Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lukisan Berdarah
Vani sudah duduk di sebuah kursi yang sandarannya sedikit miring ke belakang. Wajah gadis itu pucat dengan lingkar mata yang menghitam. Semalaman ia tak bisa memejamkan mata, sebab setiap kali terpejam, selalu muncul bayangan-bayangan mengerikan.
Hari ini Bu Mely membawa si bungsu ke hipnoterapi. Kata temannya, metode itu bisa menyingkap penyebab ketakutan sekaligus mengobati trauma. Seorang ibu hanya takut sesuatu terjadi pada anaknya, mencoba menyembunyikan segala luka yang selama ini dianggap biasa saja.
Setelah semua proses dijalankan, Vani akhirnya terlelap. Ia diminta mengeluarkan segala keluh kesahnya, namun alam bawah sadarnya justru membawanya kembali ke hutan. Gadis itu berjalan sendirian di antara pepohonan yang menjulang dan rindang.
"Gue di mana?" tanyanya panik.
Ia memutar tubuh, menembus kabut yang makin tebal. Rasa takut mencekam, membuat Vani berlari, mencari jalan keluar.
Namun, cahaya dari barat membawanya kembali ke gua—tempat permainan terkutuk itu.
Kakinya seolah digiring masuk meski pikirannya menolak. Menelusup ke mulut gua, tubuhnya mendadak merinding. Meski terang, aura mistis terasa begitu pekat. Vani menangis, memohon untuk terbangun, sebab ia sadar ini hanyalah mimpi.
"Gue gak mau masuk lagi ke sini!" teriak gadis itu. "Ma, Mama! Kak, tolongin gue!"
Suara kelalawar berdecit dari dalam gua. Aroma bangkai menyengat menusuk hidung. Vani kelabakan, perutnya bergejolak hebat. Rasa ingin muntah tak tertahankan. Ia berlari ke samping, satu tangan bertumpu pada dinding gua, tangan satunya memegangi perut.
Suara gerasak-gerusuk membuatnya menoleh. Ia terkejut ketika menyadari dikelilingi makhluk-makhluk mengerikan. Wujud mereka bervariasi, tak ada yang tampak normal. Jika ada, pasti bersimbah darah.
Vani seolah terperangkap dalam situasi mustahil. Lari tak mungkin, karena benar-benar terkepung. Ia hanya bisa menjerit, tubuhnya terjatuh ke tanah. "Pergi kalian, jangan ganggu!"
"Kamu salah satu yang sudah membangkitkan kami!" terdengar suara berbisik, membuat Vani semakin histeris.
Semua sosok itu mendekat, seakan bersiap menakar kesalahan Vani. Tak lama kemudian, ia terbangun dari tidur panjangnya. Di samping, ada ibunya yang menatap dengan penuh kekhawatiran. Vani segera memeluk sang ibu, suaranya bergetar sambil mengulang rasa takut yang tak terucap.
Selama sesi hipnoterapi, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Vani. Gadis itu hanya terisak, menangis dalam diam. Padahal, alam bawah sadarnya seharusnya bisa menuntunnya untuk menjelaskan apa yang tengah terjadi. Mereka bahkan harus mengoyak tubuh Vani agar ia lekas sadar.
Terlebih, ketika wajahnya mendadak menguning dan bibirnya membiru, napasnya tersengal. Berbagai upaya pun dilakukan agar gadis berhidung mancung itu kembali terjaga.
Setelah membereskan berkas dan perlengkapan lainnya, Bu Mely berpamitan pulang. Di dalam mobil, Vani banyak diam, menatap jendela dengan air mata yang perlahan menetes.
Melihat keadaan putrinya, Bu Mely merangkul tubuh Vani dari samping. Suhu tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. Bu Mely menduga, mungkin si bungsu sedang pulih dari demamnya.
“Kamu jangan takut, ya, Sayang. Mama janji bakal jagain kamu,” ucap Bu Mely, menahan sesak di dada, tenggorokannya serasa tercekat.
“Vani nggak lakuin itu, Ma. Sumpah, bukan Vani,” gumam Vani. Suaranya terdengar lemah, pasrah, seperti kehilangan tenaga untuk bicara.
Bu Mely terperanjat. Ia menoleh ke samping, membelai rambut Vani dengan tatapan penuh intensitas.
“Lakuin apa? Coba bilang ke Mama.”
