Rinjani hanya ingin hidup tenang.
Tapi semua hancur saat ia terbangun di kamar hotel bersama pria asing. Dan beberapa jam kemudian mendapati kedua orang tuanya meninggal mendadak.
Dipaksa menikah demi melunasi utang, ia pingsan di hari pernikahan dan dinyatakan hamil. Suaminya murka, tantenya berkhianat, dan satu-satunya yang diam-diam terhubung dengannya ... adalah pria dari malam kelam itu.
Langit, pria yang tidak pernah bisa mengingat wajah perempuan di malam itu, justru makin terseret masuk ke dalam hidup Rinjani. Mereka bertemu lagi dalam keadaan tidak terduga, namun cinta perlahan tumbuh di antara luka dan rahasia.
Ketika kebenaran akhirnya terungkap, bahwa bayi dalam kandungan Rinjani adalah darah daging Langit, semuanya berubah. Tapi apakah cinta cukup untuk menyatukan dua hati yang telah hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Keke Utami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Babak baru
Sudah satu minggu Rinjani berjualan kue di lampu merah. Dagangannya tidak selaris di hari pertama. Bahkan ia pernah mendapatkan upah hanya 3 ribu 400. Dan hari ini, saat waktu sudah beranjak senja, ia masih menunggu pembeli selanjutnya.
“Non!”
Rinjani menoleh, ada Sulis yang baru pulang bekerja.
“Bibi baru pulang?” tanya Rinjani.
Sulis mengangguk kecil, “Iya, ART-nya ada yang pulang kampung seminggu lalu. Jadi kerjaan cuma dibagi dua, sama Bibi dan Teh Ami. Si Nyonya mau cari orang baru, tapi belum ketemu yang cocok.” Sulis menilik bakul kue di tangan Rinjani.
“Masih banyak ya, Non?” tanyanya prihatin.
Rinjani mengangguk pelan, “Iya nih, baru terjual 5 ribu,” ia menatap langit yang mulai berwarna jingga, “Mana udah sore.”
“Ya udah atuh, Non. Nggak usah dipaksain. Ayo kita pulang, Bibi bawa makanan. Non pasti belum makan ‘kan?”
Rinjani mengangguk, tidak menyangkal. Sepanjang jalan menuju kontrakan, ia beberapa kali meringis memegang perutnya.
“Perut Non keram lagi?”
“Iya, Bi.”
Sulis segera mengambil alih bakul kue di tangan Rinjani. Mereka berjalan pelan hingga sampai di teras kontrakan.
Rinjani terduduk di kursi teras, ia menghela napas panjang, membiarkan Sulis masuk lebih dulu.
“Non, ayo atuh masuk. Udah azan magrib. Nggak baik lagi hamil masih di luar,”
Rinjani mengangguk lemah, ia berdiri, dan saat mulai melangkah dunia terasa berputar, penglihatannya bergoyang, ia refleks meraih tiang teras.
“Ya ampun, Non? Kok bisa gini?” bergegas Sulis menghampiri.
“Nggak tahu, Bi. Tiba-tiba aja pusing,”
“Ya udah … jalan pelan-pelan wae, Non.”
********
“Non mending nggak usah jualan lagi, ya?” ujar Sulis kasihan.
Sejak tadi ia dan Rinjani duduk di kamar, dan memperhatikan Rinjani yang terus memijat betisnya dengan minyak urut.
“Kalau aku nggak kerja gimana mau bayar utang, Bi? Terus anak ini … dia akan lahir dan tentu butuh biaya nanti.”
Sulis tidak tega melihat Rinjani, “Ya udah nggak usah jualan, Non. Kerja yang lain aja.”
“Mau kerja di mana, Bi? Semua toko nggak mau terima aku. Lamaran yang aku kirim ke beberapa kantor sampai sekarang belum ada kabarnya. Sedangkan aku butuh biaya.”
Rinjani menghela napas sesak, air matanya kembali menganak. Berjualan di bawah terik memang bukan keinginannya. Namun ia juga tidak punya pilihan.
Sulis terdiam sejenak, mencoba mencari jalan keluar lain.
“Atau Non mau nggak kerja sama Bibi?” celetuknya.
Rinjani cepat menoleh, menatap Sulis yang menepuk mulutnya sendiri, “Aduh … maaf, Non. Bibi nggak bermaksud ngomong gitu. Maaf ya, Non jangan tersinggung.”
Rinjani malah diam. Ia justru tengah berpikir tentang tawaran dari Sulis. Walaupun ia tidak pernah membayangkan akan menjadi ART. Namun setidaknya ia tidak berdiri berjam-jam di bawah terik.
