NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:417
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1

Pada zaman dahulu, orang-orang di nusantara percaya bahwa bayangan bukan sekadar gelap yang mengikuti langkah manusia. Bayangan adalah bagian halus dari jiwa, belahan tipis yang menghubungkan manusia dengan dunia roh.

Namun tidak semua jiwa bisa kembali dengan tenang. Bila seseorang mati dengan cara yang tidak wajar—karena bunuh diri, dendam yang membara, kelaparan yang tak tertahankan, atau kematian penuh penyesalan—maka rohnya tersesat. Ia tidak bisa kembali ke alam leluhur, tidak bisa pula masuk kembali ke dunia manusia. Roh itu pun terperangkap di antara terang dan gelap, di lapisan bayangan yang tak terlihat.

Di sanalah roh itu menderita. Ia kehilangan tenaga untuk bertahan, dan dari kelemahan itu lahir rasa lapar yang tak berujung. Lapar akan sesuatu yang hanya dimiliki manusia hidup—bayangan. Maka, perlahan-lahan, roh itu mulai mendekati manusia, menyedot sari kehidupan dari bayangan mereka.

Orang-orang menamai makhluk itu Lelepah. Roh gagal yang harus memangsa bayangan agar tetap ada.

Lelepah yang lemah hanya berupa bisikan samar, bayangan kabur di sudut mata. Namun ada yang begitu tua dan kuat, hingga mampu mengambil rupa manusia. Mereka membentuk tubuh dari energi bayangan yang telah ditelan, dan memilih wajah yang tampan atau jelita agar mudah menipu manusia.

Namun, sekalipun menyamar, selalu ada tanda yang membedakan mereka. Matanya terlalu hitam, atau terlalu pucat. Bayangan mereka sendiri bergerak tak selaras, atau kadang… hilang sama sekali.

Karena itu, orang tua dahulu selalu berpesan kepada anak-anaknya:

“Jangan terlalu lama menatap bayanganmu sendiri. Jangan pula berjalan sendirian di senja hari. Sebab bila kau bertemu seseorang yang terlalu rupawan, perhatikanlah tanah di bawah kakinya. Bila ia tak berbayang… maka larilah. Karena itu bukan manusia. Itu adalah Lelepah.”

Masa kini...

“Sama seperti kasus sebelumnya,” ucap Keniro, kapten tim detektif Lira, dengan nada datar yang justru membuat udara di ruangan semakin berat.

TKP itu dipenuhi aktivitas. Kilatan lampu kamera dari tim forensik sesekali menyilaukan, suara klik shutter bercampur bunyi langkah sepatu bot yang menekan lantai kayu. Seorang petugas jongkok di dekat mayat, mengukur jarak dengan penggaris forensik, sementara yang lain menempelkan label nomor bukti pada benda-benda di sekitar.

Lira melangkah hati-hati, pandangannya terpaku pada tubuh korban yang tergeletak di tengah ruangan. Kulitnya pucat kelabu, bukan pucat normal, melainkan pucat yang membuatnya tampak seperti lembaran foto hitam-putih. Tubuhnya berkerut kaku, seolah semua cairan dan isi di dalamnya sudah tersedot habis. Tidak ada rona, tidak ada kehidupan—hanya kulit yang membungkus tulang tipis.

Keniro menunjuk ke lantai di sekitar mayat. “Bayangannya hilang. Sama seperti korban lainnya.”

Lira memicingkan mata, mencoba melihat dari sudut berbeda, tapi cahaya lampu tak memantulkan apa pun. Ragu-ragu, ia mengeluarkan ponselnya dan menyalakan senter, menyinari tubuh itu dari berbagai arah. Hasilnya sama—tidak ada siluet, tidak ada garis gelap di lantai. Tubuh itu benar-benar datar dari segi cahaya, seolah bukan benda tiga dimensi.

Bulu kuduk Lira berdiri. Di matanya, mayat itu lebih mirip gambar yang ditempel di lantai ketimbang jasad manusia. “Ini… seperti hanya coretan di atas kertas,” gumamnya.

Keniro menatapnya serius. “Dan sesuatu di luar sana bisa membuat manusia jadi seperti ini.”

Beberapa jam kemudian, Lira dan Keniro kembali ke kantor penyelidikan regional. Udara lembap masih menempel di jaket mereka saat melewati lorong sempit yang dindingnya penuh papan pengumuman, foto TKP, dan peta dengan garis-garis merah.

