Oliver Alexander, pewaris tunggal keluarga kaya raya, hidupnya penuh dengan pesta, wanita, dan gemerlap dunia malam. Baginya, cinta hanyalah permainan, dan wanita hanyalah koleksi yang berganti setiap saat. Namun, gaya hidupnya yang semakin tak terkendali membuat sang ayah geram.
Sebagai hukuman sekaligus peringatan, Oliver dipaksa turun tangan mengurus salah satu pabrik keluarga di desa terpencil. Awalnya ia menolak, tapi ancaman kehilangan segalanya membuatnya tak punya pilihan.
Di sanalah ia bertemu Laras Maya, gadis desa sederhana yang polos, lugu, bahkan terlihat norak di matanya. Dunia mereka begitu berbeda, bagaikan langit dan bumi. Tapi semakin lama, Oliver justru menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari wanita-wanita cantik di kota, yaitu ketulusan.
Laras yang apa adanya perlahan meruntuhkan tembok arogan Oliver. Dari sekadar kewajiban, hari-harinya di desa berubah menjadi perjalanan menemukan arti cinta dan hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Day 1 Laras
Ladang tebu menyambut mereka dengan sorot senja yang hangat. Para petani beristirahat di bawah sopo kecil, cangkul disandarkan pada batang dan topi bambu diletakkan di tanah. Bapak Laras berdiri tak jauh, baju kerjanya basah oleh keringat lelah tapi raut wajahnya tidak pernah menunjukkan keluhan. Laras belajar untuk selalu bersyukur dari Bapak.
“Pak!” Laras turun dari motor bahkan sebelum benar-benar berhenti. Ia berlari kecil, sepatunya memercikkan debu halus. “Pak… aku diterima kerja!”
Waktu tidak perlu mengulur untuk menyiapkan haru. Mata Bapak Laras langsung basah, garis-garis tua di wajahnya mengendur oleh senyum yang lama ditahan. Ia merentangkan tangan, Laras masuk ke pelukan itu tanpa ragu, memeluk lebih erat daripada yang ia rencanakan. Bau keringat, tanah, dan gula yang menempel di baju bapaknya adalah bau rumah yang tidak ada duanya.
“Alhamdulillah…” suara bapaknya serak, patah di ujung karena kebahagiaan yang tak mencari kata-kata. “Alhamdulillah, Nak. Ibumu kalau masih ada, pasti bangga sekali.”
Para petani yang lain berdiri satu per satu. “Wah, selamat, Laras!” “Kamu pantas lulus Nduk, wong kamu rajin begitu!” “Rejeki orang baik nggak ke mana!” Ucapan itu melingkari mereka, seperti gamelan kecil yang menabuh nada-nada hangat. Jaya berdiri di tepi lingkaran, senyumnya masih cerah sejak mendengar kabar kelulusan Laras.
Laras melepaskan pelukan perlahan. Ia menatap bapaknya, matanya berbinar. “Aku janji akan kerja yang bener, Pak. Aku janji, biar Bapak nggak terlalu capek nantinya.”
Bapaknya mengusap puncak kepala Laras, gerak yang pernah sering ia lakukan ketika putrinya masih kecil. “Kerja yang benar itu bagus, Nduk. Tapi jangan lupa makan, jangan lupa istirahat dan yang paling penting hatimu dijaga agar tetap baik.”
Laras tertawa kecil, mengangguk cepat. “Siap, Pak.”
Begitu mobil meluncur pelan meninggalkan area pabrik. Oliver bersandar malas di kursi belakang, jemarinya langsung memainkan ponsel ditangan sambil mengirimkan beberapa pesan singkat. Roni yang duduk di samping sopir, sesekali melirik melalui kaca spion. Ia tersenyum miring. Tatapan matanya seperti sengaja ingin memancing reaksi bosnya.
“Menarik sekali, Pak. Laras anak petani tebu itu akhirnya diterima juga. Padahal banyak peserta yang tampak lebih… siap.” Suaranya tenang, tapi jelas penuh arti.
Oliver mengangkat alis, memandang sekilas ke arah Roni. “Apa maksudmu?”
Roni berpura-pura sibuk membetulkan posisi duduk. “Ah tidak, saya hanya heran saja melihat posisi namanya ada di urutan nomor satu pada lembar penerimaan. Meski saya harus akui, anak itu memang terlihat cukup tekun. Layak kalau dipertimbangkan.”
Oliver mendengus pelan, wajahnya berubah masam. “Jangan mengada-ada, Roni. Aku tidak ada urusan dengan gadis kampung itu. Kalau dia diterima, berarti murni karena kemampuannya.” ucapnya dengan nada angkuh.
Roni bukannya ciut, malah tersenyum makin lebar. Ia tahu betul bagaimana Oliver menutupi sesuatu. Justru semakin keras menolak, semakin terlihat ada yang disembunyikan.
“Baiklah, Pak. Saya hanya menyampaikan yang saya lihat,” jawab Roni singkat, kali ini dengan nada sindiran samar.
