Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
semua ini hukuman untukku
Waktunya tidur, aku pun merebahkan tubuh di kasur.
Namun mata ini tetap menolak terpejam. Pikiran tentang dia kembali muncul tanpa bisa kucegah, membuat dadaku terasa sesak.
Seolah-olah bayangannya sengaja hadir walaupun Kini aku sedang beristirahat .
Semakin aku mencoba mengusir bayangannya, semakin kuat ia hadir, mengikat batinku tanpa ampun.
Aku menutup mata, berharap gelap bisa menenangkan. Tapi justru yang datang hanyalah kenangan pahit, kata-kata manisnya yang dulu, lalu tawa bersama, lalu pengkhianatan. Semua itu menumpuk menjadi luka yang kian dalam.
Air mata kembali jatuh tanpa bisa kutahan. Malam ini seakan menertawaiku betapa lemahnya aku di hadapan cinta yang salah. Hatiku begitu sesak, napasku tak beraturan, dan pikiranku kacau.
“Aku bisa gila kalau terus begini…” bisikku pada diri sendiri.
Aku bolak-balik di kasur, memeluk bantal erat-erat, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan. Tapi tetap saja, dadaku sesak. Pikiranku penuh dengan pertanyaan yang tak akan pernah ku jawab.
Hampir jam dua dini hari, mataku masih terbuka lebar. Ruangan gelap, hanya terdengar suara detak jam dinding. Detak itu terdengar keras, seperti mengingatkanku kalau waktu terus berjalan sementara aku terjebak di luka yang sama.
Tanganku gemetar ketika kusentuh dadaku sendiri.
jantungku berdetak begitu cepat, seakan aku sedang lari padahal aku hanya berbaring. Nafasku tersengal, hampir tak teratur.
Aku bangun duduk, menyalakan lampu kecil di samping tempat tidur. Wajahku di cermin tampak begitu lelah, mataku bengkak, dan senyumku entah sudah hilang ke mana. Aku menunduk, lalu menangis lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Tangisku belum juga reda ketika tiba-tiba terdengar pintu kamarku diketuk perlahan.
“Ghea…” suara mama terdengar pelan. Aku buru-buru menyeka air mataku, meski aku tahu percuma mataku sudah sembab, wajahku juga basah.
Pintu terbuka perlahan, cahaya dari luar kamar masuk, dan mama berdiri di sana. Wajahnya tampak khawatir saat melihatku duduk di tepi ranjang dengan mata merah.
Mama melangkah mendekat, lalu duduk di sampingku. “Kamu belum tidur juga, Nak?” tanyanya lembut.
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku. “Aku… aku gak bisa tidur, Ma.”
Mama menghela napas panjang, tangannya menyentuh pundakku, memberi kehangatan yang sulit kutemukan pada siapa pun. “Kamu terus mikirin dia, ya?”
Aku tak menjawab, hanya bisa menggigit bibirku yang bergetar. Air mataku kembali jatuh begitu saja. Mama meraih tubuhku, memelukku erat-erat.
“Sudah, Nak. Mama tahu kamu sayang sama dia, tapi jangan sampai kamu hancur begini. Kamu lebih berharga dari semua itu…” bisik mama sambil mengusap punggungku.
Pelukan mama membuatku sedikit tenang, tapi di dalam hati, bayangan Reza tetap saja menghantui.
Aku masih terisak dalam pelukan mama. Sejujurnya aku lelah, tapi aku juga takut jika harus benar-benar melepaskannya.
“Ma…” suaraku bergetar. “Kenapa cinta bisa sesakit ini?”tanyaku
Mama terdiam sejenak, lalu menatapku penuh iba. “Karena kamu memberi seluruh hatimu pada orang yang salah, Nak.” Ia mengusap pipiku dengan lembut. “Cinta itu indah kalau bersama orang yang tepat. Tapi kalau tidak ya seperti sekarang. Hanya luka.”
Aku menatap langit-langit kamar, sementara mama masih di sisiku. Air mataku sudah mengering, tapi dadaku tetap terasa sesak.
"Apa ini karma? "batinku bergema.
bukan cintaku yang berlabuh pada orang yang salah,tapi jodohku adalah cerminan diriku.
Aku ingat masa lalu, betapa dulu aku sering mempermainkan hati laki-laki, menjadikan mereka pelarian demi kepuasan semu.
Ada rasa bangga kala itu, seolah aku berkuasa. Tapi sekarang? Aku justru hancur karena satu pria yang benar-benar aku cintai.
