NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 10

Malam itu, hujan turun deras, mengetuk-ngetuk jendela dengan irama gelisah. Di dalam kamar yang hangat, Dewi meringkuk di bawah selimut tebal, namun tubuhnya tetap menggigil. Bukan karena udara, melainkan suara-suara itu.

Dari lantai bawah tanah. ruang tersembunyi di balik dinding beton dan lorong gelap di bawah rumah megah Rafael. terdengar jeritan pilu yang mencabik keheningan malam. Suara itu bukan hanya rintihan. Tapi raungan. Suara seseorang yang perlahan-lahan kehilangan kewarasan karena rasa sakit yang tak terperi.

Dewi memejamkan mata erat. Tapi suara itu terus menghantam gendang telinganya. Seruan minta ampun, isakan putus asa, dan di antara jeda tangis, terdengar suara Rafael. datar, tenang, seperti malaikat maut yang membaca doa kematian.

“Kau pikir aku tak tahu siapa yang mengirim dokumen itu ke polisi?” Suara Rafael bergema dari dinding bawah tanah, rendah dan dingin.

“Ramon sudah mati karena ulahmu. Dan kau pikir kau akan pergi begitu saja setelah menusukku dari belakang?”

Suara cambuk menyentak udara, lalu jeritan kembali pecah.

Dewi menutup telinga. Tapi itu tak cukup. Ia merasa seolah suara itu menggema dari dalam dadanya, menekan napasnya, mengacak-acak pikirannya. Ia ingin menjerit. Ingin berlari. Tapi tubuhnya tak sanggup bergerak. Ia hanya bisa meringkuk, berharap semuanya segera berhenti.

Di ruang bawah tanah yang suram dan lembap, Rafael berdiri di depan seorang pria yang terikat pada kursi logam berkarat. Wajah pria itu babak belur, darah mengalir dari mulut dan pelipisnya. Rafael mengelap tangannya dengan kain putih, yang kini berubah merah. Matanya tak berkedip menatap korban di hadapannya.

“Aku memberimu makan, memberimu tempat, bahkan kepercayaan. Dan kau membalasnya dengan ini?” Rafael menyodorkan selembar dokumen yang basah oleh darah.

“Menjual informasi kepada musuh, menyerahkan data transaksi pada detektif yang bahkan tak mampu menyentuhku tanpa bantuanmu.”

Pria itu tersedak darahnya sendiri, mencoba bersuara, namun yang keluar hanya gumaman parau. Rafael mendekat, menekankan jari telunjuknya ke dahi pria itu.

“Aku tidak membunuh pengkhianat seketika,” bisiknya pelan.

“Aku membuat mereka menyesal lebih dulu.”

Ia mengambil alat lain dari meja di sampingnya. Tang penjepit kecil, dan sebatang besi panas yang masih mengepul. Jeritan berikutnya membuat dinding-dinding rumah berguncang seolah merasakan sakit yang sama.

Jeritan itu terus menggema. Suara besi beradu, suara rintihan yang tertahan, dan teriakan minta ampun yang menggetarkan malam. Dewi memeluk lututnya di atas ranjang, menyembunyikan wajah di balik selimut, tapi suara itu menembus segalanya. menembus kulit, menembus hati, menembus kewarasan.

Ia tahu dari mana suara itu berasal. Ruang bawah tanah di sayap kiri rumah ini. Tempat Rafael melakukan… penyucian, begitu ia menyebutnya. Tapi bagi Dewi, itu lebih mirip pembantaian.

Pintu kamarnya terbuka dengan pelan. Rafael masuk dengan langkah tenang, tubuhnya masih mengenakan kemeja hitam yang kini sebagian lengket oleh cipratan darah di lengan. Ia melepaskan sarung tangan kulit dari tangannya satu per satu, dan menaruhnya di meja. Seolah ia baru saja menyelesaikan pekerjaan kantor biasa.

Dewi tak bisa menahan dirinya lagi. Ia duduk tegak, menatap Rafael dari balik selimut dengan mata merah yang sembab.

“Apa itu perlu?” suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh denting angin di luar jendela. “Apa membunuh... selalu jadi satu-satunya cara bagimu?”

Rafael berhenti membuka kancing kemejanya. Ia menoleh perlahan, menatap Dewi dengan wajah tanpa ekspresi.

“Kenapa kau tanya begitu?”

Dewi menelan ludah. Jantungnya berdegup terlalu keras.

“Aku hanya ingin tahu...” gumamnya, suara mulai bergetar.

