Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian Kontrak Nikah
Setelah Dewi masuk ke kamarnya untuk bersiap menemui sang suami, Azel hanya berdiri terpaku di ruang tamu. Dadanya terasa sesak, campuran antara lega, bahagia, sekaligus bersalah.
Perlahan ia melangkah menuju kamarnya. Begitu pintu tertutup, Azel menjatuhkan diri ke atas ranjang. Pandangannya kosong menatap langit-langit.
Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. “Bunda akhirnya tersenyum lagi… setelah sekian lama,” gumamnya pelan.
Namun hati kecilnya berontak. Ia tahu kebahagiaan bundanya itu berdiri di atas kebohongan. Elzhar, perjanjian pura-pura itu, semuanya bukanlah kenyataan.
Azel memeluk bantalnya erat, seolah ingin mencari kekuatan dari sesuatu.
“Sampai kapan aku bisa bertahan begini? Apa aku sanggup melihat bunda bahagia sementara aku sendiri penuh rasa bersalah?”
Suasana kamar hening, hanya terdengar isak tangis pelan yang Azel coba sembunyikan. Tapi di balik kesedihan itu, ada secuil rasa hangat di hatinya—karena sudah lama ia tak merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu yang begitu bersemangat.
Malam itu, Azel tak bisa tidur. Hatinya masih gelisah memikirkan bundanya dan perdebatan yang tadi sore ia saksikan.
Ponselnya bergetar—nama Elzhar tertera di layar.
“Zel, turun. Gue udah di depan rumah lo,” suara Elzhar terdengar tegas tapi juga sedikit lembut.
Dengan langkah ragu, Azel keluar rumah. Mobil Elzhar sudah menunggunya. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Tidak ada obrolan, hanya bunyi mesin mobil yang mengisi udara.
Sesampainya di apartemen, Elzhar membukakan pintu.
“Masuk,” ucapnya singkat.
Azel melangkah masuk, menatap lagi apartemen mewah itu. Rasanya berbeda dari malam sebelumnya—kali ini suasananya berat, penuh pikiran yang menyesakkan.
Elzhar melepaskan jasnya, duduk di sofa, lalu menatap Azel.
“Lo masih mikirin ibu gue, ya?” tanyanya.
“Udah cukup, L! Gue nggak bisa terus-terusan ikut drama lo,” ucapnya dengan suara bergetar menahan emosi.
Elzhar mencoba mendekat, tapi Azel mundur selangkah.
“Lo sadar nggak tadi? Gue hampir aja ngomong yang sebenarnya. Gue nggak mau bohong terus, apalagi sama nyokap lo!”
“Azel, gue minta maaf tapi gue mohon bantu gue,” jelas Elzhar, wajahnya penuh kesungguhan.
Azel menggeleng cepat.
“Tapi lo nggak mikirin perasaan gue. Gue yang harus nerima tatapan meremehkan dari nyokap lo, gue yang harus pasang senyum palsu, sementara lo gampang banget bikin janji-janji dan Gue ngerasa bersalah, L. Bunda gue bahagia, tapi semua itu karena kebohongan. Gue nggak tenang.”
Suasana jadi panas. Elzhar mendekat, menatap Azel lekat-lekat.
“Gue lakuin ini semua karena gue nggak mau diikat sama orang yang nggak gue cintai. Gue minta maaf Zel udah jauh melibatkan lo.”
Elzhar berdiri, berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di depannya.
“Zel, denger gue baik-baik. Gue nggak peduli orang bilang apa. Gue nggak peduli ibu gue marah, gue nggak peduli keluarga gue. Gue mau lo Tetep di samping gue dan gue akan lindungi lo.”
Azel terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia tak pernah mendengar Elzhar berbicara sejujur itu.
Setelah percakapan panjang yang sempat menegangkan, akhirnya ruangan kembali hening. Suara AC terdengar samar, menyejukkan udara. Azel duduk termenung di sofa, sementara Elzhar berdiri bersandar di dekat jendela, menatap lampu kota yang berkelap-kelip.
Elzhar menghela napas panjang, lalu berbalik menatap Azel.
“Zel…” suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
Azel mengangkat kepalanya, menunggu.
“Gue mau lo nikah sama gue.”
Azel membelalak kaget. “Ap–apa? Lo serius, L?”
Elzhar berjalan mendekat, tatapannya mantap.
“Iya. Tapi… kita bikin kontrak. Gue janji lo bisa bebas nulis apapun di situ. Semua syarat, semua batasan—semuanya terserah lo. Gue bakal nurut.”