Hening. Pandangan Vani kosong, seperti mengambang di ruang tak bernama.
Kecurigaan mulai merayapi pikiran Bu Mely. Ada hal yang mungkin dilakukan Vani bersama teman-temannya. Ia berpikir untuk mendatangi sekolah, menanyakan keseharian putrinya itu.
Cara pengobatan pertama telah ditempuh, namun hasilnya nihil. Cara kedua pun dipertimbangkan: bertanya langsung atau memanggil ahli gaib. Bu Mely menahan fanatisme dalam dirinya demi gadis tercinta yang bercita-cita melanjutkan kuliah ke luar negeri setelah lulus SMA nanti.
Bu Mely menarik pelan kepala Vani agar bersandar di bahunya, lalu mengusap tangan lembut putrinya. “Mama akan lakukan apa saja supaya kamu sembuh. Mama bekerja keras selama ini supaya Vani bisa kuliah di luar negeri. Maaf kalau Mama justru kadang kurang perhatian.”
Sekali lagi, air mata Bu Mely menetes. Menjadi seorang ibu tunggal memang melelahkan, apalagi menghadapi dua remaja yang sedang berada di masa-masa mencari jati diri. Ia menghela napas panjang, berusaha tetap tegar menahan tangis yang sejak tadi mengintai untuk meledak.
......................
Sementara itu, di ruang Seni, Ratna sibuk menggoreskan kuas di atas kanvas. Seharusnya ia sudah pulang sekolah sepuluh menit yang lalu, tetapi Ratna memilih menyelesaikan tugas yang tertunda kemarin. Kebetulan, lukisan wajah yang dibuatnya belum selesai. Dengan penuh percaya diri, ia menuntaskan gambar wajah Naya.
“Naya pasti senang,” gumam Ratna bangga. Ia berencana akan mampir ke rumah Naya dan memberikan lukisan itu sebagai hadiah pertemanan.
Selama melukis, suasana begitu hening. Namun, justru Ratna menikmati kesendiriannya. Ia bisa benar-benar berkonsentrasi, hingga pekerjaan cepat terselesaikan.
Keheningan itu pecah ketika salah satu gambar yang dipajang di dinding tiba-tiba jatuh. Ratna terperanjat, bangkit, lalu berbalik badan. Dahinya mengernyit saat mendekati kanvas yang tergeletak di lantai.
Ia mengangkat gambar yang dibuat minggu lalu bertemakan Dream. Di pojok bawah, tertulis nama Vani. “Kenapa jatuh?” bisiknya.
“Siang, Ratna…”
Ratna sontak menoleh. “Eh, siang, Bu.”
“Boleh kita bicara? Di sini saja,” ucap Bu Tutik, yang memang sejak siang ingin menemui Ratna. Jadwal mengajar hari ini padat, tapi Bu Tutik sempat melihat Ratna masuk ke ruang eskul gambar.
“Boleh, Bu, sebentar.” Ratna buru-buru menggantung kembali gambar yang tadi dipegang ke tempat semula.
Keduanya menarik kursi ke tengah ruangan. Bu Tutik membuka percakapan dengan basa-basi, menanyakan kabar Ratna dan kondisi kelas belakangan ini. Ia tahu Ratna termasuk anak berprestasi, tapi memang kurang mahir bersosialisasi dengan teman-teman sekelas.
“Tapi saya suka sendiri, Bu,” jawab Ratna setelah guru itu bertanya mengapa ia jarang terlihat bersama anak-anak lain.
“Emmm, Ibu paham. Pasti Ratna termasuk anak introvert,” ucap Bu Tutik dengan lembut.
“Entahlah, Bu. Mungkin dari kecil saya memang sudah terbiasa sendiri.” Meski jawabannya terdengar menusuk, bibir Ratna masih mengguratkan senyum manis. Namun, di balik itu tersimpan sejuta kebohongan. Bagi anak yang sering dibully, semua orang terlihat sama—jahat.
Bu Tutik mengusap bahu Ratna, berusaha menenangkannya. Ia melanjutkan pertanyaan, “Oyah, kata Mas Robi, kemarin pas kemah, Ratna sekelompok sama Kevin, ya?”
Ratna mengangguk. Ia menyimak dengan seksama ketika Bu Tutik bercerita bahwa pagi tadi ia menelepon ibunya Vani, dan keadaan Vani saat ini cukup memprihatinkan. Bu Tutik juga berencana menengok langsung karena pihak keluarga ingin berdiskusi dengan sekolah.