Dari balik pintu kaca ruang rapat, para anggota tim sudah berkumpul di meja oval. Tumpukan map, laptop menyala, dan cangkir kopi berserakan. Lampu gantung memancarkan cahaya pucat, menyoroti wajah-wajah serius yang menunggu.

Keniro masuk lebih dulu, melepaskan jasnya ke sandaran kursi, lalu berdiri di depan papan presentasi. Foto-foto korban terpampang di layar proyektor. “Korban pertama: pria 42 tahun, pembunuh yang hanya dihukum setahun setengah. Korban kedua: buruh pelabuhan, pengedar narkoba. Korban ketiga: pelaku pelecehan anak. Korban keempat—yang kita temukan pagi ini—identitasnya sudah kita kantongi, tapi latar belakangnya masih kosong. Belum ada catatan kriminal yang jelas.”

Ia menatap seluruh ruangan. “Tapi pola yang kita lihat sejauh ini menunjukkan, korban bukan orang biasa. Kita tidak bisa abaikan kemungkinan keterkaitan kasus ini.”

Keniro menekan tombol, menampilkan foto close-up tubuh korban keempat: kulit pucat kelabu, berkerut, tanpa bayangan. “Kondisinya sama. Tidak ada tanda kekerasan konvensional. Tidak ada DNA asing. Tidak ada siluet, meskipun cahaya diarahkan langsung.”

Suasana ruangan mengeras. Beberapa detektif mencatat, yang lain bertukar pandang. “Untuk saat ini, fokus kita—” Keniro menatap satu per satu anggota timnya, “—temukan rekaman CCTV di sekitar rumah korban. Tanya tetangga, gali siapa saja yang mengenal korban, baik secara pribadi maupun lewat pekerjaan. Kita butuh gambaran hidupnya sebelum kematian.”

“Siap, Kapten,” jawab salah satu anggota.

Malam menelan kota dalam balutan lampu jalan yang pucat. Hujan gerimis meninggalkan kilau tipis di aspal, ban mobil memecah genangan kecil saat Keniro dan Lira terus menyusuri jalan. “Sejauh ini, korban punya satu kesamaan,” ujar Lira, matanya menatap kosong ke depan.

“Pelaku kriminal,” potong Keniro tanpa menoleh. “Korban pertama: pembunuh yang cuma dihukum setahun setengah. Kedua: pengedar narkoba. Ketiga: pelaku pelecehan anak. Keempat: pemilik judi online.”

“Ken…” Lira menarik napas berat. “Aku mulai ragu manusia bisa melakukan ini.”

“Entahlah,” jawab Keniro, suaranya datar namun mengandung beban. “Kita selidiki sebisa kita.”

Lampu merah memaksa mobil berhenti. Lira menoleh ke luar jendela. Dari kejauhan, di jembatan penyeberangan, ia melihat seorang anak SMA berdiri di pagar, seragamnya kusut, wajahnya kosong seperti tak lagi mengenali dunia.

Di belakang anak itu, seorang pria berjas hitam dan kemeja hitam tanpa dasi berdiri santai. Tangannya di saku, dan di bibirnya terukir senyum tipis yang tidak hangat—senyum yang lebih mirip tatapan predator menikmati kelemahan mangsanya.

Lira membeku sesaat, lalu—klik!—membuka pintu dan berlari keluar.

“Lira! Hei! Mau ke mana?!” teriak Keniro, tapi suaranya tertelan deru lalu lintas malam.

Tangga jembatan ia naiki dua anak tangga sekaligus, napasnya memburu. Jantungnya menghentak di telinga saat angin malam dingin memukul wajahnya. Bau besi dari pagar jembatan bercampur aroma aspal basah memenuhi hidungnya.

Sesampainya di atas, ia melihat anak itu mulai mengangkat satu kaki ke sisi luar pagar. Pria berjas hitam itu tak bergerak, hanya memiringkan kepalanya sedikit ke arah Lira, matanya gelap seperti lubang tak berdasar, senyumnya tak berubah. Bayangannya memanjang dan melengkung di lantai jembatan, bergerak perlahan seolah punya nyawa sendiri.

“Dek, jangan!” teriak Lira.

Detik terakhir—ia menerjang, meraih tubuh anak itu dengan kedua tangan. Tubuh mereka terhempas ke lantai jembatan, berguling sekali sebelum berhenti. Lutut Lira perih tergores permukaan kasar.

Pria itu berbalik, melangkah pergi tanpa terburu-buru, tak sekalipun menoleh. Bayangannya tetap merayap di bawahnya, bergeser seolah mengikuti irama yang tak terlihat.

