Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18—PPMITMC
HAPPY READING
__________________________________
Seorang pria tampan nan gagah bersandar di samping pintu tertutup kamar pribadi istrinya, dia tersenyum, manis, seraya menyilangkan tangan depan dada.
Dia tertunduk. Memejamkan mata untuk beberapa saat. Pada akhirnya dia angkat dan menggelimantang ke pintu dimana Caroline berada.
Percakapan gadis itu dengan sahabatnya terlalu jelas terdengar di telinga Calvino. "Mau lari ke mana lagi, kamu?" gumamnya, membuat suara gumamannya hanya terdengar olehnya.
Kaki yang berdiri tegap, satu lainnya disilangkan ke kaki lain. "Dia mau pura-pura sampai kapan?" katanya mengernyitkan alis.
"Kenapa dia bersikeras untuk pergi dan mengatakan kalau dia bukan Yuzdeline, kalau bukan dia, lantas siapa?" Dahinya mengerut.
Udara bergelembung. Jika ia berbentuk bola sabun, maka ia meletup saat sampai ke pucuk langit, ya! Aroma itu pecah, lagi. Untuk ke sekian kalinya dan tanpa penjelasan, Calvino bisa mencium aroma yang sulit untuk dijelaskan.
Ia selalu terlena dengannya, seperti saat dia mencium aroma pohon zaitun putih yang tumbuh di samping Kanzha coffee shop, terikat tanpa sebab—seolah ada benang merah yang mengikatnya.
Aroma itu perpaduan langka—hangatnya kayu cendana yang lembut, samar manis vanila bourbon, dan segaris tipis aroma hujan pertama yang jatuh di tanah kering. Ada juga kilasan segar dari jeruk bergamot yang hampir tak terdeteksi, membuatnya terasa hidup, segar, dan begitu manusiawi.
Calvino segera terbangun. Dia memejamkan mata untuk meresapi aroma itu. "Aroma yang sama, saat di Kanzha coffee shop, saat di restoran, saat ..., di jalan itu, ketika aku melihat seorang wanita yang menggerutu, lalu menghilang tanpa jejak," urai Calvino mengerahkan penciumannya sekeras mungkin.
Memandu dirinya untuk lebih peka terhadap aroma tersebut. "Si al!" Calvino gusar.
Kesal rasanya tak bisa menemukan alasan dari mana asalnya aroma tersebut, ia datang tanpa diundang, dan pergi sebelum Calvino puas dengan aroma itu.
Calvino membuka mata sambil menggerutu. "Sebenernya aroma apa itu? Kenapa aroma itu selalu datang selama bertahun-tahun tanpa penjelasan," kesal lelaki itu.
Menyegerakan langkah meninggalkan kamar pribadi istrinya, Calvino berangsur keluar dari lorong itu—berpapasan langsung dengan seorang pelayan yang membawa pakaian Caroline tadi malam.
Pakaian sederhana itu terlipat rapi di atas tangan seorang pelayan, ia melintas di hadapan Calvino.
"Tunggu," tahan Calvino sesaat setelah pelayan itu berlalu dari hadapannya.
Wanita berusia 36 tahun itu spontan menahan langkahnya, dia berbalik dan menunduk sopan. "Ya, Tuan muda? Ada apa?"
Calvino memutar badannya menghadap pada pelayan itu, sorot matanya tertuju pada pakaian lusuh di sana. "Pakaian ini udah terlalu buruk, buang sana, bakar sekalian," perintahnya mengernyit, seolah dia merasa geli melihat pakaian lusuh di matanya itu.
"Kayak gak punya baju lain aja," keluhnya sebelum akhirnya melangkah pergi.
"Tapi, Tuan muda," ucapnya menghentikan pergerakan Calvino, "Kata Nyonya, dia ingin menggunakan pakaian ini kalau keluar rumah, dan di sini ada buku catatan kecil yang saya temukan dari saku Apron-nya," tambahnya menjelaskan lebih mendetail.
Mendadak Calvino mengingat percakapan istrinya dengan seseorang yang belum dia ketahui, hal ini semakin menyatu dengan rencana melarikan diri dari sang istri.
Calvino kembali mendatangi pelayan wanita tersebut. "Buang dan bakar, lakukan perintah saya, paham?!" gertaknya bernada tegas.
Namun, dia mengambil buku catatan yang tergeletak di atas pakaian itu.
Sementara si pelayan semakin menundukkan wajah, takut jika dia mendapatkan masalah karena berkata jujur. "Huh ...." Napas dihembuskan sampai dadanya merasa lega.
Bersyukur bahwa Calvino tak lagi bicara, melainkan langsung meninggalkannya, lelaki itu mengambil jalan kiri dan masuk ke lorong menuju kamar utama yang dia tinggali seorang diri.
