“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 20
Laila duduk menyamping, dia tidak lagi bisa tenang, dan hanya menjadi pendengar.
“Maaf atas kelancangan saya, sudah tak sopan menyela pembicaraan Bapak. Hadiah yang di maksud pemberian juragan Pramudya itu apa ya?”
Seorang pria bertubuh kurus, kumis tipis, menjawab. “Tak apa bu Bidan, saya maklum atas rasa penasaran, Anda. Biasanya juragan Pram – akan membiayai pendidikan para remaja beruntung itu, memasukkan mereka ke pesantren kota, terus menghadiahkan satu ekor Kambing. Bila orang tuanya pengangguran, maka sang ayah ataupun kakak laki-lakinya, diajak bekerja di perkebunan karet milik juragan.”
‘Biasanya? Berarti sudah sering terjadi 'kan?’
“Berapa lama para anak-anak beranjak remaja itu di pesantren, Pak? Terus pernah pulang tidak selama masa pendidikan?”
Sang bapak menggeleng. “Setahu saya, dan dengar-dengar, belum ada yang pulang, Bu. Katanya terkendala ongkos mahal, terus jadwal pelajaran di pesantren itu sangat padat. Sehingga mereka memilih bertahan hingga lulus. Kalau berapa lamanya, sekitar enam tahun – dari masuk SMP sampai tamat SMU.”
Kening Laila semakin mengernyit, matanya menyipit, kepalanya seperti ditusuk-tusuk jarum, nyeri – dikarenakan dipaksa berpikir keras. “Sudah berapa kali juragan Pram memberi hadiah, dan semenjak kapan, Pak?”
“Sudah lima kali, Bu. Semenjak lima tahun lalu. Setiap tahun kan ada program sunatan massal. Nah, pasti Juragan Pram langsung menjadi dermawan. Tak jarang juga menambah uang pribadi agar acara lancar, Bu.”
“Terima kasih Pak atas informasinya.” Laila tersenyum tipis, dia beranjak, tak lagi selera menghabiskan makanan yang tinggal satu sendok.
.
.
Hari pun berlalu, hampir seminggu sudah Laila mencoba mencari jejak bukti, tetapi hasilnya tak sesuai harapan. Segala cara yang dia bisa berakhir sia-sia, sementara waktu terus berputar, jarum jam enggan berhenti berdetak.
Laila banyak menemui kesulitan. Para arwah gentayangan tidak lagi menghantui nya, seolah sengaja menambah rasa penasaran sang bidan. Pun, kedua pria yang mencoba mencongkel jendela, entah dimana keberadaannya.
Kedua rumah tetangganya terlihat damai, jauh dari hiruk pikuk pagi hari yang biasa terdengar bising. Tidak lagi terdengar suara makian Sopyan, pekikan Anto, dan tangisan lirih Astuti, serta sanggahan Mia.
Sedangkan Ida dan Santo – masih beraktivitas seperti biasa. Pagi hari sang suami memberi makan Ayam, dan istrinya menyiram tanaman buah tomat kalau tidak ya menjemur pakaian.
“Ini terlalu tenang, dan aku paling tidak suka dengan suasana sepi, seperti lautan tanpa ombak yang tiba-tiba nanti airnya surut, lalu tanpa diduga bahaya besar tengah bersiap untuk memporak-porandakan pesisir pantai.” Laila menatap keluar jendela, diluar sedang hujan. Dia baru saja pulang dari dinas, belum pula berganti baju.
“Jumat Kliwon – kemungkinan besar ritual tumbal itu dilakukan pun pada malam yang sama, tapi kapan tepatnya masih misteri. Dua belas bulan dalam satu tahun, sedikitnya ada lebih dari 7 pasaran Jumat Kliwon.” Laila meletakkan cangkir teh di atas meja, dia beranjak melihat kalender tergantung di dinding.
“Jumat minggu depan – adalah Kliwon, kebetulan pas sekali dengan malam bulan purnama. Apa itu waktunya?” sekujur tubuhnya tiba-tiba meremang.
“Tidak-tidak, aku tak mungkin begini terus. Diam, menunggu, sementara diluar sana – seseorang mungkin sedang mengintai calon korban.” Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Resleting tas ransel dia buka, memeriksa ulang perlengkapan perlindungan diri.
“Esok, sebelum fajar menyingsing – aku harus bertindak.”
Kebetulan besok hari merah, dan Laila libur, puskesmas tutup.
Wanita berumur dua puluh lima tahun itu sudah memutuskan. Dia ingin memeriksa sesuatu, setelahnya akan mengajukan cuti dua atau tiga hari. Laila ingin melepaskan segel indera keenam dan ilmu hitam warisan Mbah Ngatemi.
.
.
Keesokan harinya.
Laila menggendong ransel, dia mengenakan kaos berlengan pendek, celana jeans ketat, dan sepatu olahraga, rambutnya diikat satu.
Setelah mematikan semua lampu rumah, dan memastikan kompor minyak tidak dalam keadaan menyala. Laila membuka pintu depan, lalu menguncinya.