“Ibu cuma ingin tanya, apakah ada hal yang dilakukan Kevin dan teman-temannya selama kemping kemarin? Kalau tanya ke mereka, ya pasti tidak akan mengaku,” jelas wanita berjilbab hitam itu. Bukan rahasia kalau geng Kevin memang sering membuat masalah.
Ratna terdiam. Ia bingung harus berkata apa. Satu sisi, ia kasihan pada Vani. Di sisi lain, pihak sekolah memang perlu menindak perilaku Kevin dan teman-temannya. Ia hendak berbicara, tapi di depan pintu, Kaila sedang mengintip.
Awalnya, Kaila memang ingin ke ruang gambar untuk mengambil barang-barang yang sempat tertinggal kemarin. Sekalian mengambil hasil karya Vani untuk diberikan ke guru seni karena dianggap terbaik minggu lalu. Namun, yang ia temukan ternyata mengejutkan.
Setiap kali melihat anggota geng Kevin, entah kenapa Ratna merasa lemah. Trauma dan malas menghadapi masalah membuatnya akhirnya berkata, “Sa-ya kurang tahu, Bu. Soalnya saya nggak terus sama mereka.”
Dari sorot mata Ratna, Bu Tutik tahu gadis di depannya berbohong. Apalagi, ia pernah mempelajari ilmu psikologi saat kuliah. Ia menoleh ke arah pintu, tapi tidak ada siapa pun di sana. Kaila telah bersembunyi dengan cepat di samping ruangan.
“Oke, Ratna. Kalau kamu punya informasi, kabari Ibu, ya. Gak usah takut. Orang yang menyuarakan kebenaran hidupnya dilindungi Allah. Justru kita akan merasa tersiksa kalau terus menyimpannya sendirian. Kamu mau pulang?”
Ratna menggeleng. “Saya masih mau beresin gambar, Bu.”
“Ya sudah, Ibu duluan, ya. Maaf sudah mengganggu waktunya Ratna. Mari, Rat, assalamualaikum…”
“Wa’alaikumsallam.”
Bu Tutik segera pergi, karena hari ini ia sudah ada janji dengan keluarga Vani. Namun tak lama wanita itu meninggalkan ruang, Kila masuk dan menutup pintu, menguncinya dari dalam. Gadis itu melangkah mendekat ke Ratna yang tengah menunduk, ketakutan.
“Lu ngomong apa sama Bu Tutik?” tanya Kila ketus.
“A-aku nggak ngomong apa-apa.” Tangan Ratna mendadak dingin, jemarinya saling meremas.
Kila, kesal, menarik tangan Ratna agar berdiri. Sebuah tamparan mendarat di pipi Ratna.
“Gue peringatin lu, ya. Jangan macem-macem kalau nggak mau habis di tangan gue.”
Ratna memegangi pipinya yang panas dan sakit. “Kila! Aku nggak bilang apa pun sama Bu Tutik. Kamu tanya aja sama dia!”
“Iya, sekarang nggak bilang karena lu tadi lihat gue di depan pintu. Kalau nggak ada, gimana? Lu pasti ngomong, kan? Jangan munafik.” Kila menarik rambut Ratna ke belakang. Ratna hendak menjerit, tapi suaranya dibekap seketika.
“Gue benci sama lu, karena lu tuh aneh!” Tubuh Ratna terdorong hingga menabrak lukisan wajah Naya. Air dari gelas yang digunakan untuk membersihkan kuas tumpah, merusak wajah Naya yang telah selesai dibuat.
“Hah, lukisan aku!” Ratna panik, bergegas mengangkat kanvas yang sudah ia kerjakan berhari-hari.
“Mampus!” cebik Kila, lalu segera pergi, meninggalkan Ratna yang tengah menangis. Bukan karena rasa sakit fisik—itu sudah biasa baginya—tapi karena hatinya hancur melihat karya yang dibuat sepenuh hati kini rusak berantakan.
Dengan isakan yang masih tersisa, Ratna bangkit. Ia menata kembali kanvasnya dan membereskan seluruh peralatan melukis.
Karena kelelahan, gadis itu akhirnya memutuskan untuk pulang.
Ruang gambar kembali hening.
Aura kemarahan masih terasa kuat, terutama ketika dari lukisan wajah Naya meneteskan darah yang membentuk tetesan mirip air mata.