Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.
Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps.10 Rapuh
Sudah dua hari sejak Maarten pergi ke Pulau Komodo. Dia tidak memberikan kabar untukku.
Awalnya aku mencoba santai.
Kupikir mungkin dia sibuk, atau sinyal di sana buruk.
Tapi semakin malam datang, semakin aku merasakan kekosongan yang tidak bisa diisi oleh apa pun.
Dan akhirnya, malam ini, aku memberanikan diri untuk mengetik sesuatu.
Tanganku sempat berhenti beberapa kali di atas layar, menghapus, menulis ulang, lalu menghapus lagi. Tapi akhirnya aku kirim juga.
“Hey… gimana kabarnya? 😊”
Aku menatap layar cukup lama.
Sepuluh menit… dua puluh… setengah jam.
Sampai akhirnya, bunyi notifikasi muncul.
“Hay Kelly! Maaf banget aku baru balas. Sinyal di sini parah, baru dapet sinyal stabil sekarang di kafe kecil pinggir dermaga.”
Aku tersenyum kecil, dan napas lega perlahan keluar.
“Aku udah lihat komodo hari ini. Kamu harus lihat ekspresi aku waktu pertama kali liat. Antara takut, kagum, sama pengen peluk (tapi ya jelas gak mungkin hahaha!).”
Aku menatap layar itu lama.
Rindu yang selama dua hari menumpuk tiba-tiba runtuh begitu saja.
Lalu, aku membalas.
“Aku senang mendengarnya. Tapi aku juga… kangen kamu, Maarten.”
Aku diam sebentar. Jemariku mengetik perlahan.
“Dan… aku masih menyimpan ini.”
Aku ambil foto gambar kupu-kupu ungu kecil hadiah dari kinder joy.
Kupu-kupu yang dia bilang “cantik sekali.”
Kupotret dengan lembut, lalu kukirim fotonya.
“Aku jaga dia baik-baik. Aku taruh di meja dekat tempat tidurku. Setiap aku lihat dia, aku ngerasa kamu nggak pergi jauh-jauh.”
Balasannya tidak langsung datang. Tapi beberapa menit kemudian, satu pesan masuk
“Kelly….. Aku nggak tau harus bilang apa. Tapi kamu baru aja bikin jantungku hangat banget. Terima kasih udah nyimpan kupu-kupu itu. Aku janji, aku juga bakal jaga kenangan malam itu sebaik kamu jaga mainan kecil itu.”
Lalu dia kirim satu foto.
Gantungan kunci yang dia dapat malam itu. Masih sama. Bentuk lucu, sedikit penyok karena tergencet ransel.
“Dia ikut aku ke mana-mana. Aku gantung di tasku, jadi setiap aku buka ransel… aku inget kamu. Aku inget malam itu. Warung kopi. Tawa kita. Tatapan kamu waktu malu-malu buka hadiah.”
Aku senyum sendiri sambil menatap layar.
“Dan kalau aku jujur… aku juga kangen kamu, Kelly. Tapi aku takut bilang duluan. Takut kamu merasa ini terlalu cepat.”
Aku membalas pesannya dengan semangat.
“Enggak cepat. Perasaan datang nggak selalu sesuai jadwal. Kadang justru muncul ketika kita nggak siap.”
Lalu kami sama-sama diam beberapa saat.
Tapi itu bukan keheningan yang menyakitkan.
Itu keheningan dua hati yang mulai saling bicara… bahkan tanpa suara.
“Kita beda benua, beda bahasa, beda kehidupan… tapi rasa nyaman ini nggak bisa bohong ya?”
“Iya. Dan kadang… yang kita butuh cuma satu orang yang bisa bikin kita ngerasa dimengerti. Dan kamu adalah orang itu.”
Pesan itu terkirim. Dan malam itu, walau jarak membentang ribuan kilometer, kami masih tetap saling berkomunikasi.
Karena aku tahu, kupu-kupu kecil itu bukan sekadar mainan.
Dia adalah saksi.
Dari malam yang sederhana, yang diam-diam tumbuh menjadi sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Kamu tahu nggak, Kelly? Aku lihat kupu-kupu ungu itu… dan aku sadar sesuatu...... Kamu adalah kupu-kupuku...... Bukan karena kamu kecil atau rapuh. Tapi karena kamu indah, dan sejak malam itu, kamu terbang masuk ke hidupku, diam-diam, tanpa suara… tapi membekas.”
Aku membaca pesannya pelan-pelan.
Detak jantungku rasanya makin cepat. Tapi bukan panik. Ini rasa…
“Kamu punya tempat yang istimewa dihatiku. Kamu adalah kupu kupu indahku”
Aku menutup wajahku dengan telapak tangan. Rasa senang, haru, dan bingung bercampur jadi satu.
Bagaimana seseorang yang baru kukenal sebentar bisa membuatku merasa… begitu cukup?
