.
Aku dinikahkan dengan bajingan itu, dibenci oleh keluargaku sendiri.
Dan tidak hanya itu, aku difitnah kemudian dikurung dalam penjara hingga tujuh tahun lamanya.
Didunia ini, tak satupun orang yang benar-benar ku benci, selain dia penyebab kesalahan malam itu.~ Anja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atuusalimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 3,part 1
"Seumur hidupku bahkan aku rela tidak menikah ketimbang harus menikah dengannya!"ancam Reka dengan nafas yang memburu marah.
" Ini tak masuk akal mam, bagaimana aku bisa menikah dengan kakak dari kekasihku sendiri?" Teriak Reka sambil berdiri seraya menepis barang yang ada dalam jangkauannya.
Brakkk!
Suara pot bunga pecah, menciptakan genangan air pada marmer dikaki meja sekaligus beberapa tangkai mawar putih yang kini berserakan dimana-mana.
"Tak masuk akal gimana? justru lebih tak masuk akal kalau kamu terus memaksa menikah dengan Silvi, lagipula setelah apa yang terjadi, maukan Silvi menerimamu?" bantah Bu Niar seraya melempar pertanyaan yang menusuk.
"Aku tak peduli dengan yang mami pikirkan, tapi mau bagaimanapun aku tetap tidak akan menikah dengan calon kakak iparku sendiri. Aku harap mami ngerti karena ini akan menyakiti Silvi!"
"Jika itu menurutmu, maka kamu berhutang membayar kerusakan mental yang dideritanya saat ini. Apa kamu lupa kamu berhutang membayar kesuciannya, juga,?"sela Bu Niar sambil bangkit seraya memandang putranya penuh tuntutan.
"Kerusakan mental apa,?"bantah Reka dengan mata menyala-nyala.Pikirannya gelap akan emosi. "kerusakan mental apa, ha? dia sengaja menyudutkanku kemudian sengaja memaksaku untuk menikahinya. Apa menurut mami aku ini bodoh, aku tau otak-otak dibalik wanita seperti itu!"
"Cukup Reka! kamu sudah gila tau gak? "Teriak Bu Niar semakin marah.
Napas Reka naik turun, wajahnya merah menahan amarah. Dadanya penuh sesak dengan semua bentuk penolakan, akan tetapi ia hanya bisa menahan diri dengan mengepalkan tangannya sekarang.
"Mami hanya memberitahu, bukan untuk meminta persetujuanmu!"
"Aku tak peduli, ini hidupku dan mami tak berhak mencampuri urusan pernikahanku,"
"Bagus kalau kamu mengerti ini hidupmu!"Jerit Bu Niar dengan sisa kesadarannya.
"Kamu kapan mengerti kalau yang mami dan papi lakukan adalah yang terbaik buat kamu? Kemarin kamu sendirikan yang mengatakan akan menerima syarat apapun kecuali di penjara, dan kamu malah menolak satu-satunya keputusan yang diambil dengan pemikiran panjang!" sambungnya kemudian dengan teriakan yang bercampur dengan tangis.
Reka tak berkutik, memandang sang ibu yang kini telah menangis. Seumur hidup, seingatnya ini untuk yang pertama kalinya sang ibu begitu marah.
"Sekarang terserah kamu, kamu mau nurut sama mami atau bersedia menerima jalur hukum. Lagipula tidak akan rumit, hanya tinggal menyerahkan hasil visum kepengadilan saja. Itu cukup sebagai bukti kamu melanggar pasal 289 KUHP."tuturnya kemudian dengan suara lebih terkendali.
"Reka, kamu mungkin dapat bertahan 9 tahun dipenjara tapi pikirkan tentang mami, tentang papi!" Bu Niar berbalik, berniat memberikan ruang pada putranya untuk berpikir .Dalam isakan ia pergi, memberi kesempatan pada putranya untuk merenung.
Reka terdiam sambil memperhatikan tubuh ibunya yang kini menenggelamkannya dalam keheningan.
Hening yang lebih nyaring dari teriakan. Seingatnya kejadian ini terjadi satu Minggu yang lalu, namun Silvi bahkan masih enggan menerima penjelasan darinya samapi sekarang. Wanita itu menolak bertemu sama sekali dan hal itu yang kemudian membuat kepalanya terasa nyaris pecah.
Braakkk... Suara benda pecah
"Reka!" Disusul jeritan seorang wanita.
Ia tersadar, menyadari rasa pedih pada buku-buku jemarinya. Darah sudah berceceran dilantai, matanya nampak ling-lung, apa ia yang baru saja memukul meja kaca itu? Tapi...mengapa ia tak merasa melakukannya.
"Apa yang kamu lakukan,hah? Jangan gila!" Ia mendapati tatapan panik dari kakaknya. Beberapa orang nampak datang berhamburan dari berbagai arah untuk mengetahui apa yang terjadi.
Tak ada yang berani berkomentar pada ruang tamu yang kini terlihat kacau. Erna hanya menyuruh mereka membereskannya, kemudian membawa sang adik untuk diobati lukanya.
""Santi, tolong bawakan air hangat juga kotak medis ke kamar saya, ya!" perintah Erna pada salah satu pembantu rumah tangga itu kemudian sebelum pergi.
semangat kak author 😍