“Dek! Sadar!” Lira mengguncang bahu anak itu. Kelopak matanya bergetar sebelum perlahan terbuka. Tatapannya linglung, wajahnya basah oleh gerimis, seperti baru bangun dari mimpi yang panjang dan menakutkan.

“Kamu nggak apa-apa?” suara Lira bergetar. Anak itu mengangguk pelan, bibirnya gemetar, namun ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Lira menatap punggung pria itu yang mulai menuruni jembatan. Napasnya masih memburu, tenggorokannya kering, tapi instingnya berteriak: jangan biarkan dia pergi.

Ia langsung berlari. Sepatu boot-nya menghantam lantai besi jembatan, dentangnya bergema keras di tengah malam yang basah. Pria itu—tinggi, bahu tegap, langkahnya mantap—menoleh sekilas. Senyum tipis masih menempel di wajahnya, seolah ia sudah memperhitungkan bahwa Lira akan mengikutinya.

“Berhenti!” teriak Lira, suaranya memantul di lengkung baja jembatan.

Pria itu tidak berlari, tapi setiap langkahnya panjang, cepat, dan terukur. Saat Lira mulai menutup jarak, ia membelok ke tangga dan menuruni anak tangga dengan kelenturan yang aneh—gerakannya terlalu mulus, nyaris tanpa hentakan, seperti tubuhnya mengikuti aliran air. Bayangan di bawah kakinya bergerak lebih dulu, menjulur ke anak tangga berikutnya, seolah menuntun arah.

Di bawah, lalu lintas masih padat. Lampu mobil memantulkan kilatan cahaya yang memotong kegelapan, klakson sesekali terdengar, bercampur suara deru mesin. Lira melompat dua anak tangga sekaligus, hampir menabrak seorang wanita yang membawa tas belanja. “Maaf!” serunya sambil terus mengejar.

Pria itu melintas di antara kerumunan tanpa menyentuh satu pun orang, seolah tubuhnya menemukan celah yang tidak dilihat orang lain. Lira mempercepat langkah, napasnya berat, jantungnya menghantam dada. Saat jarak hanya tinggal dua meter, angin dingin menyapu wajahnya. Ia melihat jelas—bayangan pria itu memanjang, lalu terpecah menjadi dua arah berbeda sebelum kembali menyatu di bawah kakinya.

Tanpa ragu, pria itu berbelok masuk ke sebuah gang sempit di sisi jalan. Dinding beton di kiri-kanan memantulkan suara langkah Lira yang cepat, menggema seperti pukulan palu. Begitu ia masuk, hawa di dalam gang berubah. Udara di sana lebih dingin, hening seperti ruang kosong, bahkan suara lalu lintas di luar terasa jauh.

Pria itu berdiri di ujung gang, punggungnya tegak. Lira mengangkat pistolnya. “Berhenti!” suaranya terdengar tegas, tapi genggaman tangannya sedikit bergetar.

Pria itu menoleh perlahan. Matanya… hitam pekat, nyaris tanpa putih, berkilau dingin seperti kaca basah. Senyumannya tetap tipis, tak bergerak sedikit pun. “Kau… bisa melihatku,” ucapnya, suaranya rendah, serak, namun menusuk langsung ke dasar pikiran Lira.

Kepala Lira berdenyut hebat. Matanya terasa berat, napasnya terhenti setengah jalan. Ada sensasi seperti pusaran gelap menariknya ke dalam. Giginya mengatup keras, bibirnya digigit hingga nyaris berdarah, memaksa tubuhnya tetap sadar.

Pria itu melangkah setapak mendekat. Bayangannya di tanah merambat seperti cairan, menyentuh ujung sepatu Lira. Sensasi dingin merayap cepat ke betis, lalu ke pahanya, membuat seluruh ototnya kaku. “Sampai jumpa, Detektif,” bisiknya—nyaris seperti angin yang lewat di telinga.

Lampu neon di atas mereka berkedip sekali… dua kali… lalu padam sejenak. Dalam sepersekian detik itu, pria itu lenyap. Tidak ada suara langkah, tidak ada bayangan, hanya udara dingin yang menempel di kulit.

Lira berdiri terpaku, pistol masih teracung, jemarinya gemetar. Dada naik-turun cepat, keringat dingin membasahi pelipis. Yang tersisa hanyalah aroma lembap gang dan kesadaran menyesakkan: ia baru saja menatap sesuatu yang jelas bukan manusia.

