Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10_Merekah dalam Sunyi
Angin malam menyapu lembut balkon apartemen. Suara kota mulai redup, hanya tersisa desau samar dari kendaraan jauh di bawah sana. Langit tak sepenuhnya gelap, lampu-lampu gedung tinggi berpendar seperti bintang buatan, sementara Namira duduk bersandar di kursi kecil yang menghadap langsung ke pemandangan langit Jakarta.
Di tangan kirinya, secangkir teh jahe mengepul. Di ujung balkon, Sean sedang menyiram tanaman-tanaman kecil yang baru ia beli minggu lalu, inisiatif pribadi yang awalnya membuat Namira mendecak pelan, tapi diam-diam ia biarkan tetap tumbuh di sudut ruang ini.
“Udara malam begini bikin tenang, ya,” gumam Namira pelan.
Sean menoleh.
“Iya. Nggak banyak yang bisa diam menikmati hening kayak begini.”
Namira menatapnya sebentar. Kata “nggak” meluncur dari mulut Sean dengan sangat wajar. Bukan “tidak”. Bukan “saya”. Bukan “Ibu”.
“Aku boleh nanya sesuatu?” tanya Namira tiba-tiba.
Sean tampak sedikit kaku.
“Tentu. Eh... iya, maksudku... boleh.”
Namira mengangkat alis.
“Kamu baru aja bilang ‘aku’, ya?”
Sean memalingkan wajah, sedikit malu.
“Refleks. Maaf. Aku maksudnya… saya.”
Namira tersenyum tipis.
“Enggak usah terlalu formal, kayaknya aneh aja kalau di balkon begini masih pakai ‘Ibu’ dan ‘saya’. Kita kan tinggal satu atap.”
Sean duduk di kursi seberang, menyimpan gembok formalitasnya untuk sesaat.
“Baiklah. Aku coba, ya.”
Namira mengangguk.
“Aku juga.”
Hening sejenak.
“Kamu tadi mau tanya apa?” tanya Sean.
Namira menggulung selimut tipis di kakinya.
“Kalau kamu bisa memilih profesi lain... kamu pengen jadi apa?”
Sean tertawa pelan, lalu berpikir.
“Waktu kecil, aku pengen jadi tukang becak.”
Namira spontan tertawa kecil.
“Serius?”
“Iya. Di kampung dulu, ada tukang becak yang selalu senyum meski panas-panasan. Aku pikir, itu pekerjaan yang bahagia. Bisa jalan-jalan, ketemu orang, dan bikin orang sampai tujuan.”
“Lucu ya. Anak-anak memang polos.”
Sean mengangguk.
“Tapi kalau sekarang... mungkin aku pengen jadi penulis.”
Namira mengernyit. “Penulis?”
“Iya. Kadang aku suka nulis di notes hape. Cerita-cerita pendek, refleksi, apa pun yang lewat di kepala. Nggak penting, sih. Tapi menulis bikin aku merasa... seimbang.”
Namira menatapnya lebih lama dari biasanya.
“Kamu bukan orang biasa, ya.”
Sean hanya tersenyum.
“Kalau kamu sendiri?” tanyanya balik.
Namira mengangkat bahu.
“Waktu kecil aku pengen jadi astronot. Mungkin karena aku pengen kabur jauh dari semua ini. Dari dunia yang ribut.”
“Dan sekarang?”
“Sekarang?” Namira termenung.
“Sekarang aku cuma pengen punya satu hari... di mana aku bisa jadi diri sendiri. Tanpa topeng. Tanpa tuntutan. Tanpa media. Tanpa harus jadi Namira Maxzella.”
Sean menatapnya pelan.
“Berat ya, jadi kamu.”
“Kadang.” Namira memainkan cangkirnya.
“Tapi aku juga belajar... kalau terlalu lama jadi kuat, kita lupa rasanya lemah. Padahal, itu manusiawi.”
Angin malam kembali berhembus. Ada percakapan yang terdengar biasa, tapi dalam. Seperti dua jiwa yang pelan-pelan membuka jendela kecil ke arah satu sama lain.
“Eh,” ucap Namira, mengalihkan suasana.
“Kamu punya makanan favorit?”
Sean mengangguk.
“Nasi goreng pete buatan ibu. Bikin sendiri sekarang sih, tapi rasanya nggak pernah bisa sama.”
Namira mendengus kecil.
“Aku nggak tahan bau pete.”