Kali ini dia tidak lewat belakang, karena pasti si Jabrik akan meringkik, hal tersebut bisa membangunkan penghuni rumah kedua tetangganya. Laila memutuskan berjalan kaki, akan merepotkan kalau menunggangi Kuda.
Laila melangkah cepat, dia tak membutuhkan penerangan, karena langit mulai terang. Dirinya melewati rumah Ida yang masih gelap, terus lurus sampai di sungai berair jernih.
Sangat hati-hati dirinya menyeberangi sungai – melangkah pasti dan menghindari batu licin.
“Huh hah … orang waras mana yang pagi-pagi buta sudah menantang bahaya kalau bukan Laila Ngatemi.” Dia menatap atap rumah dinasnya dan juga milik Ida serta Mia. Dirinya sudah naik bukit bersebelahan dengan sungai.
Kemudian Laila kembali menyusuri perkebunan karet, beberapa kali dirinya hampir terjungkal, disebabkan kakinya tersangkut akar menjalar.
“Juragan Pram kan kaya, mengapa kebun karetnya dibiarkan semak. Dasar pelit, mau untungnya tapi sangat perhitungan dalam mengeluarkan biaya perawatan,” cibirnya.
Setelah sampai puncak bukit, kini saatnya menuruni. Laila sudah mulai pintar, daripada terjungkal dan berakhir terguling-guling. Dia memilih merosot, mengeluarkan karung berbahan plastik dan licin dari dalam tas. Lalu mendudukinya, langsung saja dirinya meluncur diantara celah barisan pohon karet.
“Seru juga ternyata, nanti pas pulangnya ku ulangi lagi lah.” Disimpannya lagi karung tadi, lalu dia mulai berjalan di pembatas pematang sawah.
Sembari berjalan, wanita itu mengunyah ubi rambat yang semalam dia rebus sebelum tidur, tak lupa satu botol teh manis penambah tenaga.
“Daripada ingin menemukan tempat penjagalan manusia, aku lebih cocok disamakan dengan orang mau bertamasya di tengah hutan.” Dia terkikik, kedua tangannya direntangkan sehingga basah oleh air embun yang hinggap di dahan padi.
***
Saat matahari mulai bersinar, Laila sudah sampai di bukit yang mana terdapat aliran sungai, lalu airnya jatuh ke bawah.
"Bagaimana caranya aku turun ke bawah sana? Apa melompat saja dari sini? Sepertinya tidak berbahaya, paling pun celaka cuma leher nyaris patah," ucapnya melantur.
Pelan-pelan, dengan berpegangan pada akar pohon keluar dari dalam tanah – Laila hendak turun ke dasar air terjun.
'Eh, ada pintu? Bukan, tapi ditengah-tengah air terjun ini ada ruang, gua kah?' awalnya dia ragu, tapi dorongan rasa penasaran tinggi dan memang disinilah tempat dia melihat sosok wanita melambaikan tangan, membuatnya memutuskan untuk memeriksa.
Ternyata betulan gua, lantai luarnya basah oleh percikan air terjun yang jatuh ke dasar permukaan sungai.
Dikeluarkannya senter tangan, baru saja dirinya melangkah satu kali, hawa dingin menerpa kulitnya.
'Gelap sekali, sedikitpun tak ada cahaya yang masuk.' Senter dalam genggaman dihidupkan, diarahkan kedepan, menyorot bebatuan berbetuk tajam menggantung di langit-langit gua, sedangkan dasarnya berbatu cadas berwarna putih kecoklatan.
Semakin kakinya melangkah ke dalam, suhu bertambah dingin, sehingga Laila merasa seperti di ruang freezer.
Namun, jimat Laila bereaksi – mengeluarkan suhu panas.
Auch.
Laila mengadu, kulit bagian yang dilingkari oleh jimat terasa seperti terbakar.
'Kau kenapa Jin?' Kakinya berhenti melangkah, dia ingin memeriksa dengan menaikan kaosnya.
Tiba-tiba hidungnya mencium bau kapur barus, dupa dibakar, dan aroma kuat bunga melati.
Wanita penakut itu tidak lari keluar, melainkan melangkah tegas, mengikuti jejak aroma pekat, senternya dia arahkan ke depan.
Tepat di ujung gua, berdinding batu putih keabu-abuan, sesuatu nyaris membuat jantung Laila berhenti berdetak.
Kakinya lemas, dia bergeser kesamping, bersandar pada dinding batu.
'Kerangka siapa itu?'
Seseorang memukul tengkuknya, langsung saja dirinya luruh, dan diambang batas kesadarannya – dia melihat lampu obor menyala serta mendengar seruan.
Bugh!
"Bawa dia kesini! Sudah waktunya memulai ritual!"
.
.
Bersambung.
Qatar panas woooooy
Smoga Laila bisa menguak misteri ini, dan juleha dan krban yg lain dpt keadilan seadil-adilnya.
laila2 skrg kek mana coba