Senyum nakal, berdengkus. "No, babe. Permainan ini baru dimulai," urai Calvino melempar-lempar buku catatan itu.
Ia mengudara. Terlepas ke telapak tangan, kemudian melambung lagi ke atas, lalu ia terjatuh lagi ke tempat tadi, hal itu berulang sampai Calvino berhenti di tepian ranjang.
Wajahnya sengaja dia miringkan sambil memutar buku catatan berukuran kecil kecoklatan itu di tangannya, buku catatan itu seperti buku catatan yang sering dia lihat di kafe, coffee shop atau tempat-tempat sejenisnya.
"Sifatmu kali ini sangat menarik. Aku ingin bermain sebentar aja," katanya melempar buku catatan itu ke sembarangan tempat.
Si buku catatan terhempas jauh ke sudut ruangan—ia tergeletak tanpa perintah di dekat standing hanger, menggantung beberapa jas dan kemeja di sana.
Dari lorong keberadaan kamar Yuzdeline, lampu kristal berjejer rapi, dinding kosong dihuni beberapa lampu otomatis yang akan menyala saat manusia terdeteksi melintasinya.
Caroline berlari dengan jubah mandinya pun di atas kepala—handuk tebal melingkar, bertugas mengeringkan rambutnya yang kuyup.
"Baju semalam mana, ya?" gerutunya panik, "Jangan-jangan pelayan di rumah ini yang ambil?"
Gelisah hatinya tak lagi mampu dia redam, sampai pakaian yang dia gunakan semalam ditemukan, pasalnya di sana ada buku catatan kecil yang sangat penting baginya.
Di dalam sana ada banyak hal yang dia tuliskan, bisa dibilang diary kecil yang menceritakan bagaimana harinya dilalui, sepanjang hari, tanpa adanya kebohongan.
"Di mana para pelayan di rumah ini? Kenapa gak ada satupun yang ada di sini," gerutu gadis itu berputar-putar mencari keberadaan pelayan.
Siapapun itu, dia tak peduli. Lantai dua mansion itu nyaris sama dengan luasnya lapangan golf—pikiran hiperbola Caroline demikian.
Caroline melangkah ke tangga, menuruninya satu per satu tanpa memedulikan penampilannya, seolah dia berada di rumahnya.
"Gimana kabar kamu Narendra?" Suara Bambam terdengar lembut menyapa sahabat baik putranya.
"Iya, Narendra. Kayaknya kamu sibuk banget, ya, akhir-akhir ini," timpal Marisa.
"Lumayan, Tante, Om, ada banyak kasus yang harus diselesaikan di law firm," sahut Narendra.
Netranya mulai bermain mengitari kediaman utama sahabat karibnya. Kemudian, dia terkesiap melihat Caroline dalam balutan jubah mandi dengan rok di atas lutut.
Spontan Narendra melempar pandangan sambil memejamkan mata, sesaat setelah itu Calvino terlihat di atas—menyaksikan sahabatnya mendadak mengalihkan pandangan, bahkan matanya terpejam, erat.
Karena heran melihat hal itu, Calvino dengan santai mengalihkan arah pandang ke tangga penghubung lantai dua dengan lantai satu, tetapi dahinya mengeras.
Seketika Calvino membuka mata lebar-lebar. "Oh sh it! Yuzdeline kenapa dia keluar kamar menggunakan jubah mandi aja, dia mau menggoda sahabatku juga?" Kesal Calvino.
Terburu-buru Calvino melepaskan jas yang telah rapi dia gunakan. Kakinya diayun cepat mendekati Caroline, jas navy melayang secara mendadak ke hadapan gadis itu dan tubuhnya diseret ke belakang.
"Aarght ...! Apa, sih?" protes Caroline membalik badan.
Jas itu tidak berhenti. Calvino tetap memakaikan jasnya ke bahu sang istri, lantas dia menggendong lutut istrinya dan berakhir melompat ke bahunya. "Kamu udah kehilangan akal, hah?" tegurnya berbalik.
Calvino membawa Caroline kembali ke kamarnya.
"Aarght ...! Calvino! Turunkan aku ...! Aku bisa jalan sendiri," protesnya bergelantungan di bahu Calvino.
Beberapa kali pun Caroline memberontak, bahkan memukul-mukul punggung Calvino, pria bertubuh atletis ini tetap menggendong Caroline di bahunya sampai ke kamar Yuzdeline.
Setibanya di kamar itu, Caroline dilempar lembut ke atas ranjang. Bukannya ditinggalkan, Calvino justru menarik dasi dan melepaskan kancing kemeja bagian atas, lalu dia datang ke atas tubuh Caroline.
Hal itu membuat gadis itu terkejut. Secara impulsif dia bergeser ke atas. "Aarght! Hei! Mau ngapain?" tunjuknya, panik.
To be continued ....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt