Violetta Madison gadis 20 tahun terpaksa menyewakan rahimnya demi membayar hutang peninggalan kedua orangtuanya. Violetta yang akrab dipanggil Violet itupun harus tnggal bersama pasangan suami istri yang membutuhkan jasanya.
"Apa? Menyewa rahim ?" ucap Violet,matanya melebar ketika seorang wanita cantik berbicara dengannya.
"Ya! Tapi... kalau tidak mau, aku bisa cari wanita lain." ucap tegas wanita itu.
Violet terdiam sejenak,ia merasa bimbang. Bagaimana mungkin dia menyewakan rahimnya pada wanita yang baru ia kenal tadi. Namun mendengar tawaran yang diberikan wanita itu membuat hatinya dilema. Di satu sisi, uang itu lebih dari cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya. Namun disisi lain,itu artnya dia harus rela kehilangan masa depannya.
"Bagaimana... apakah kau tertarik ?" tanya wanita itu lagi.
Violet tesentak,ia menatap wanita itu lekat. Hingga akhirnya Violet mengangguk tegas. Tanpa ia sadar keputusannya itu akan membawanya kepada situasi yang sangat rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbongkarnya rahasia terbesar Claudia
Beberapa hari berlalu, namun emosi Claudia tak kunjung surut. Amarahnya seperti api yang terus menyala, membakar segala logika yang tersisa. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada kepergian dua orang yang selama ini diam-diam ia remehkan—Violet dan Eva. Tapi kini, kepergian mereka justru membuat rumah itu terasa kosong. Dingin.
Claudia duduk di ruang tengah dengan gelas wine di tangannya, menatap kosong ke arah perapian yang tak lagi menyala. Matanya sembab karena malam-malam sebelumnya ia habiskan dengan tidur yang tak nyenyak dan pikiran yang penuh curiga.
"Kenapa kau tak pernah mengangkat teleponku, Adrian... kenapa kau berubah terlalu jauh ?" gumamnya kesal.
Ia membuka pesan terakhir yang ia kirimkan pada suaminya—belum dibaca. Sudah lebih dari tiga hari Adrian pergi tanpa kabar. Ia mulai merasa kehilangan kendali, sesuatu yang paling dibencinya dalam hidup.
Claudia menghempaskan ponselnya ke sofa lalu berdiri, berjalan ke kamar Violet yang masih kosong. Ia membuka lemari, mengobrak-abrik isi laci seolah ingin menemukan jejak ke mana gadis itu pergi. Namun ia tak menemukan apa pun.
Dari luar terdengar deru mobil yang berhenti di teras rumah. Claudia mengintip dari balik jendela kamar itu, Matanya melebar, jantungnya berdetak tak beraturan. nafasnya yang tadinya memburu kini ia coba redam. Ia berharap itu adalah Adrian namun nyatanya bukan.
"Kenapa mereka datang kesini? Apa Adrian sengaja memberitahu mereka tentang semua nya?"
Pikiran Claudia semakin kacau, tiba-tiba saja mertuanya datang di kediamannya tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Di tambah kepergian Adrian yang tak tau di mana keberadaannya sekarang.
"Apa yang harus aku lakukan ?" gerutunya .
Langkah-langkah tegas terdengar mendekati pintu utama. Suara bel pun berbunyi panjang, membuat Claudia tersentak dari lamunannya. Ia menoleh ke arah pintu, sejenak menimbang apakah ia harus membiarkan mereka menunggu atau segera membuka pintu. Namun sebelum pikirannya mantap, suara ketukan keras menggema.
Duk duk duk!
“Claudia! Kami tahu kau ada di dalam! Buka pintunya!” suara tegas itu terdengar—suara Ibu Adrian, Nyonya Helena.
Claudia menelan ludah. Ia tahu tak bisa bersembunyi. Dengan langkah berat, ia berjalan ke pintu utama dan membukanya perlahan.
Di hadapannya berdiri Nyonya Helena dan Tuan Ramon—kedua mertua yang selama ini selalu menjaga sikap sopan terhadapnya, namun kini wajah mereka tak menyimpan lagi keramahan. Dingin. Tegas.
"Selamat sore, Mama... Papa," ucap Claudia setengah gugup, berusaha tersenyum.
“Tidak usah basa-basi, Di mana Adrian?”potong Helena tajam.
Claudia terdiam. Ia mencoba menahan sorot matanya tetap stabil, meski tubuhnya sedikit bergetar.
“Aku tidak tahu, Ma. Dia pergi sejak beberapa hari lalu tanpa kabar. Aku juga masih menunggu kabarnya."
Helena menatapnya lama, lalu melangkah masuk begitu saja, diikuti oleh suaminya. Claudia memejamkan mata sejenak, lalu mengikuti mereka dari belakang.
“Kami ingin bertemunya, Sekarang!,” ucap Ramon akhirnya, duduk di sofa dengan tangan disilangkan.
Claudia nyaris tak bisa menahan ekspresinya. Kepalanya langsung menunduk, namun bibirnya mencoba bicara.
“Aku... benar-benar tidak tau Adrian dimana, Pa."
Helena mengernyit, sorot matanya tajam seperti hendak menembus batin Claudia.
“Kau benar-benar tak tahu, atau kau pura-pura tidak tahu?” desisnya,sambil menatap Claudia remeh.
"Apa kalian bertengkar? Atau Adrian sudah tau sifat aslimu?" ucap Helena ,nadanya mencibir dengan jelas menantunya itu.
Helena tau wanita seperti apa yang hidup dengan putranya. Namun, ia tak bisa melarang Adrian untuk tidak menikahinya. Selama ini sudah sering Helena memperingatkan Adrian agar tidak mudah mempercayai istrinya namun semua usahanya sia-sia. Adrian masih mempertahannya.
Claudia menegakkan bahu. Ia berusaha menahan getar suaranya, mencoba mempertahankan harga dirinya.
“Jangan tuduh aku macam-macam, Ma. Aku tidak tau apa yang mama bicarakan."
“Cukup!” bentak Helena, membuat Claudia terdiam seketika.
“Sudah cukup. Kau pikir kami buta selama ini?! Kami tahu seperti apa perlakuanmu diluar sana."
Ramon menambahkan, nadanya lebih tenang namun penuh tekanan,
"Kau sebaiknya menghubunginya sekarang . Atau... kami sendiri yang akan mencarinya."
Claudia tampak bingung, entah bagaimana ia harus mencari keberadaan suaminya. Tapi beberapa saat berlalu, Adrian tiba dengan langkah tegasnya. Suara pantofel yang mengiringi kedatangannya itu pun terdengar dingin dan beku.
Pintu utama terbuka perlahan. Sosok Adrian muncul dengan jas hitam yang masih melekat rapi di tubuhnya. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi, tapi sorot matanya menusuk, menyapu seluruh ruang tamu yang kini terasa lebih pengap dari sebelumnya.
Claudia membeku di tempat. Ia tidak menyangka Adrian akan muncul disaat seperti ini. Sorot matanya langsung mencari jawaban dalam raut wajah suaminya, tapi yang ia dapatkan hanya tatapan kosong yang asing.
"Adrian..." panggilnya lirih.
Adrian tak menjawab. Ia hanya melangkah masuk, melewati Claudia tanpa satu pun lirikan. Langsung menuju kedua orang tuanya yang kini berdiri, seolah lega sekaligus menahan kecewa.
“Dari mana saja kau ! "kata Helena tegas, menatap Claudia lurus.
Adrian akhirnya berbicara, suaranya pelan tapi penuh ketegasan. Ia memberikan sebuah map atas bukti-bukti kejahatan istrinya selama ini.
" Maafkan aku atas semuanya. Selama ini aku tidak mempercayai kalian. "
Helena meraih map itu, namun ia menatap Claudia dengan tatapan tajam seperti biasanya.
"Jadi kau sudah sadar sekarang? Itu artinya kau akan menceraikan wanita ini ?" ucap Helena.
Adrian tak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sejenak, seolah menyusun kekuatan untuk mengatakan kalimat yang sudah lama tertahan di dadanya. Saat ia membuka mata kembali, tatapannya mengarah lurus pada Claudia—dingin dan penuh luka.
"Ya, Ma. Aku akan menceraikannya."
Claudia tercekat. Dunia seakan berhenti berputar sesaat. Dadanya sesak, seperti ada tangan tak kasat mata yang menghimpit tenggorokannya.
“Kau… kau tidak serius, bukan?” suaranya gemetar, penuh emosi yang ditahan.
Adrian menoleh padanya, kali ini untuk pertama kalinya benar-benar menatap wajah istrinya. Tapi tidak ada cinta di sana. Tidak ada amarah. Yang tersisa hanya kelelahan.
“Serius, Claudia. Aku sudah cukup. Aku sudah terlalu lama diam. Dan aku tidak akan membelamu kali ini."
Claudia melangkah mendekat, panik. Air matanya mulai mengalir meski ia berusaha tetap tampak tegar.
“Adrian… aku ini istrimu! Kita bisa selesaikan ini tanpa perceraian. Apa kau benar-benar rela membuang semua yang sudah kita jalani?”
"Yang kita jalani? Apa kau tidak merasa bersalah padaku, kau sengaja menggugurkan bayi kita!" pekik Adrian.
Helena dan Ramon terkejut. Lalu Helena berdiri dan menatap Claudia dari atas ke bawah, lalu bersuara penuh sindiran.
"Berani sekali kau melakukannya ! Apa kau tidak punya hati, hingga kau tega menggugurkan darah dagingmu sendiri! "
Claudia mundur satu langkah, tubuhnya melemas seketika. Sorot mata semua orang kini menusuk dirinya seperti pisau-pisau kecil yang menghujam tanpa ampun.
“Aku... kau salah paham....” suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
Adrian mendengus, wajahnya menegang karena menahan emosi.
"Lalu apa semua ini?! Kau mau menutupi semua perbuatanmu atau masih ada lagi yang kau sembunyikan?
“Adrian, dengarkan aku dulu... saat itu... semua serba sulit aku takut... Aku panik...”
“Tidak, Claudia. Yang sulit itu aku. Aku yang berusaha terus bertahan. Aku yang berusaha menjadi suami yang baik, aku selalu percaya padamu dan aku tahu kau tidak pernah benar-benar mencintai siapa pun kecuali dirimu sendiri.”
Claudia menunduk. Air mata kini mengalir deras di wajahnya, tapi tak seorang pun yang merasa iba. Tangisnya seperti gema kosong dalam ruang yang dingin dan kaku.
" Bahkan kau mengatakan kau mandul tapi nyata nya , apa ini Claudia. Kau menggugurkan bayi kita demi selingkuhanmu.". tambahnya.
"Maafkan aku ,Ad. Aku ... tidak bermaksud..."
Namun Helena memotong Claudia,
"Cukup! Sudah cukup Claudia. Jangan mempermalukan dirimu lagi. Semua sudah jelas. Adrian sudah mengetahui semuanya. Lebih baik kau pergi meninggalkan rumah ini sebelum aku mengusir mu." tegas Helena.
Adrian junior sudah otw blm yaaa 🤭
Semoga tuan Adrian, vio ,, Eva dan mama Helena akan baik2 saja dan selamat dari niat jahat papa Ramon
Vio,, kamu harus percaya sama tuan Adrian,, Krn aq juga bisa merasakan ketulusan cinta tuan Adrian utk mu....
Vio..., kamu skrg harus lebih hati-hati dan waspada,, jangan ceroboh yaaa
Qta tunggu kelanjutan nya ya Kaka othor
Tolong jagain dan sayangi vio dengan tulus,, ok. Aq merasa ad sesuatu yang kau sembunyikan tentang vio, tuan Adrian. Sesuatu yg baik,, aq rasa begitu....
Dia takut bukan karna takut kehilangan cintanya tuan Adrian,, tapi takut kehilangan hartanya tuan Adrian.