Ruang pusat CCTV kepolisian dipenuhi deru kipas pendingin dan cahaya layar yang berkedip. Puluhan monitor menampilkan sudut-sudut kota, menari dengan gambar hitam-putih dan warna buram.

Lira duduk di kursi operator, matanya terpaku pada rekaman yang diambil malam tadi di jembatan. Tangannya cekatan memundurkan waktu.

Klik.

Gambar bergerak mundur, memperlihatkan anak SMA itu masih berdiri di pagar, lalu… pria itu. Jas hitam, kemeja hitam, rambut gelap yang sedikit berantakan, dan mata—bahkan di rekaman—tampak terlalu tajam untuk kamera biasa.

“Perbesar,” ucap Lira. Operator di sebelahnya menggerakkan mouse, wajah pria itu memenuhi layar. Lira mencondongkan tubuh. Ia melihat jelas lekuk rahang tegas, garis senyum samar, dan tatapan yang seolah… menatap balik dari layar.

“Oke, simpan frame ini. Aku mau pencarian wajah,” kata Lira.

Mereka memasukkan foto itu ke sistem identifikasi wajah nasional. Layar menampilkan persentase pencocokan yang terus berputar. Lira mengetuk meja tak sabar.

10%… 40%… 99%… lalu—"Tidak ada hasil yang ditemukan."

Lira mengerutkan kening. “Ulangi, pakai database internasional.”

Operator mencoba lagi. Butuh waktu beberapa menit, dan akhirnya… sama. Kosong. “Mustahil,” desis Lira. “Semua orang punya jejak. SIM, paspor, kartu identitas… minimal foto di sekolah.”

Dia menatap layar lagi, matanya menyipit. “Oh ya… anak SMA itu mungkin mengenalnya.”

Tanpa menunggu lama, Lira meraih tasnya dan keluar. Siang itu juga ia melaju ke sekolah anak itu, membiarkan sinar matahari menyengat kulitnya. Di kepalanya, wajah pria itu terus berputar seperti potongan film yang tidak mau berhenti.

SMA Negeri 5 berdiri di tengah hiruk-pikuk kota, gerbangnya penuh siswa berseragam yang berlarian karena bel masuk sudah berbunyi. Lira menapaki halaman dengan langkah mantap, jas panjangnya berkibar ringan dihembus angin siang.

Ia langsung menuju ruang guru. Di dalam, aroma kopi bercampur bau kertas dan spidol menyambutnya. Beberapa guru menghentikan pekerjaan mereka saat melihat seorang wanita mengangkat ID kepolisian masuk.

“Permisi, saya dari kepolisian. Saya ingin bertanya tentang salah satu murid,” ucap Lira sambil mengeluarkan foto dari map—foto Van yang ia ambil dari rekaman CCTV. Seorang guru muda berambut sebahu mendekat. “Saya Bu Ayunda, wali kelas Damian. Ada apa dengan murid saya?”

“Saya butuh berbicara dengan Damian. Bisa dipanggilkan sekarang?”

Guru itu mengangguk, lalu keluar kelas. Lira mengikutinya. Mereka melewati deretan pintu kelas hingga berhenti di salah satu ruangan. Suara riuh pelajaran mereda saat Bu Ayunda memanggil, “Damian, ikut Ibu ke ruang BK.”

Damian melangkah keluar. Rambutnya acak-acakan, seragamnya tidak terlalu rapi. Wajahnya memang terlihat lebih segar dibanding semalam, tapi tatapannya agak ragu saat melihat Lira.

Mereka duduk berhadapan di ruang BK. Lira membuka catatan kecilnya. “Damian, aku mau tanya. Kemarin malam… kamu ada di jembatan penyebrangan dekat Jalan Seruni, kan?”

Damian menelan ludah. “Iya… saya ingat.”

“Kenapa kamu ada di sana? Siapa pria yang berdiri di belakangmu?”

Damian mengerutkan kening, kebingungan jelas terpancar dari wajahnya.

“Pria? Saya Cuma ingat… Anda duduk memangku kepala saya, terus… tiba-tiba Anda berlari menjauh. Itu saja. Saya nggak ingat apa yang terjadi sebelumnya.”

Lira diam beberapa detik. Ada jeda aneh di sana—bagian paling krusial justru hilang. Lira menatapnya lekat-lekat. Tidak ada tanda-tanda dia berbohong. Hanya kebingungan yang nyata. Apa mungkin pria itu yang menghapus ingatannya?