“Mungkin kita bisa bertemu lagi jika kamu mau”
Aku terdiam sejenak.
Jantungku berdebar. Ini adalah bagian pesan yang paling istimewa.
“Aku gak minta apa-apa. Aku cuma pengen duduk lagi berdua sama kamu. Jalan kaki, minum kopi, atau cuma lihat bulan seperti malam itu. Kalau kamu bilang iya, aku akan cari waktu. Aku akan kembali.”
Aku langsung membalas pesannya dengan semangat.
“Tentu saja aku ingin! Aku gak keberatan. Bahkan…”
Lalu aku kirim satu foto kupu-kupu itu lagi.
Kali ini dengan caption:
“Dia masih di sini. Dan dia juga nunggu kamu.”
Beberapa detik kemudian, Martin membalas:
“Aku janji, kupu-kupu itu gak akan nunggu sendirian terlalu lama.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, rindu yang semula menggantung akhirnya berubah jadi harapan.
Kami belum tau seperti apa kelanjutannya nanti.
Tapi saat dua orang saling percaya, jarak bukan lagi alasan.
Karena ketika hati sudah saling membuka, yang tersisa hanya keberanian untuk bertemu kembali.
Pagi hari, matahari menyelinap masuk lewat sela jendela. Aku membuka mata dengan perasaan lebih ringan dari sebelumnya.
Semalam terasa seperti mimpi… tapi kenyataannya masih tertinggal di layar ponselku.
Pesan-pesan dari Maarten selalu kubaca berulang-ulang.
Dan tak lama setelah aku membuka ponsel, satu pesan baru masuk.
“Pagi, Kelly 🌤️. Aku masih di Labuan Bajo. Baru bangun"
Lalu, pesan masuk lagi,
“Tadinya aku rencana seminggu di sini. Aku pengen diving, dan eksplor pulau-pulau kecil. Tapi pagi ini aku bangun… dan yang pertama aku pikirkan bukan laut, bukan komodo, bukan bukit. Tapi kamu"
Jantungku berdebar. Jari-jariku langsung kaku menatap layar.
“Aku sadar, pemandangan di sini emang indah banget. Tapi rasanya nggak lengkap.
Aku suka laut. Tapi aku lebih suka jalan kaki bareng kamu.
Aku suka kopi di sini. Tapi kopi di warung waktu itu… lebih hangat karena kamu di sebelahku."
Aku menutup mulutku, mencoba menahan senyum yang terlalu lebar.
Lalu satu pesan panjang lagi masuk.
“Jadi aku udah putuskan. Aku akan mempersingkat waktuku di sini. Aku nggak akan habiskan seminggu penuh. Kalo kamu siap, besok aku terbang lagi ke jakarta"
Air mataku nyaris jatuh. Bukan karena sedih.
Tapi karena jarang sekali ada orang yang pulang...
Bukan karena tempat, tapi karena seseorang.
Aku langsung membalas:
“Aku nggak pernah minta kamu kembali cepat. Tapi… aku bahagia kamu mau kembali. Kamu nggak sendirian dalam rasa ini, Maarten. Aku juga mikirin kamu.”
Dan pagi itu, tanpa pelukan… tanpa tatapan langsung,
aku merasa seperti sedang dipeluk dari jauh.
Kami memang baru saja saling mengenal.
Belum ada tahun yang kami lewati bersama, belum ada musim yang berganti di bawah satu atap. Tapi kenyamanan ternyata tidak selalu butuh waktu. Kadang, hanya butuh satu tatapan yang jujur, satu percakapan yang tidak dibuat-buat, dan satu hati yang tidak merasa harus menjadi orang lain. Bersama Maarten, semuanya terasa ringan. Seperti pulang ke tempat yang belum pernah kukenal sebelumnya, tapi anehnya… terasa sangat akrab. Dan mungkin, itulah tanda-tanda bahwa seseorang itu tepat, bukan karena lama dikenalnya, tapi karena sejak awal, dia tidak pernah membuat kita merasa sendirian.
Lalu, aku sadar… tidak ada yang benar-benar kebetulan di dunia ini.
Kalau saat itu aku tidak memutuskan untuk liburan ke Jakarta, kalau aku tidak dapat libur panjang dari pekerjaan yang melelahkan, aku tidak akan pernah bertemu dia.
Begitu juga Maarten. Kalau dia tidak memilih Indonesia sebagai tujuan liburannya, kalau dia tidak berjalan ke arah yang sama di malam itu, mungkin kami hanya akan menjadi dua orang asing yang lewat begitu saja.
Tapi semesta memberikan jalur yang berbeda.
Ia mempertemukan dua hati dari dua benua.
Dan di antara ribuan kota, jutaan nama, serta kehidupan yang berjalan cepat,
kami sempat saling menemukan..........