Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Rasa yang Tak Kunjung Pergi
Langkahku mungkin sudah jauh dari rumah yang dulu kami sebut milik bersama, tapi pikiranku… masih tertinggal di sana. Setiap sudutnya masih menyimpan cerita. Dapur kecil tempat aku sering menyeduh kopi untuk dua orang, kini menjadi ruang kosong dalam ingatan. Sofa cokelat di ruang tengah, tempat kami duduk menonton film, kini terasa seperti panggung sandiwara terakhir tempat aku mulai sadar bahwa aku hanya pemeran figuran dalam hidupnya.
Sudah seminggu aku tinggal di rumah adik perempuanku, Raya. Ia menyambutku dengan pelukan yang lama kutahan. Katanya, “Kakak nggak perlu cerita apa-apa kalau belum siap. Tapi aku di sini.”
Dan aku menangis malam itu, bukan karena sedih semata, tapi karena untuk pertama kalinya, aku merasa didengar. Tidak diabaikan. Tidak disela. Tidak dibandingkan dengan siapa pun.
Namun yang aneh, bahkan dalam pelukan Raya dan kenyamanan tempat tidur baru ini, kenangan tentang Arvan tak pernah benar-benar pergi. Ia seperti bayangan yang terus berjalan di belakangku, membisikkan rindu yang tak semestinya. Padahal aku tahu, aku adalah satu-satunya yang berjuang. Sendiri.
Aku rindu caranya memanggil namaku saat pulang kerja bahkan jika itu kini hanya jadi kebohongan harian. Aku rindu kebiasaan kecilnya yang menjengkelkan: menaruh handuk sembarangan, atau lupa menutup lemari es. Hal-hal remeh yang dulu kuomeli, kini justru mengendap jadi perih.
Tapi lebih dari segalanya, aku rindu menjadi seseorang yang berarti.
Pagi ini, aku duduk di balkon kecil kamar Raya. Membawa secangkir teh hangat yang ia buatkan. Kabut masih menggantung tipis, matahari masih malu-malu. Ponselku tergeletak di atas meja. Tak ada pesan. Tak ada panggilan.
Satu minggu pergi, dan Arvan tak mencariku.
Hatiku masih berharap diam-diam harap yang memalukan, mungkin. Tapi itu jujur. Aku berharap ada rasa kehilangan di hatinya. Aku berharap dia mencari, meski hanya sekadar bertanya, “Kamu di mana?” Tapi nihil.
Apa aku semurah itu untuk dilupakan?
Aku membuka aplikasi media sosial, mencari sesuatu untuk membunuh waktu. Tapi justru di sanalah hatiku kembali ditusuk sebuah foto. Arvan. Bersama perempuan itu. Di sebuah kafe, wajah mereka begitu dekat, tersenyum, nyaman. Caption-nya ringan, tapi tajam: “Some people are just meant to come back.”
Mereka memang ditakdirkan, ya?
Aku hanya selipan cerita di antara cinta lama yang belum selesai.
Aku mematikan ponselku. Napasku memburu. Kali ini bukan marah. Bukan cemburu. Tapi hampa. Seolah aku baru saja mengubur keyakinanku bahwa aku cukup. Bahwa pernikahan kami punya makna.
Air mataku menetes tanpa suara. Tidak meledak, hanya mengalir seperti air hujan di musim kemarau. Pelan tapi pasti membasahi luka yang belum kering.
“Kakak?” suara Raya dari belakang mengejutkanku. Aku buru-buru menyeka pipi.
“Teh-nya keburu dingin, loh,” ujarnya lembut, lalu duduk di sampingku.
Aku tersenyum paksa. “Ternyata, luka hati tuh nggak sesederhana itu ya, Ray.”
“Karena yang paling sakit itu bukan ketika seseorang pergi… tapi ketika dia tetap tinggal, tapi jiwanya nggak lagi buat kita.”
Kata-kata itu menampar. Benar. Arvan mungkin tidak pernah benar-benar pergi. Tubuhnya ada, tapi hatinya telah hilang lebih dulu bersama perempuan yang selalu ada di belakang layar.
“Kalau kakak lelah, berhenti bukan berarti menyerah, kok,” tambahnya lagi. “Berhenti itu kadang satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri.”
Aku mengangguk pelan. Dalam hati, aku tahu. Ini bukan tentang ingin kembali atau tidak. Ini tentang menyadari bahwa tidak semua cinta layak diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Karena kalau hanya satu pihak yang berdarah, itu bukan perjuangan itu pengorbanan yang sia-sia.
Aku belum sepenuhnya pulih. Masih banyak malam yang kulewati dengan dada sesak. Masih banyak pagi yang kutatap kosong. Tapi aku mulai belajar… bahwa tidak apa-apa terluka. Tidak apa-apa hancur. Karena dari reruntuhan itulah, aku bisa membangun ulang diriku bukan untuk kembali pada dia, tapi untuk berdiri sendiri.
Dan mungkin, suatu hari nanti, ketika rasa ini benar-benar pergi, aku akan bisa tersenyum dan berkata:
“Terima kasih karena tidak memilihku, karena dengan begitu aku bisa memilih diriku sendiri.”