Lira melangkah keluar dari gerbang sekolah. Matahari siang memantul di permukaan aspal, menyilaukan hingga membuat matanya menyipit. Namun, di sela panas yang menggigit kulit, ada hawa dingin tipis yang merayap di belakang lehernya—aneh, seperti hembusan napas dari sesuatu yang tak terlihat.

Kerumunan siswa berseragam putih abu-abu berdesakan di trotoar. Tawa, teriakan, dan deru sepeda motor bercampur menjadi satu, menekan telinga. Ponselnya tiba-tiba bergetar di saku jaket.

Ia mengangkatnya. “Lira, di mana kamu?” Suara Keniro terdengar datar, tapi ada nada cemas di baliknya. “Aku… ada urusan,” jawab Lira, matanya menyapu kerumunan. “Kamu baik-baik saja?”

“Iya. Nanti kuceritakan di kantor.”

Klik. Sambungan terputus.

Lira menarik napas panjang, mencoba meredakan denyut yang mulai terasa di pelipis. Ia melangkah ke area parkir, menuju mobilnya yang terparkir di bawah flamboyan tua. Daun merah oranye berguguran di kap, beberapa menempel di kaca depan seperti bercak darah pudar.

Kantor Penyelidikan Regional – Ruang Rapat

Pintu ruang rapat terbuka keras—hentakan logam engselnya memantul di dinding. Lira masuk dengan langkah cepat, map tebal di tangan. Obrolan kecil dan suara lembaran kertas berhenti seketika.

Keniro duduk di ujung meja memanjang, jas kerjanya terbuka, tatapannya terangkat dari berkas yang sedang ia baca. Campuran rasa ingin tahu dan kewaspadaan terlihat jelas di matanya.

“Aku ingin semua mendengarkan ini.” Suara Lira tegas, nyaris tanpa jeda.

Ia menurunkan map ke meja, lalu menyalakan proyektor di ujung ruangan. Suara mesin proyektor berdengung pelan, lampu sorotnya memantulkan foto buram dari CCTV: seorang pria berjas hitam, kemeja hitam tanpa dasi, berdiri di jembatan penyeberangan. Di depannya—seorang remaja berseragam SMA, memegang pagar jembatan.

“Namanya… belum jelas,” ujar Lira. “Tak ada data. Pusat data kependudukan nihil. Bahkan pemindaian wajah di database interpol—kosong. Tapi aku menemukannya di lokasi kejadian tadi malam.”

Keniro menyandarkan punggung ke kursinya, kedua tangannya terlipat di dada. “Dan?”

“Remaja itu, Damian, siswa SMA 5, ditemukan hampir melompat dari pagar jembatan. Dia selamat. Tapi yang aneh…” Lira memutar kursinya sedikit, menatap seluruh ruangan. “Damian tidak mengingat apa pun. Satu-satunya yang dia ingat—aku menariknya jatuh dari pagar. Tidak ada ingatan tentang pria ini, padahal dia jelas berdiri di belakangnya.”

Seorang anggota tim, Rafi, memiringkan kepala, alisnya bertaut. “Kau yakin dia melihatnya?”

“Yakin. CCTV menangkap mereka berdiri di jarak setengah meter.”

Gumaman kecil terdengar di antara anggota tim. Beberapa mulai menunduk, mencatat di buku mereka, yang lain saling bertukar pandang tak percaya.

Keniro mengetuk ujung jarinya di meja, sekali, dua kali. “Jadi, apa yang kau pikirkan?”

“Entah ini hipnosis, manipulasi pikiran, atau sesuatu yang lebih… rumit.” Lira menekankan kata terakhir itu. “Tapi pria ini harus kita cari. Aku yakin dia terhubung dengan fenomena hilangnya bayangan para korban.”

Seorang anggota tim perempuan, Ayu, mengangkat alis. “Kita masih bekerja dengan asumsi pelaku manusia… kan?”

Lira terdiam sebentar, lalu menatap lurus ke layar. “Sejauh ini, iya. Tapi kalau dia… bukan manusia?”

Keheningan turun, hanya suara dengung proyektor yang terdengar.

Keniro memutusnya dengan ketukan keras di meja. “Oke. Foto ini masuk ke daftar pengawasan internal. Tidak ada yang bocor ke media. Kita pantau setiap kemunculannya. Dan satu lagi…” tatapannya mengunci pada Lira, “…jangan hadapi dia sendirian lagi.”

Lira tidak menjawab. Hanya jemarinya yang mengetuk pelan map di pangkuannya—irama tak sadar dari pikiran yang tak tenang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!