“Bukankah... ada cara lain? Kau punya kekuasaan. Kau bisa menyingkirkan mereka tanpa harus menyiksa. Tanpa harus membunuh.”

Keheningan menggantung sejenak. Rafael menatapnya lama, lalu perlahan berjalan mendekat, duduk di sisi ranjang. Tangan kanannya yang belum sepenuhnya bersih dari noda darah terulur ke rambut Dewi, menyibak helai-helai yang menempel di wajahnya.

“Kau tahu,” katanya lirih,

“dulu aku juga berpikir begitu. Aku mencoba mengampuni. Aku mencoba memberi kesempatan. Tapi kesetiaan manusia tak pernah utuh, Dewi. Bahkan jika kau beri mereka emas dan kekuasaan, mereka tetap akan menggigit mu ketika kau lengah.”

Dewi menahan napas. Matanya masih menatap Rafael, tak berkedip.

“Aku tidak percaya semua orang seperti itu,” katanya. “Mungkin beberapa. Tapi tidak semua.”

Rafael tersenyum samar. “Kau masih terlalu polos.”

“Tidak,” balas Dewi cepat. “Aku hanya belum mati rasa.”

Kata-kata itu menggantung di antara mereka. Rafael menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan.

“Dan itu yang akan jadi kelemahan terbesarmu di dunia ini.” Ia berdiri, membelakangi Dewi.

“Tapi juga alasan kenapa aku belum membunuhmu,” tambahnya tenang, seolah ucapan itu adalah pujian.

Dewi terdiam. Hatinya tenggelam dalam perasaan yang tak bisa ia pahami: takut, marah, bingung... dan perih. Rafael tak hanya membunuh orang-orang di luar sana, tapi ia juga perlahan menggerogoti sisi kemanusiaannya.

“Kalau aku kehilangan rasa, apa kau masih akan melihatku sama?” tanya Dewi akhirnya.

Rafael menoleh, matanya tajam.

“Tidak. Tapi mungkin saat itu, kau akan benar-benar jadi milikku.” ucapnya sembari melangkah menuju kamar mandi.

...

Air masih menetes dari rambut Rafael, membasahi dada bidang dan otot perutnya yang terekspos. Handuk putihnya hanya melilit pinggangnya, seakan sengaja memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Dewi melirik sekilas, jantungnya berdebar-debar tak karuan, sebelum kembali menundukkan kepala, pipinya memerah seperti buah delima yang ranum. Aroma sabun dan sesuatu yang lain, aroma maskulin yang kuat dan sedikit tajam, memenuhi udara, mencampur aroma darah yang samar dari kejadian beberapa saat lalu.

Rafael mendekat, langkahnya tenang namun berat, penuh dengan sebuah janji tersirat. Ia mendapati Dewi masih terduduk di ranjang, tubuhnya meringkuk seperti anak kucing yang ketakutan, namun ada getaran lain di balik ketakutan itu. Dengan lembut, namun penuh otoritas, ia mengangkat dagu Dewi, jari-jarinya menyentuh kulit halus gadis itu, membuat bulu kuduknya merinding. Mata mereka bertemu, tatapan Rafael intens, penuh gairah yang tak terbendung.

"Kau masih takut?" bisiknya, suaranya serak, penuh godaan yang membakar. Napasnya hangat membelai kulit Dewi, menciptakan sensasi yang menggetarkan.

Dewi menggeleng pelan, namun tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Lidahnya terasa berat, pikirannya kacau, terombang-ambing antara ketakutan dan sebuah daya tarik yang tak bisa ia tolak. Ia tahu, menolak Rafael sama saja dengan mengundang malapetaka, namun ada sesuatu yang membuatnya tak mampu menolak.

Rafael tersenyum tipis, sebuah senyuman yang membuat jantung Dewi berdebar lebih kencang. Ia mendekatkan wajahnya, napas mereka saling membaur, aroma darah dan sabun bercampur menjadi satu, menciptakan aroma yang aneh namun memikat. Dengan perlahan, ia melumat bibir Dewi, sebuah ciuman yang lembut awalnya, namun kemudian menjadi lebih dalam, lebih penuh gairah, lebih eksplisit.

Lidah Rafael menjelajahi rongga mulut Dewi dengan berani, membangkitkan sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dewi mendesah, namun tak mampu menolak. Tangan Rafael merambat ke rambutnya, membelai lembut, sementara tangan lainnya memeluk pinggangnya erat, menariknya lebih dekat.