Oliver menatap keluar jendela, enggan melanjutkan pembicaraan. Siapa juga yang bantuin gadis udik itu? Batinnya kesal.
***
Hari ini hari pertama Laras bekerja sebagai karyawan di pabrik gula milik keluarga besar yang selama ini hanya ia dengar dari cerita Bapak dan para petani. Telapak tangannya basah, menandakan ia sedang gugup.
"Baiklah, kita sambut direktur utama berikut jajarannya." suara MC terdengar dari podium.
Ketika pintu besar aula terbuka, suara berisik langsung mereda. Semua staf berdiri begitu pun dengan Laras yang menoleh penasaran. Orang-orang menahan napas begitu pria berjas hitam rapi, wajahnya yang tampan dengan rahang tegas melangkah mantap menuju panggung penyambutan.
Laras terbelalak.
Itu… Oliver.
Pria yang masuk ke kubangan lumpur karena kebodohannya, pria yang bermalam bersamanya dalam gubuk reot. Pria yang ternyata… adalah direktur utama di pabrik ini.
“Astaga…” Laras menunduk cepat, wajahnya memanas. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan lelaki itu adalah atasannya. Selama ini ia hanya mengira Oliver hanya karyawan biasa, tidak lebih.
Oliver naik ke panggung kecil di depan aula. Pandangannya menyapu seluruh ruangan dengan sorot dingin. Ia tak perlu banyak bicara untuk membuat semua orang menahan napas. Aura berkuasa itu terasa jelas.
“Selamat datang di pabrik ini,” katanya dengan suara berat dan datar. “Kalian ada di sini karena dianggap mampu bekerja keras. Jangan pikir kalian sudah aman hanya karena lolos tes. Hanya yang tahan banting yang akan bertahan sampai akhir.”
Beberapa karyawan baru menelan ludah. Laras menunduk semakin dalam.
Oliver tidak banyak berkata-kata, selanjutnya ia menyerahkan pada bagian personalia untuk mengumumkan detail pekerjaan. Namun sebelum turun dari panggung, ia sempat menatap sekilas ke arah Laras yang duduk di baris depan.
Mata mereka bertemu.
Laras buru-buru menunduk, kesulitan menelan ludah sendiri.
Setelah acara briefing selesai, Laras memilih menunggu agak lama di aula. Ia menata map kecilnya, berharap Oliver sudah pergi. Namun sialnya, justru langkah sepatu kulit itu terdengar mendekat.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya menyelidik.
Laras tersentak. Ia buru-buru berdiri, hampir saja menjatuhkan map dari tangannya. “M-maaf Pak, … Saya sungguh tidak tahu, saya kira… saya kira Anda hanya…”
“Hanya apa?” Oliver mengangkat alis, menatapnya penuh ejekan.
Wajah Laras memerah karena malu. “Saya benar-benar minta maaf, Pak.”
Oliver menyilangkan tangan di dada, menunduk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan Laras. Senyumnya tipis, lebih mirip smirk mengejek. “Pak? Bukannya setiap bertemu kau selalu memanggilku ‘Om’?”
Laras menunduk semakin dalam. “Saya… tidak bermaksud…”
“Tapi lumayan menghibur.” Oliver menyahut dingin, lalu berbalik seolah sudah bosan. Namun di dalam hati, ia sendiri tak paham kenapa mulutnya refleks menggoda gadis itu.
Hari-hari berikutnya berjalan penuh rasa canggung bagi Laras. Di bagian administrasi tempat ia ditempatkan, ia bekerja sungguh-sungguh. Kesempatan tidak datang dua kali, ia berusaha teliti supaya cepat menerima promosi sebagai karyawan tetap. Namun semuanya menjadi dua kali lebih sulit bagi Laras, Oliver kadang muncul begitu saja, entah untuk mengecek, entah memang sengaja mencari kesempatan mengusiknya.
Sita, PIC di divisi Laras bekerja menghampiri meja kerjanya dengan ekspresi serius.
“Laras…”
Dengan sopan Laras langsung berdiri, “Iya Bu, ada yang bisa dibantu?”
Sita menatap Laras lekat, ada rasa kasihan yang tersirat di dalam matanya. “Pak Oliver memanggilmu ke ruangannya sekarang.”
Ia menunjuk dirinya sendiri tidak yakin, “Saya, Bu?”
“Ya, kamu. Apa kamu mebuat kesalahan sebelumnya?”
Laras terdiam sejenak lalu menggeleng, ia merasa melakukan pekerjaannya dengan baik dan tidak memiliki masalah dengan siapa pun.
“Sudah sana, masuk saja ke ruang Pak Oliver. Hati-hati ya.”
“Baik, Bu.” Laras merapikan mejanya sebentar sebelum pergi. Sementara Sita memandangnya kasihan, meski lugu gadis itu melakukan pekerjaannya dengan baik. Entah apa yang akan dilakukan oleh Pak Oliver padanya. Kutebak dia akan keluar dengan wajah penuh air mata.
jasngan gengsi aja di gedein 😀😀😀
ntar bucin tingkat Dewa, kluudahcinta 😀😀😀