“Iya, Bi. Aku mau.”
Mata Sulis membola, “Non … b-beneran? Nggak apa-apa?” tanyanya tak percaya.
“Iya Bi, seenggaknya aku nggak kerja panas-panasan lagi,”
Sulis tersenyum lega, kekhawatirannya sedikit berkurang karena Rinjani akan bekerja di bawah pengawasannya, “Nanti Bibi telepon Teh Ami, ya. Biar dia yang sampein ke Ibu Olivia.”
“Makasih ya, Bi,”
“Sama-sama, Non.”
***********
Hueek …
Lagi dan lagi, Langit benci kondisinya. Ia segera membilas mulut di wastafel, semua makanan keluar begitu saja. Pria dengan tinggi 188 cm itu menatap pantulan wajahnya di cermin. Satu minggu ini mualnya semakin menggila, selera makannya kian berkurang, ia sensitif terhadap aroma. Bahkan dua hari lalu, ia meminta ART mengganti pengharum ruangan. Sontak hal itu menjadi perhatian seisi rumah.
Bukan tentang aroma ruangan yang diganti. Namun tentang sejak kapan seorang Langit ingin mengurus hal kecil seperti itu? Meski akhirnya ia berdalih ingin mengganti suasana.
“Mas,”
Langit membuka pintu kamar mandi, ada Nafa yang berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan raut wajah datar.
“Mama minta turun. Mau makan malam,” suara Nafa lembut, namun singkat.
Langit mengangguk, “Kamu duluan aja, nanti Mas nyusul.”
Nafa mengangguk singkat lalu pergi, ia memang tidak banyak bicara sejak mereka berdua dijodohkan. Dan Langit juga tidak berinisiatif untuk memulai.
Ia segera menyusul ke ruang makan. Sesampai di ujung tangga, langkahnya justru terhenti.
“Ayo … kenapa malah bengong Langit,” seru Olivia.
Aroma gulai ikan kakap membuat langkah Langit goyah. Ia terusik dengan aroma rempah yang membuat perutnya bergejolak. Namun ia juga tidak ingin memancing perhatian dengan terus berdiri di ujung tangga.
“Ini kiriman dari Oma kamu,” Olivia terlihat antusias menyajikan makanan tersebut ke piring Evan.
Langit mencoba mendekat, duduk di kursi di sebelah Nafa. Ia berusaha tenang. Namun beberapa saat kemudian wajahnya merah, matanya berair, ia segera bangkit, meninggalkan meja dan semua orang yang bingung dengannya.
“Langit? Are you okay?” Olivia mengikutinya, menunggu di depan toilet dapur sampai ia keluar.
“Kamu sakit? Beberapa hari ini Mama lihat kamu pucat,” serbu Olivia dengan pertanyaan, ia khawatir.
“Aku kayaknya cuma kecapekan, Ma. Aku nggak ikut makan malam nggak apa-apa ‘kan?”
“Ya sudah … istirahat aja. Makanannya biar dibawa ke kamar,”
**************
***********
*******
Pagi ini, Rinjani berada di depan sebuah rumah mewah 3 lantai, netranya mengikis setiap sudut di rumah itu, mengingatkan ia kembali pada rumahnya yang disita oleh Darren.
“Bi, Teh Ami udah kasih tahu ke majikannya?”
“Udah … ayo masuk. Non nggak perlu takut, Bu Olivia orangnya baik kok,” ajak Sulis.
Mereka segera masuk melewati pintu samping. Menemui Olivia yang berada di taman belakang.
“Permisi, Bu,” Sulis dan Rinjani mendekat.
Olivia menoleh, ia tersenyum tipis, “Ya?” ia menatap Rinjani, “Oh, ini yang dibilang sama Teh Ami kemarin ya, Teh?” tebak Olivia.
“Iya, Bu.”
“Bisa kerja ‘kan?” tanya Olivia ragu, ia menatap Rinjani dari atas sampai bawah.
“Bisa, Bu. Tapi … Non Rinjani lagi hamil,” ujarnya.
“Hamil?” kedua alis Olivia nyaris bertaut.
“Izinkan saya kerja di sini ya, Bu. Saya butuh uang,” ujar Rinjani cepat, suaranya memohon.
“Suami kamu ke mana?”
Ia dan Sulis saling lirik, mulai salah tingkah.
“A–, suami saya cacat.”
Rinjani menggigit bibir, ia baru saja mengatakan sebuah kebohongan, “Dia … nggak bisa kerja,” tukasnya.