“Klasik,” Sean tertawa.
“Kamu?”
Namira tersenyum geli.
“Aneh, sih. Aku suka mie instan mentah. Dihancurin, dikasih bumbu, terus dimakan kayak snack.”
“Masa?” Sean kelihatan kaget.
“Nggak nyangka dari semua makanan fancy yang bisa kamu makan, kamu malah suka itu.”
Namira memandang jauh ke arah lampu-lampu kota.
“Karena itu satu-satunya yang bisa aku makan diam-diam waktu kecil. Kalau lagi stres, aku sembunyi di lemari baju, bawa sebungkus mie mentah, dan diem aja di sana.”
Sean tidak tertawa. Ia hanya menatapnya dengan pengertian.
“Kamu kesepian, ya,” ucapnya pelan.
Namira terdiam.
“Ya,” jawabnya jujur.
“Tapi sekarang... entah kenapa, rasanya nggak terlalu sepi.”
Sean menggeser posisinya. Masih ada jarak fisik di antara mereka, tapi percakapan itu telah memendekkan jarak batin.
“Namira.”
“Hm?”
“Kita ini... sebenarnya dua orang asing yang dipaksa menikah demi sesuatu yang nggak kita inginkan.”
Namira menoleh.
“Kamu nyesel?”
Sean menggeleng.
“Belum tentu. Kadang, yang terpaksa itu malah membuka jalan ke sesuatu yang nggak kita rencanakan. Bukan berarti baik atau buruk. Tapi mungkin... perlu.”
Namira menarik napas panjang.
“Mungkin kamu benar.”
Hening lagi.
“Aku nggak nyangka kamu bisa ngobrol kayak gini,” gumam Namira.
“Kenapa?”
“Karena kamu selalu tenang. Dingin. Kayak... batu.”
Sean tertawa.
“Mungkin aku butuh waktu buat cair. Sama seperti kamu.”
Namira tersenyum.
“Aku ini terlalu banyak dinding, ya?”
“Sedikit. Tapi beberapa mulai retak.”
Mereka tertawa pelan. Bukan tawa gembira, tapi tawa lega. Akhirnya bisa bicara tanpa beban, tanpa peran.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika mereka masih di balkon, tanpa sadar waktu berlalu begitu cepat. Cangkir-cangkir teh jahe sudah kosong, selimut-selimut tipis mulai dingin. Namun tak satu pun dari mereka ingin masuk lebih dulu.
“Aku ada satu kebiasaan aneh,” kata Sean tiba-tiba.
Namira menoleh.
“Apa?”
“Aku suka jalan kaki keliling kompleks habis hujan. Cuma buat mencium aroma tanah basah.”
Namira tersenyum geli.
“Kamu romantis juga ternyata.”
“Jangan bilang-bilang,” kata Sean sambil menahan tawa.
“Nanti reputasiku sebagai kurir pemberani rusak.”
Namira tertawa.
“Tenang. Rahasiamu aman sama aku.”
Sejenak, mata mereka bertemu. Tidak ada kalimat manis. Tidak ada gombalan. Tapi di sana, di antara tawa dan canggung, muncul sesuatu yang sulit dijelaskan. Bukan cinta. Tapi mungkin... awal dari sesuatu.
***
Ketika akhirnya mereka berdiri dan kembali ke dalam apartemen, suasana sedikit canggung kembali muncul.
“Eh, jadi... besok kamu masih kerja?” tanya Namira sambil merapikan gelas.
“Iya. Pagi-pagi ada paket ke Rawamangun,” jawab Sean.
Namira mengangguk.
“Kalau sempat, aku pengin bubur ayam. Aku pengen makan itu lagi.”
Sean menatapnya.
“Permintaan istri?”
Namira berpura-pura mendengus.
“Jangan GR. Ini cuma soal makanan.”
Sean mengangguk pelan, tapi di matanya ada senyum yang tak bisa disembunyikan. Mereka berpamitan dengan kalimat sederhana. Tapi saat pintu kamar ditutup masing-masing, hati keduanya berdetak sedikit lebih cepat. Ada yang tumbuh. Pelan. Tak bersuara. Tapi nyata.
Malam itu, di antara langit yang perlahan gulita dan lampu kota yang tak pernah padam, dua orang asing mulai belajar: ternyata, tidak semua keterpaksaan membawa luka. Kadang, ia membuka jalan menuju kehangatan yang tidak pernah mereka duga.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.