“Ma…” aku berbisik lirih.
Mama menoleh, mengusap rambutku lembut. “Ya, Nak?”
“Ma… Reza sebenarnya gak salah kok. Aku juga gak bermasalah dan gak pantes buat dia” kataku pelan.
Mama mengerutkan kening, seolah ingin bertanya lebih jauh, tapi aku buru-buru tersenyum tipis. “Aku baik-baik aja, Ma.”
Walau senyum itu terasa berat, mama tidak memaksa. Ia hanya mengusap kepalaku lembut, lalu berkata lirih, “Kalau kamu bilang begitu, Mama percaya. Tapi ingat, Nak… apapun yang kamu rasain, jangan kamu tanggung sendiri. Mama selalu ada buat kamu.”
Aku mengangguk pelan, meski di dalam hati aku berperang dengan diriku sendiri.
Mama hanya terdiam menatapku. Matanya lembut, penuh iba, tapi tak ada kata yang keluar. Ia seakan paham bahwa aku sudah terlalu lelah untuk menjelaskan lebih jauh. Akhirnya, mama menghela napas panjang lalu berdiri. “Istirahatlah, Nak jangan terlalu banyak menyalahkan diri sendiri,” ucapnya sebelum pelan-pelan menutup pintu kamarku.
Sunyi kembali menyelimuti ruang ini. Aku berbaring, menarik selimut hingga menutupi wajahku. Tapi bukan tidur yang datang, melainkan derasnya air mata yang terus mengalir membasahi bantal.
Dalam hati aku berbisik, hampir seperti doa.
"Maafkan aku, Reza aku gak bisa jaga diriku, aku gagal menjaga cinta ini. Aku tahu aku yang salah, bukan kamu"
Suaraku tercekat, hanya tersisa isakan pelan yang pecah di keheningan malam.
Aku menggenggam dadaku yang terasa sesak. Semakin aku menutup mata, semakin jelas wajah Reza muncul, membuatku semakin hancur.
Bukan hanya rasa sakit yang aku rasakan tapi juga rasa bersalah itu menikam tanpa ampun, membuatku ingin berteriak, tapi hanya bisa membeku dalam tangis.
Setelah beberapa saat...
Tangisku perlahan mereda, entah karena terlalu lelah atau memang air mataku sudah habis.
Tubuhku sedikit terasa ringan, meski hatiku tetap penuh luka.
Di tengah keheningan itu, akhirnya aku menyerah pada rasa kantuk yang perlahan datang.
Tanpa sadar, mataku terpejam. Malam itu aku tertidur, tidur tanpa mimpi, seakan semesta pun tahu bahwa aku terlalu lelah untuk kembali diingatkan tentang dirinya.
Pagi pun datang, sinar matahari yang menembus jendela kamarku membuatku perlahan terbangun. Tubuhku terasa berat, mataku perih dan sembab karena tangisan semalam.
Aku menatap bayangan wajahku di cermin kamar begitu pucat, begitu rapuh. Seolah semua orang bisa melihat betapa hancurnya hatiku hanya dari pandangan pertama.
Namun aku berusaha menarik napas dalam-dalam, memaksa senyum kecil meski hanya sekadar untuk bertahan.
Hari ini hari Minggu, seharusnya aku bisa beristirahat dengan tenang. Namun, bukannya merasa lega, kepalaku justru semakin berat dengan pikiran yang tidak kunjung berhenti.
Aku duduk di tepi ranjang, memeluk lututku sendiri. Sunyi sekali hanya suara burung di luar jendela yang terdengar samar.
Sesekali aku menunduk, menyeka sisa air mata yang masih tertinggal di sudut mata.
“Kenapa dulu harus sebodoh itu…” gumamku pelan, nyaris tidak terdengar.
Aku enggan keluar kamar. Rasanya aku hanya ingin berdiam, bersembunyi dari dunia, berharap waktu bisa berhenti walau sebentar saja agar aku tidak perlu memikirkan semua ini lagi.
"Apakah ini balasan dari dosa-dosa zina yang pernah kulakukan di masa lalu bersama mantan-mantanku? "batinku bergetar.
Bayangan masa lalu seolah menamparku satu per satu, mengingatkan aku pada kesalahan-kesalahan yang dulu kuanggap hanya permainan.
Kini aku sadar, mungkin semua ini bukan semata tentang Reza, tapi tentang aku yang sedang dipaksa Tuhan untuk menanggung akibat dari kelalaianku sendiri.