Napas mereka saling memburu, tubuh mereka saling melekat, kulit mereka bersentuhan. Ciuman itu semakin intens, penuh dengan emosi yang bercampur aduk: ketakutan, gairah, dan sebuah kepasrahan yang dalam. Di antara ciuman-ciuman itu, bisikan-bisikan Rafael terdengar samar, penuh dengan janji dan ancaman yang membangkitkan gairah.

"Kau milikku... selamanya milikku," bisiknya di antara ciuman, suaranya berat dan penuh dominasi. Tangannya mulai menjelajahi tubuh Dewi dengan penuh naluri, sentuhannya membuat tubuh Dewi bergetar.

Dewi tak mampu menjawab, hanya bisa merapatkan tubuhnya pada Rafael, membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran emosi yang membingungkan. Ia tahu ini salah, namun ada sesuatu yang membuatnya tak mampu menolak. Ketakutan dan gairah bercampur menjadi satu, menciptakan koktail yang memabukkan. Dalam dekapan Rafael, di antara ciuman dan sentuhannya yang penuh gairah, Dewi merasa dirinya terombang-ambing, antara hidup dan mati, antara cinta dan kehancuran. Malam itu, batas antara keduanya menjadi begitu kabur, terhapus oleh gairah yang membara.

Cahaya temaram menerobos celah tirai, menyorot tubuh Rafael dan Dewi yang kini terjalin dalam satu kesatuan. Sentuhan Rafael semakin berani, menjelajahi setiap lekuk tubuh Dewi dengan penuh gairah. Erangan Dewi mengalun lembut, bercampur dengan desahan Rafael yang dalam, menciptakan simfoni sensual yang memenuhi ruangan.

Dewi mendesah lirih, suaranya hampir tak terdengar.

Rafael mencium leher Dewi, meninggalkan jejak-jejak merah di kulitnya yang mulus.

"Kau begitu indah, Dewi," bisiknya, suaranya berat dan penuh gairah. Tangannya merambat ke dada Dewi, meremas lembut bagian dadanya yang mengeras.

"Kau membuatku gila, kau tahu?" Rafael berbisik di telinga Dewi, napasnya hangat membelai kulitnya.

"Aku ingin merasakan mu sepenuhnya." Ia mencium perut Dewi, lalu perlahan turun ke bawah, sentuhannya membuat Dewi meringkuk, tubuhnya bergetar hebat.

"Rafael... oh Tuhan..." rintih Dewi, erangannya semakin keras, memenuhi ruangan yang sunyi.

Rafael mengangkat wajahnya, menatap mata Dewi yang berkaca-kaca.

"Kau menikmati ini, bukan?" bisiknya, suaranya penuh godaan. Dewi hanya mengangguk, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tubuhnya bergetar hebat, dipenuhi oleh gairah yang membara.

Dengan lembut, Rafael memasuki Dewi. tubuhnya menegang sejenak sebelum akhirnya rileks. Gerakan mereka awalnya lambat, penuh dengan kelembutan dan eksplorasi.

"Rasakan aku, Dewi," bisik Rafael, suaranya serak. "Rasakan seberapa bergairahnya aku untukmu."

Seiring waktu, gerakan mereka semakin cepat, semakin liar. Erangan dan desahan mereka menggema memenuhi ruangan, bercampur dengan suara-suara lain yang tak terucapkan. "Rafael... lebih cepat..." pinta Dewi, suaranya terputus-putus. "Isi aku... sepenuhnya."

Rafael mengikuti keinginan Dewi, gerakannya semakin cepat dan dalam.

"Kau begitu sempit... begitu ketat..." bisiknya, suaranya penuh kepuasan.

"Aku menyukaimu seperti ini." Tubuh mereka bergoyang mengikuti irama gairah, keringat membasahi kulit mereka, membuat tubuh mereka semakin lengket satu sama lain.

Di puncak kenikmatan, mereka mencapai klimaks bersamaan. Erangan dan desahan mereka mencapai puncaknya, lalu perlahan mereda. Tubuh mereka terkulai lemas, saling bertaut dalam kelelahan dan kepuasan. Dalam keheningan sesaat setelah badai gairah berlalu, hanya terdengar suara napas mereka yang memburu dan detak jantung yang bergemuruh. Namun, di balik kelelahan itu, tersimpan sebuah kenangan yang tak akan pernah terlupakan, sebuah perpaduan antara gairah dan ketakutan, dominasi dan kepasrahan, yang mengikat mereka dalam ikatan yang rumit dan penuh misteri.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!