Azel terdiam, jantungnya berdegup tak karuan. “Kenapa lo segitunya, L? Sampai rela pake cara kayak gini?”
Elzhar duduk di hadapannya, mencondongkan badan. “Karena gue nggak mau dijodohin, Zel. Dan gue cuma percaya lo yang bisa nolong gue. Dengan cara ini, lo nggak akan terjebak selamanya.”
Azel menggigit bibir bawahnya, hatinya berkecamuk. Antara rasa bersalah, bingung, sekaligus sedikit tersentuh oleh kesungguhan Elzhar.
Entah mengapa, jauh di lubuk hatinya, Azel merasa seolah ingin menolongnya. Ada sesuatu dari tatapan Elzhar yang membuatnya tidak tega untuk menolak. Meski logikanya berkata ini gila, hatinya justru mendorongnya untuk ikut masuk lebih dalam ke rencana ini.
Apa gue bodoh kalau setuju? batinnya. Tapi kalau gue nolak, gue malah makin ngerasa jahat. Dia bener-bener butuh seseorang buat berdiri di sisinya sekarang…
Azel menutup mata sejenak, lalu menghembuskan napas panjang. “Ya udah, L. Gue ikut rencana lo. Kita lakuin ini bareng-bareng.”
Senyum tipis muncul di bibir Elzhar, untuk pertama kalinya terlihat tulus tanpa sarkasme. “Thanks, Zel. Lo nggak bakal nyesel.”
Elzhar menatap Azel lurus, nada bicaranya berubah lebih tenang tapi tegas.
“Karena lo setuju dengan rencana gue, kita tulis kontraknya sekarang, Zel.”
Azel menghela napas panjang, tangannya refleks menyilangkan dada. “Kontrak? Serius lo? Kayak pasangan kawin kontrak di drama-drama itu?”
“Ya seriuslah,” jawab Elzhar sambil mengambil kertas kosong dan pulpen dari laci. “Biar jelas. Lo nggak usah takut, lo bisa nulis semua syarat yang lo mau. Gue bakal nurut.”
Azel sempat ragu, tapi akhirnya duduk mendekat. “Hmm… oke, tapi gue juga mau liat syarat lo apa aja. Jangan sampai gue yang rugi.”
Azel menghela napas panjang. Apa yang harus gue tulis? Ini gila… pikirnya. Namun akhirnya ia mulai mencoret beberapa poin:
Pernikahan ini hanya bersifat kontrak, tanpa ikatan perasaan.
Tidak boleh ada keterlibatan fisik di luar batas sopan.
Setelah tujuan lo tercapai, kontrak akan dianggap selesai.
Gue tetap bebas bekerja dan bergaul dengan siapa pun.
Lo harus menghargai keluarga gue, jangan bikin mereka kecewa.
Elzhar menuliskan dengan tulisan tegas:
Harus saling terbuka dan cerita, nggak boleh ada yang ditutup-tutupin.
Selama kontrak, nggak boleh ada hubungan atau pasangan lain.
Gue akan tetap memberi nafkah ke Azel, baik uang maupun kebutuhan sehari-hari.
Elzhar lalu mendorong kertas itu ke arah Azel sambil tersenyum miring.
“Udah. Fair kan? Gue nggak nuntut banyak, cuma pengen lo jujur sama gue dan nggak main hati sama orang lain.”
Azel melotot, “Hah?! Nafkah segala? Gue kan nggak minta, L. Gue masih bisa kerja buat hidup gue.”
“Justru gue yang minta. Karena nantinya lo Tetep resmi jadi sebagai istri Gue sah secara agama dan negara.meski ini cuma kontrak itu hanya sebuah perjanjian kita Zel.” jawab Elzhar tenang.
Azel terdiam, hatinya mendadak bergetar membaca syarat itu. Ia mencoba menutupi dengan tertawa kaku.
“Gila lo, L. Serius banget kayak beneran mau nikah beneran, bukan kontrak.”
Elzhar yang sedari tadi menatapnya hanya mengangkat alis, lalu menyeringai nakal.
“Hmmm… atau jangan-jangan lo yang sebenernya mau nikah sama gue?” godanya, sengaja mencairkan suasana.
Azel langsung mendengus sambil melempar tatapan sinis, tapi pipinya memerah tanpa bisa ia kendalikan. “Sok banget lo, L! Jangan kebanyakan halu.”
Elzhar hanya terkekeh pelan, merasa puas berhasil membuat Azel salah tingkah.